Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagian warga dunia, belakangan ini, sedang tergila-gila ikon ’90-an. Lihat saja di layar kaca, beberapa serial lawas, dari
Fuller House sampai
The X Files, tayang lagi. Para penonton diajak bernostalgia.
Sementara di layar lebar, film-film yang terinspirasi karya dua dekade silam juga diproduksi lagi, macam
Terminator, Jumanji, Baywatch. Di luar film, ada juga pernak-pernik khas ’90-an yang populer lagi.
Laman Bustle pun bolak-balik membahas tentang ikon kebanggaan remaja era ’90-an, dari lagu-lagu Nirvana sampai Spice Girls, dari permainan Nintendo sampai Tamagotchi, dari kaus warna elektrik sampai
pager.
Tak hanya di Barat, Indonesia pun tertular demam ’90-an. Beberapa acara musik bertema ’90-an digelar, para penyanyi lawas pun manggung lagi, seperti di konser Jakarta Dekade.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu banyak ikon dan momen seru ’90-an tak luput dari perhatian penulis Marchella F.P. yang baru-baru ini meluncurkan buku ke-dua berjudul
Generasi 90an: Anak Kemaren Sore.Lewat buku tersebut, Marchella seolah mengajak para pembaca naik mesin waktu, terjebak nostalgia lewat tulisan dan visual. Ada kisah tentang artis, telenovela, dan permainan tradisional.
Lewat buku yang digarap bersama tiga teman kuliahnya—Sesotya Jodie, Yoshua Meyer, Gilang Dewamanyu—Marchella membuktikan eksistensi generasi ’90-an yang kerap diremehkan generasi lain.
“Sebenarnya [buku] ini salah satu curhatan pribadi. Gue
udah kerja dua tahun di industri kreatif. Sejauh ini, generasi ’90-an, atau ya mungkin kita-kita semua
ngerasa lah untuk di
company atau apa, sama atasan-atasannya masih dianggap ‘
yaelah lu baru berapa tahun sih di sini?’” jelas Marchella kepada CNNIndonesia.com di kawasan T.B Simatupang, beberapa waktu lalu.
Dari situ lah ia berasumsi bahwa generasi ’90-an ternyata masih dianggap oleh generasi pendahulunya tak lebih dari “anak
kemaren sore” yang belum bisa menghasilkan karya.
“Buku ini pengen menunjukkan kalau si ‘anak
kemaren sore’ sebenarnya sudah bisa menghasilkan pekerjaan. Kita bukan sekadar main-main, kita
udah melewati masa itu,” tambahnya.
Tak hanya lewat buku, ia pun berencana, pada tahun ini, akan mengadakan kampanye
Anak Kemaren Sore untuk menunjukkan bahwa generasi ’90-an sebenarnya bisa menghasilkan karya sendiri.
Banyak HalanganButuh waktu tidak sebentar bagi Marchella dan kawan-kawan untuk menyelesaikan bukunya. Ada saja halangan, dari desakan penerbit, tenaga ilustrator minim, sampai pengumpulan data yang sulit.
"Kesulitannya itu ngumpulin data. Bukan karena kurang, tapi justru kebanyakkan. Jadi kami milah-milahnya yang susah," jelas Marchella yang juga melakukan riset di berbagai media sosial.
Bersama timnya, ia memberi pertanyaan dan pilihan kepada
follower akun media sosial. Lalu, mereka membuat sub-bab materi. Jadi itulah poin di mana mereka kewalahan dengan seabrek materi yang dimiliki.
Karakter BaruKehadiran tiga teman, diakui Marchella, mendorongnya untuk terus berinovasi melahirkan ide-ide baru, bukan semata bertajuk “nostalgia.” Dengan begitu, pembaca pun tak akan bosan.
Marchella dkk berhasil mengkreasikan tiga karakter baru di bukunya: Acel, Lala dan Popi. Ketiganya masing-masing bergaya artis, anak rumahan dan penggemar permainan tradisional.
"Munculnya [karakter ini] karena saran-saran dari Sesot, Meyer, dan Gilang. Buku yang pertama soalnya dibilang Jakarta banget. Targetnya kalangan A dan B banget," ucap Marchella.
Empat sekawan—Marchella, Sesot, Meyer, dan Gilang—berharap, buku
Generasi ’90-an: Anak Kemaren Sore semakin dikenal dan membahagiakan banyak orang, bahkan banyak generasi.
Buku ini ternyata digemari vokalis Payung Teduh, Mohammad Istiqamah Djamad alias Is, yang menjadi bintang tamu saat peluncuran buku ini di Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
"Gue dari buku yang pertama ngikutin sih, dan sama istri juga
ngefans banget. Manusia enggak pernah bisa tinggal di sebuah momen, manusia enggak pernah bisa bawa sebuah momen. Manusia cuman bisa mengenang-ngenang. Sementara yang dilakukan Cecel [Marchella] adalah merangkum semua yang sama-sama kita kenang dengan berhasil," tuturnya kepada CNNIndonesia.com.
Sejak Marchella mengeluarkan buku pertamanya, menurut Is, sudah bisa membuat banyak orang senang dengan “mesin waktu” kreasinya. Buku-buku Marchella bisa diceritakan dari generasi ke generasi.
"Banyak yang bisa dinikmatin gitu ya dulu, dari gembolan mainan 'sayang anak, sayang anak' yang bawa
gimbot [
game watch] 100 rupiah sampe
nonton video beta di rumah teman. Teman yang punya beta, betanya sampe
disewain. Enggak semua punya beta kan dulu, apalagi gue dari Makassar. Banyak cepek juga bisa tuh buat
nonton Gaban gitu kan, film-film Sariban, berasa banget lah," kata Is bernostalgia.
(vga/vga)