LSF, antara Keasyikan 'Premiere' dan Tanggung Jawab

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Sabtu, 19 Mar 2016 08:08 WIB
Ada keasyikan tersendiri menonton film untuk pertama kali. Dengan begitu, bisa mengetahui alur cerita dari awal sampai akhir secara utuh.
Ilustrasi sensor film (Robert Burnside/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak sedikit orang yang mengejar penayangan perdana film (premiere) di bioskop. Mereka rela menukar waktu istirahat demi menonton film, walau dijadwalkan tepat tengah malam.

Memang ada keasyikan tersendiri menjadi orang pertama yang menonton penayangan film di bioskop. Setidaknya, sudah lebih dulu mengetahui alur cerita dibanding orang lain.

Namun film yang ditayangkan di bioskop sudah terkena guntingan sensor. Berbeda halnya dengan film versi orisinal dan utuh yang ditonton segenap anggota Lembaga Sensor Film (LSF).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diakui Ketua LSF Ahmad Yani Basuki, memang ada keasyikan tersendiri menonton film untuk pertama kali. Dengan begitu, bisa mengetahui alur cerita dari awal sampai akhir secara utuh.

Di sisi lain anggota LSF juga menghadapi tantangan dan tanggung jawab besar. Yani beserta timnya harus memastikan karya sinematografi yang telah lulus sensor memuat nilai edukasi.

“Ketika menyensor, yang tergambar adalah tanggung jawab,” kata Yani kepada CNN Indonesia.com, beberapa waktu lalu. “Tanggung jawab menjaga masyarakat dari pengaruh negatif film.”

Tak asal menyensor, tim LSF juga menjaga nilai artistik agar tak menyurutkan kaidah sinematografi. Bagaimanapun, diakui Yani, tim LSF juga memikirkan nilai perjuangan dan filosofi para sineas.

Sementara itu, di kesempatan berbeda, anggota LSF Arturo Gunapriatna, yang ditemui CNN Indonesia.com baru-baru ini, mengungkapkan suka citanya menonton Star Wars lebih dulu.

"Sebagai penonton film, manusiawi saja saya senang, nonton duluan,” kata Arturo. Tak ayal, ia melontarkan canda kepada anaknya, “Ayah sudah nonton Star Wars dong, kalian belum.”

Senada dengan Yani, Arturo pun mengakui tugasnya bukan semata menonton film pertama kali secara utuh, melainkan juga “mengkaji, meneliti, melihat dengan benar, bukan sekadar hiburan."
 
Juru Bicara LSF Rommy Fibri turut mengungkapkan kebanggaannya menjadi orang pertama di Indonesia yang menonton film secara utuh, dan tetap mengemban tugasnya untuk menilai dan menyeleksi.

"Rasanya nano-nano, gembira menjadi orang pertama sebelum orang lain tahu," katanya kepada CNN Indonesia.com. “Ke-dua, menjadi sangat berat karena peran LSF menjaga masyarakat dari pengaruh negatif film.”

Bila salah atau meleset memaknai film, menurut Rommy, bakal berdampak cukup panjang. Bukan semata bagi kalangan masyarakat, namun tak kalah penting bagi kalangan perfilman.

Sekalipun memiliki “hak prerogatif” menjadi orang pertama yang menonton film secara utuh, toh anggota LSF Dyah Chitraria tetap berminat menonton lagi film yang telah disensor di bioskop.

Dyah beralasan, film yang ceritanya menarik memang layak ditonton berulang kali. Selain itu, ia perlu melihat respon masyarakat terhadap film yang sudah diseleksi dan disensor.

Suasana Ruang Sensor LSF yang Manusiawi

Agaknya tak berbeda dengan bioskop, suasana di ruang sensor LSF juga dipenuhi komentar para anggotanya kala menyaksikan berbagai adegan, dari lucu, sedih, mengerikan, hingga syur.

"Tim sensor tidak mungkin sendiri. Selama menonton manusiawi ya, ketika ada yang lucu ya ngakak juga, ketika ada adegan yang syur, ada keriuhan juga,” kata Rommy.

Celetukan seperti “Eh, awas tuh kebuka” atau “Waduh, lampu nyalain” kerap terdengar di ruang sensor LSF. “Dalam konteks bukan untuk mengolok-olok,” kata Rommy. “Itu respon manusiawi.”

Rommy menyatakan, candaan memang biasa dilontarkan tim LSF—sedikitnya terdiri dari lima sampai enam orang—saat sedang menonton dan melakukan penilaian. “Tidak semua tegang mencatat.”

Usai menonton, tim ini akan mendiskusikan catatan mereka. Langkah pertama, menentukan klasifikasi umur. Lalu, menentukan hasil seleksi yang perlu disampaikan kepada si pembuat film.

Catatan tersebut menjadi dasar bagi si pembuat film untuk menghilangkan adegan yang tidak lulus sensor. Jika mereka keberatan, LSF membuka forum diskusi untuk menyatukan persepsi.

Sebagai anggota LSF, Arturo berharap, ada kesadaran masyarakat untuk melakukan sensor sendiri: Tidak “nekat” menonton film yang tidak sesuai dengan umurnya.

"Urusan menyensor bukan sekadar tugas LSF, tapi perlu kesadaran masyarakat [untuk melakukan] sensor mandiri,” kata Arturo seraya menegaskan klasifikasi umur harus benar-benar diterapkan.

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER