Teguh Karya, Sosok Jenius di Balik Kesuksesan Teater Koma

Fadli Adzani | CNN Indonesia
Sabtu, 31 Okt 2015 12:28 WIB
Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma, mengungkapkan rahasia teater itu bisa bertahan selama 38 tahun di panggung teater Tanah Air.
Teater Koma dalam sebuah pertunjukan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mempertahankan eksisteni sebuah pagelaran teater bukanlah suatu hal yang mudah. Hal itu dirasakan oleh Nano Riantiarno, selaku pendiri Teater Koma yang sudah bertahan selama 38 tahun dalam kancah panggung teater Tanah Air.

Nano pun bercerita tentang orang jenius di balik kesuksesan pertunjukan teater populer itu. Dialah Steve Lim Tjoan Hok alias Teguh Karya.

Mungkin banyak orang tidak telalu mengenal siapa dirinya. Namun bagi Nano, Teguh adalah seorang maestro pertunjukan teater di Indonesia. Teguh Karya memiliki andil yang sangat besar untuk kesuksesan Teater Koma," ujar Nano ketika ditemui di sela-sela jumpa pers di Jakarta, baru-baru ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nano pun mengaku pernah masuk ke "pesantren" yang dibuat oleh Teguh dalam rangka pembelajaran akting dan seni teater. "Ketika umur saya masih 17 tahun, saya dan Slamet Rahardjo masuk ke 'pesantren' akting yang dibuat oleh Teguh untuk kami," Nano menceritakan.

Kala itu juga, Nano beserta Teguh ikut menyaksikan pendirian Teater Populer, teater pertama di Indonesia. "Saya diajak Teguh ke Hotel Indonesia untuk menyaksikan pendirian Teater Populer di Indonesia saat itu," ujarnya.

Kedisiplinan Teguh Karya

Selama lima tahun belajar, Nano mengakui bahwa Teguh adalah guru yang disiplin dan keras dalam memberikan pelajaran. Hal itu kini ia rasakan manfaatnya dalam menjaga eksistensi Teater Koma di Indonesia. “Saya nggak boleh melakukan apa-apa selain belajar," ujar Nano.

Selama jangka waktu tersebut, Nano mengaku bahwa Teguh terus menggodok otak Nano dengan berbagai macam pelajaran, tidak hanya tentang seni teater, namun juga tentang politik dan kesehatan. "Ketika saya lagi ngantuk, pasti Teguh akan menegur saya dan terus melanjutkan pembelajaran," kata Nano.

Pembelajaran itu pun dilakukan Nano, Slamet dan Teguh melalui diskusi-diskusi terkait tentang pelatihan akting. "Setiap jam delapan pagi hingga empat sore, saya dan Slamet belajar tentang hal-hal dasar dari seni teater bersama Teguh," ujar Nano.

Selain mendapatkan pelajaran langsung dari Teguh, Nano pun mengikuti jejak Teguh yang gemar membaca. Mengutip pernyataannya, Teguh memiliki sebuah perpustakaan di kawasan Jakarta. “Dulu Teguh punya perpustakaan, setiap buku yang ia baca pasti akan saya baca juga," kata Nano.

Tidak Terganti

Dengan pembelajaran yang diberikan Teguh kepada Nano, akhirnya Nano dapat menjaga eksistensi pagelaran Teater Koma selama 38 tahun di Indonesia. Bahkan, pada 6 November 2015 mendatang, Teater Koma siap menghelat teater ke-142 bertajuk Inspektur Jendral.

Teguh dikenal sebagai sutradara film legendaris Indonesia yang karya-karyanya telah banyak mendapatkan penghargaan. Sebut saja Cinta Pertama (1974), Ranjang Pengantin (1975), November 1828 (1979), Di Balik Kelambu (1983), Ibunda (1986), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989).

Karya-karyanya itu sempat mendapatkan penghargaan dalam ajang festival film terbesar di Indonesia, yakni Festival Film Indonesia atau FFI.

Namun pada 11 Desember 2001, Teguh mengembuskan napas terakhirnya di umur 64 tahun. Nano dan seluruh seniman Indonesia kala itu pun berkabung karena ditinggalkan gurunya yang jenius. "Buat saya, Teguh adalah guru yang luar biasa. Dia adalah satu-satunya guru teater saya," ujar Nano. (ard/ard)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER