'Imlek' Lahir di Tengah Keterbatasan

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Senin, 08 Feb 2016 15:04 WIB
Di Indonesia, istilah 'Sin Cia' pernah terlarang digunakan karena dinilai sangat bersifat China oriented.
ilustrasi Imlek (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sebutan Imlek untuk Tahun Baru China memang hanya terjadi di Indonesia. Negara lain lebih banyak menggunakan istilah Sin Cia ketika Tahun Baru China tiba.

Perbedaan penyebutan itu ternyata memiliki cerita tersendiri. Pemerhati Budaya Tionghoa Budiyono Tantrayoga atau yang lebih dikenal dengan nama Suhu Tan mengatakan istilah Imlek lahir pada masa Orde Baru.

"Dulu di Indonesia, zaman Orde Baru kan penyebutan dalam Bahasa Mandarin dilarang. Jadi dicarikanlah istilah lain yang terkesan tidak mencolok nuansanya ke Tiongkok-nya. Akhirnya dipakailah istilah Imlek," kata Suhu Tan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (5/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya Sin Cia dan Imlek memiliki arti yang berbeda. Suhu Tan menyebutkan, Sin Cia artinya pesta makan-makan di tahun yang baru. Sedangkan Imlek memiliki arti penanggalan bulan.

Di Indonesia, istilah Sin Cia dulu juga pernah digunakan saat Tahun Baru China tiba. Suhu Tan bercerita, ketika Sin Cia, orang-orang saling mengucapkan selamat dengan ungkapan Sin Chun Kiong Hie, yang berarti Selamat Tahun Baru Musim Semi.

Namun, saat Orde Baru, kata Suhu Tan, ungkapan itu tidak boleh dipakai karena dinilai sangat bersifat China oriented. Sebab, ucapan itu mengandung unsur musim semi yang hanya terjadi di China, bukan di Indonesia.  

"Maka dipakailah ungkapan Selamat Tahun Baru Imlek, artinya Selamat Tahun Baru yang sejalan dengan penganggalan Bulan," ujar dia.

Dilarangnya segala hal yang berbau China pada masa Orde Baru, kata Suhu Tan juga membawa salah kaprah baru. Misalnya saja ucapan Gong Xi Fat Zhai yang dibaca Kung Di Fat Cai sebenarnya mengikuti budaya Hong Kong, bukan China.

Menurut dia, ucapan Selamat Tahun Baru Imlek yang lebih sesuai dengan konteks religinya sebuah Perayaan Tahun Baru adalah Gong Xi Xin Nian, Wan Shi Ru Yi yang berarti Selamat Tahun Baru, Semoga Segala Urusan Berjalan Lancar.

"Gong Xi Fat Zhai artinya Selamat dan Semoga Makin Tambah Harta. Itu kan ungkapan yang ngawur, gara-gara terpengaruh sama gaya kapitalisme orang-orang Hong Kong," ujarnya.

Tapi pada akhirnya istilah Gong Xi Fat Zhai yang dipopulerkan karena untuk mencari aman.

"Hidup di bawah pemimpin yang rasis antibudaya Tionghoa ya harus pandai-pandailah bermain cantik. Menggunakan istilah yang berbau China dilarang, ya gunakan saja yang berbau ke Hongkong, yang kala itu dianggap tidak mewakili Negeri China tapi lebih sebagai koloni Inggris, sehingga dapat lampu hijau untuk dipakai," kata laki-laki keturunan Etnis Tionghoa itu.

Pemerintah Orde Baru melarang habis-habisan segala hal yang berkaitan dengan China dan Budaya Tionghoa. Bahkan presiden kala itu, Soeharto, sampai membuat Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tiongkok.

Soeharto melarang masyarakat keturunan Tionghoa merayakan Imlek. Jika ingin tetap menjalankan upacara keagamaan atau ritual lainnya hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.

