Tertambat Hati Pada Nh Dini

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Sabtu, 27 Feb 2016 10:13 WIB
Tak terhitung berapa banyak mahasiswa yang menjadikan karya Nh Dini sebagai bahan kajian karya ilmiah.
Nh Dini di kediaman sepupunya, Edi Sedyawati, di Menteng, Jakarta. (CNN Indonesia/Silvia Galikano)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun ini, pada tanggal istimewa 29 Februari, pengarang Indonesia, Nh Dini berusia genap 80 tahun. Sepuluh windu.

Dia tetap berkarya, menulis dan melukis. Baru tahun lalu dia menerbitkan buku terbaru, Dari Ngalian ke Sendowo (2015), yang merupakan rangkaian Cerita Kenangan.

Cerita Kenangan adalah serial autobiografi Dini yang ditulis seperti novel, tanpa mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun, kecuali diperlukan. Kadang kala beberapa nama disamarkan sebab orangnya masih hidup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Judul-judul cerita kenangan umumnya diambil dari nama tempatnya tinggal. Ketika bercerita tentang masa kecil hingga remaja di Kampung Sekayu, Semarang, judul bukunya Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), dan Kuncup Berseri (1982). Judul yang terakhir ini diambil dari nama kelompok sandiwara radio, Kuncup Seri, tempat Dini berkegiatan sepulang sekolah.

Kehidupan Dini sebagai pramugari darat dirangkum dalam Kemayoran (2000).

Ketika menjadi istri konsul Perancis berpindah-pindah dari Jepang ke Kamboja, Perancis, Filipina, dan kembali lagi ke Perancis, kenangannya dibukukan dalam Jepun Negerinya Hiroko (2000), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Dari Fontenay sampai Magallianes (2005), La Grande Borne (2007), dan Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri (2008).

Berpisah dari Yves, Dini pulang ke Indonesia dan bolak-balik Jakarta-Semarang, tertulis dalam Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang (2012). Ketika membangun Pondok Baca di rumah masa kecilnya di Sekayu, Semarang, diceritakan dalam Pondok Baca (2011), hingga yang terakhir, Dari Ngalian ke Sendowo, adalah sewaktu akhirnya memutuskan tinggal mandiri di wisma lansia.

Dibuatnya penanda Cerita Kenangan adalah untuk membedakan dengan karya novelnya, seperti Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko (1977), Pada Sebuah Kapal (1972), Orang-orang Tran (1983), dan Jalan Bandungan (1989).

Dari sederet judul tersebut, pembaca karyanya tertambat demikian kuat pada novel Pada Sebuah Kapal. Berkisah tentang Sri yang berselingkuh dengan Michel, kapten kapal dalam sebuah pelayaran antarnegara. Novel ini sempat jadi kontroversi, selain karena tema perselingkuhan, juga karena Dini mendeskripsikan percintaan Sri dan Michel demikian detail, sampai-sampai dicap cabul.

Seiring waktu, masyarakat dapat menerima, bahkan memasukkan Pada Sebuah Kapal sebagai bacaan referensi dalam pelajaran sekolah. Tak terhitung lagi berapa banyak mahasiswa yang menjadikannya bahan kajian karya ilmiah.

Di usia 80 tahun, kondisi Dini terbilang sehat, walau ada yang mesti dikontrol melalui jamu-jamuan dan tusuk jarum, yakni osteoartritis dan vertigo. Kondisi inilah yang tak memungkinkan Dini berjalan jauh dan membaca dalam waktu lama. Membaca empat-lima halaman buku sudah cukup membuat vertigonya kumat.

Novel, kumpulan cerpen, dan seri Cerita Kenangan karya Nh Dini. (CNN Indonesia/Silvia Galikano)

Itu sebabnya Dini tak lagi membaca buku. Dia memilih menggunakan waktu bugarnya untuk duduk di depan komputer, menyelesaikan tulisan.

Andaipun ada karya panjang milik orang lain yang dibaca, adalah karya sastra Perancis, utamanya karya-karya peraih Nobel, karena dia mendapat sesuatu dari situ. Sedangkan karya berbahasa Indonesia hanyalah puisi dan cerpen di Kompas Minggu. Membacanya pun dibantu kaca pembesar.

Tiga kali sepekan Dini tusuk jarum di tempat Pak Tjiong di Jagalan, Semarang. “Walau gratis karena oleh teman sendiri, namun taksi ulang-alik Banyumanik-Jagalan Rp300 ribu. Jadi harus punya uang,” ujar Dini sewaktu dijumpai di kediaman sepupunya, Edi Sedyawati, di Menteng, Jakarta, Oktober 2015.

Padahal nafkah Dini sepenuhnya dari royalti dan honor sebagai pembicara, yang di Indonesia, tak dapat mendukung keperluan sehari-hari, apalagi untuk fasilitas kesehatan.

“Kalau di Malaysia, sekaliber saya ini sudah mendapat gelar Sastrawan Negara dan sudah disantuni per tahun sebagai jaminan sehat.” Untunglah, lebih dari 10 tahun terakhir, Dini banyak dibantu anaknya, Pierre Coffin, sang kreator Minion.

(vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER