Dini, Sepupu yang Keras Hati

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Minggu, 28 Feb 2016 08:43 WIB
Dalam seri Cerita Kenangan, berkali-kali Nh Dini menuliskan kedekatan keluarganya dengan Iman Sudjahri, adik sang ibu. Edi Sedyawati. (CNN Indonesia/Silvia Galikano)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam seri Cerita Kenangan, berkali-kali Nh Dini menuliskan kedekatan keluarganya dengan Iman Sudjahri, adik sang ibu. Kedekatan itu mengakrabkan dua anak Iman, yakni Edi Sedyawati dan Asti, dengan Dini.

Iman membantu keuangan keluarga ketika ayah Dini berhenti bekerja tanpa uang pensiun dari PJKA, yang memaksa ibu Dini menjadi buruh batik dan menyewakan kamar untuk anak kost.

Iman memiliki kelonggaran secara ekonomi dibanding saudara-saudaranya. Dia wali kota Semarang pada masa pendudukan Jepang.

Sewaktu ibu kota berpindah ke Yogyakarta (1947-1949), Iman menjadi pejabat Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta, dia menjabat Sekjen Kementerian Sosial.

“Tempat tinggal kami dekat. Mbak Puk di Sekayu, saya di Pendrikan. Jaraknya kira-kira satu kilometer, dulu biasa jalan kaki saja,” kata Edi Sedyawati, 78 tahun, saat ditemui di kediamannya di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta, dua pekan lalu.

Puk adalah nama panggilan (paraban) Dini di keluarga. Ibu Dini, Kusaminah, yang memberikan, diambil dari kata “tumpuk,” ungkapan syukur karena sejak sang putri lahir, rezeki keluarga jadi bertumpuk-tumpuk.

Edi sering main dan menginap di Sekayu. Usia Dini yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Edi, membuat keduanya bisa nyambung sebagai teman bermain. Seperti anak-anak pada masa itu, keduanya bermain pasaran, menggunakan daun dan kerikil.

Ada tempat bermain favorit Edi saat main ke rumah Dini, yakni kamar ibu Dini, yang dia panggil Bude Cilo (dari “Salyo”, nama ayah Dini, RM Salyowijoyo). Di kamar itu ada ranjang besi kuno yang besar dan tiga sisinya dibatasi tepian setinggi satu meter.

“Saya naik ke pinggiran tempat tidur, lalu 'terbang' turun ke kasur sambil membayangkan jadi Gatotkaca. Biasanya Bude Cilo teriak dari luar kamar, 'Wah, iku kasurku jebol.'"

Edi Sedyawati, Asti, dan Iman Sujahri. (CNN Indonesia Dokpri/ Repro Silvia Galikano)

Bayangan tentang Gatotkaca didapat Edi dari seringnya dia dan Dini dibawa keluarga menonton pertunjukan wayang orang Ngesti Pandowo sejak kecil. Karenanya, meski belum belajar menari, Edi kecil yang baru berumur lima tahun sudah ada keinginan mengekspresikan diri.

Dini, menurut Edi, juga suka menari, “Kami jogetan sakerepe [menari semaunya], tapi saya lebih pencilakan [banyak gaya].”

Keduanya sempat lama tak bertemu pada zaman Jepang. Waktu itu, Edi bersama adiknya yang masih bayi  dan ibu mengungsi ke rumah kawan ayahnya di Desa Puguh, dekat Kendal bersama keluarga-keluarga lain dari Pendrikan.

Bapak-bapak mereka tak diketahui keberadaannya. Konon sengaja menghilangkan diri. Mereka adalah para tokoh penggerak perlawanan nasional yang sedang dicari Jepang.

Tiga yang masih Edi ingat adalah Sudjono Djuned Pusponegoro, Sudjarwo,dan  Kuntjoro. Sudjono Pusponegoro, yang belakangan jadi Menteri Urusan Research Nasional pada Kabinet Kerja III (1962), adalah teman sekelas ayahnya.