Ritual Toa Pekong Naik di Klenteng Hian Thian Siang Tee, Palmerah, Jakarta. (CNNIndonesia Photographer/ Adhi Wicaksono)


Tak Ada Perubahan Tradisi

Meski ternyata ada sedikit perubahan istilah dalam perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia, namun dari segi tradisi tidak banyak hal yang berubah.

Farid Johan atau lebih dikenal dengan Suhu Naga mengatakan hanya ada perubahan berupa penyesuaian dengan budaya Indonesia. "Kalau misalnya di Indonesia, disesuaikan dengan daerah-daerah kebudayaan sekitar," ujarnya.

Seperti yang terjadi di Bali. Menjelang Imlek, warga keturunan Tionghoa selalu memasang penjor atau bambu dengan hiasan janur. Hal tersebut merupakan bentuk akulturasi budaya Bali dan Tionghoa.

Sejarawan Jakarta Mona Lohanda juga mengakui tidak ada tradisi Imlek yang berubah. Namun, ia menyadari semakin tahun, Perayaan Imlek semakin komersil.

Kepada CNNIndonesia.com, Mona bercerita kalau Perayaan Imlek saat ia masih kecil tidak terlalu komersil seperti sekarang. Mungkin juga hal itu terjadi karena saat dirinya masih kecil, belum banyak mal bertebaran di Jakarta dan sekitarnya.

Mona menilai, komersialisasi perayaan Imlek, maupun perayaan hari besar keagamaan lainnya, kurang baik karena terlalu bermuatan bisnis.

"Zaman saya anak-anak kesan bisnisnya sedikit. Mungkin belum ada mal, kan mal mulai banyak sejak 1990an. Sekarang setiap pojok ada mal," kata Mona.

"Mulanya mungkin baik niatnya, supaya orang daerah berkunjung ke Jakarta. Tapi efeknya orang pameran, jual segala macam. Inti perayaan keagamaan pudar, membuat orang menjadi konsumtif."

Tapi, di sisi lain, Mona juga mengakui ada hal positif dari Perayaan Imlek yang semakin komersil.

"Keterbukaan iklan di mal membuat pihak lain yang tidak merayakan Imlek mengerti. Kalau dulu Imlek yang paham hanya yang merayakannya saja," ujarnya.

Mona bercerita, dulu saat Imlek tiba, ia dan keluarganya selalu menjalankan tradisi. Di hari sebelum malam Imlek, semuanya sembahyang di altar sekitar pukul 15.00-18.00.

Semua merayakan Imlek di rumah dengan meriah. Anak-anak bermain petasan dan kembang api.

"Dulu zaman saya ada tanjidor. Sampai besok paginya ada yang keliling, ngamen musik-musik tradisional keroncongan. Itu sampai besok harus siapkan uang receh karena bolak-balik ada yang ngamen," kata Mona.

Barongsai juga turut meramaikan Tahun Baru. Namun, karena saat itu Barongsai masih dianggap sakral, mereka hanya bermain di klenteng saja.

Saat pagi tiba, tepat di tanggal 1 bulan 1 penanggalan China, umat Tionghoa kembali bersembahyang di altar. Setelah itu, kata Mona, baru mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada keluarga.

Dulu, Mona bercerita, saat Imlek, banyak keluarga yang saling berkunjung. Oleh sebab itu, mereka selalu mengadakan open house saat Imlek.

"Pintu rumah harus selalu dibuka karena ada yang datang sampai hari kedua," ujarnya.

Menurut Mona, tradisi tersebut bukan hilang, namun berkurang karena sudah banyak pendatang yang juga tinggal di lingkungan yang dulunya dipenuhi komunitas Tionghoa.

Banyaknya warga Tionghoa yang berpindah agama, menurut Mona juga turut memudarkan tradisi Perayaan Imlek. Tapi, tentunya tidak semuanya meninggalkan tradisi tersebut.

"Orang Tionghoa yang bukan lagi Kong Hu Cu, yang pindah agama, biasanya mengubah tradisi keluarga dia. Yang masih tetap menjalankan itu pasti akan menjalankan," kata Mona.

(sil)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER