Jakarta, CNN Indonesia -- Ada jalan panjang yang harus dilalui sebuah film sebelum tayang di bioskop. Terlebih dahulu dilakukan penyensoran oleh Lembaga Sensor Film atau LSF yang berkantor di Gedung Film, kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.
Bukan semata memotong adegan yang dianggap tidak layak atau berpotensi memberikan pengaruh negatif, melainkan juga menerapkan klasifikasi usia penonton. Bagaimana sesungguhnya alur penyensoran film oleh LSF?
Dalam keterangannya kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu, Ketua LSF Ahmad Yani Basuki memberikan sekilas gambaran tentang proses penyensoran. Pertama, pembuat film melakukan pendaftaran dan melengkapi administrasi di lantai enam Gedung Film.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, materi film dibawa ke ruang sensor di lantai delapan untuk diteliti oleh tim LSF yang berjumah 17 orang. Tim ini dibagi tiga komisi, yang masing-masing menangangi urusan penyensoran, evaluasi dan hukum, serta hubungan antarlembaga.
“Tugas yang tidak bisa ditinggalkan setiap hari ya menyensor, termasuk ketua dan wakil ketua komisi pun masuk ruang sensor,” kata Yani. “Selain itu, tugas kelembagaan juga harus dijalankan.”
Ditegaskan oleh pria yang pernah menjabat sebagai petinggi militer dan staf khusus presiden ini, “Setiap orang yang punya film harus mendaftarkannya di LSF untuk disensor. Ketentuan ini sudah diatur oleh Pemerintah. Kami tinggal melaksanakan.”
LSF sendiri saat ini baru memiliki tiga ruang sensor. Ke depannya, Yani siap memperbanyak ruang sensor demi meningkatkan mutu penyensoran. Di ketiga ruang tersebut, proses penyensoran satu karya sinematografi bisa diselesaikan dalam dua-tiga hari.
Tim LSF menyensor sekitar 200 karya sinematografi per hari. Jumlah tersebut terbilang banyak, mengingat karya sinematografi yang disensor tim LSF bukan hanya film, tapi juga iklan, video musik, pertunjukan tradisional, sampai acara bincang-bincang.
Atau lebih jelasnya, semua karya seni budaya yang berhubungan dengan media komunikasi, dan dikerjakan dengan kaidah sinematogarfi, serta direncanakan akan dipertunjukkan kepada publik, maka harus disensor oleh tim LSF yang dipimpin Yani.
Yani menjamin, proses sensor oleh timnya terbilang cepat dan hasilnya—film yang dinyatakan lulus sensor—bisa dilihat di website LSF. Jikapun proses sensor satu karya memakan waktu lama, menurut Yani, karena timbul perdebatan antar anggota.
Biasanya yang dipedebatkan soal klasifikasi usia penonton. Lalu, sebagai jalan keluar, dilakukan rapat pleno, dan bila perlu menghadirkan pakar sesuai kebutuhan. Dengan begitu bisa diperoleh keputusan yang lebih komprehensif dan cepat.
Yani juga mengingatkan pembuat film agar mempertimbangkan urusan kejar sensor semacam ini, bukan hanya kejar tayang. Bagaimanapun proses sensor membutuhkan waktu tidak sebentar, terlebih bila isi karya berpotensi menimbulkan perdebatan yang alot.
Pada prinsipnya, ditegaskan Yani, sensor diberlakukan untuk menghindarkan masyarakat dari pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan oleh film. Penayangan film lulus sensor di bioskop dipastikan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
(vga/vga)