Menjauh dari ibu kota jadi strategi melawan Jepang. Keluarga pun diungsikan dulu ke pedesaan dengan pertimbangan keamanan.

Demikianlah, pertemuan keduanya pada masa kecil praktis hanya ketika Edi main ke Sekayu atau Dini main ke Pendrikan. Mereka bersekolah di sekolah yang berbeda. Apalagi, begitu Indonesia merdeka, Iman Sudjahri dan keluarga tak lagi tinggal di Semarang.

Karenanya Edi tak mengikuti kegiatan Dini di bidang tulis menulis pada waktu SMP. Edi baru menyadari sepupunya ini punya bakat besar di bidang sastra adalah saat SMA, sewaktu keduanya rajin berkorespondensi.

Edi semakin yakin bahwa Dini sudah mengembangkan minat di bidang menulis sewaktu sepupunya itu mengikuti kursus pramugari di Jakarta, era 1960-an, dan tinggal bersama keluarganya di Jalan Jawa 73, Menteng, Jakarta. Rumah tersebut adalah rumah dinas Iman Sudjahri yang menjabat Sekjen Kementerian Sosial untuk kemudian diperbantukan ke Sekretariat Negara.

Nh Dini dan Asti, adik Edi Sedyawati. (CNN Indonesia Dokpri/ Repro Silvia Galikano)

Saat tinggal di rumah ini Edi memperhatikan Dini sering menulis puisi, cerpen, dan dia menyukai cara sepupunya mendeskripsikan sesuatu, alam, atau orang-orang saat bergaul. Semangat kontroversialnya pun Edi tangkap. Dini memberontak terhadap kemapanan.

“Kok berani perempuan bercerita perkara perselingkuhannya sendiri. Dalam etika yang mapan, selingkuh tidak dibenarkan. Tapi itu memang jiwa dia, pemberontak. Walau di keseharian biasa saja, di karya tulis dia ungkapkan,” kata Edi.

Dalam masa tinggal di Jalan Jawa ini Dini berkawan dengan Superbo, laki-laki yang pandai main gitar. Superbo, yang tinggal di Jalan Sumbawa, Menteng, dulunya pernah satu sekolah dengan Dini di Semarang. Namun perkawanan itu tak banyak membekas di ingatan Edi, karena dia tak melihat ada yang istimewa di antara mereka.

Setelah Iman Sudjahri pensiun, keluarga ini pindah ke rumah pribadi yang sudah dicicil sejak beberapa tahun sebelumnya, di Jalan Lembang, Menteng. Ke rumah inilah Dini pernah membawa Yves Coffin dan dua anak mereka, Lintang dan Padang, menginap. Padang mendapat teman sebaya, anak ke-dua Edi, Bima Sinung yang sama-sama berusia empat tahun.

“Yves hobi fotografi. Dia banyak mengambil foto candi. Dia juga bisa bahasa Indonesia,” kata Edi tentang Yves yang dahulu suami Dini.

Ketika keduanya bercerai, Dini mengabarkan Edi bahwa mereka “tidak cocok” tanpa menjelaskan lebih lanjut.

“Kami dekat tapi tak sampai mengungkapkan isi hati. Hal yang sangat pribadi biar buat diri sendiri.  Tidak semua yang dirasakan harus diumbar. Jangan bebani orang lain dengan beban kita,” kata Edi.

Dini dan Edi tetap saling dukung hingga kini saat usia keduanya tak lagi muda. Edi memahami pilihan Dini untuk tinggal sendiri, sesuai dengan jiwanya yang mandiri dan keras hati untuk melakukan hal yang dianggap baik, antara lain dengan cara menulis.

“Pergaulannya dengan orang lain bagus. Dia punya kriteria nilai-nilai yang tetap ketimuran walau lama di Eropa, tidak berubah jadi sangat individualistis. Perhatiannya pada sesama masih hidup.”

(sil/vga)
Lihat Semua
SAAT INI
BERITA UTAMA
REKOMENDASI
TERBARU
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
LIHAT SELENGKAPNYA

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

TERPOPULER