'Sineas Indonesia Harus Introspeksi, Bukan Berkompetisi'

Agniya Khoiri & Andika Putra | CNN Indonesia
Kamis, 31 Mar 2016 20:14 WIB
Perkara sineas Indonesia adalah meningkatkan ide sederhana dari cerita kehidupan sehari-hari. Bukan menyaingi Hollywood.
Ilustrasi film (TongRo Images/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Film-film blockbuster dari Hollywood selalu merajai bioskop di Indonesia. Lihat saja, Star Wars: The Force Awakens dan Batman v Superman diputar di beberapa studio sekaligus di satu bioskop.

Bahkan di beberapa bioskop, seluruh studionya menayangkan film-film laris produksi Negeri Paman Sam, hingga tidak ada ada lagi studio tersisa untuk mempertontonkan film produksi lokal.

Menghadapi kenyataan ini, music scorer Aghi Narottama justru berpendapat, bukan lantas sineas Indonesia harus berkompetisi melawan film Hollywood yang jelas-jelas memiliki bujet besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepada CNN Indonesia.com, belum lama ini, Aghi menyatakan, perkara sineas Indonesia adalah meningkatkan ide sederhana dari cerita kehidupan sehari-hari. Bukan menyaingi Hollywood.

"Di sini banyak ide cerita yang masih lemah. Orang Indonesia bisa bikin daya saing cerita yang outstanding. Selain membuat penonton terhibur tetapi juga terinspirasi,” katanya.

Ia menyadari, sebagian besar produksi film Indonesia berbujet rendah bila dibanding film Hollywood. Karena itu, film Indonesia  harus punya daya saing dari segi cerita, dan jangan meniru.

Penggemar film klasik—terutama Warkop dan G30S—ini memahami upaya rekan-rekan sineas Indonesia memperjuangkan banyak hal, dari segi produksi sampai kualitas, demi kemajuan sinema lokal.

Namun lebih dari itu, menurut Aghi, ada baiknya sineas Indonesia melakukan introspeksi terhadap film yang dibuatnya, ketimbang memaksakan diri berkompetisi dengan film Hollywood.

"Harus disadari: apakah memang filmnya tidak berkualitas? Karena membuat film tidak bisa setengah-setengah. Tidak boleh ada cerita yang nanggung, harus bagus semuanya, supaya jangan kalah.”

Sineas Indonesia, dalam pandangan Aghi, jelas membutuhkan perjuangan yang tidak mudah dan sebentar untuk mengembalikan kepercayaan para penonton dan membangkitkan perfilman lokal.

Potensi Sineas Indonesia Tidak Kalah
 
Makin bertambah banyak film Indonesia yang berjaya di ajang internasional, setahun belakangan ini, membuktikan kualitasnya memang tidak kalah dibanding film Barat, terutama Hollywood.

Film A Copy of My Mind karya sutradara Joko Anwar wara-wiri, dari Venice International Film Festival, Busan International Film Festival sampai Toronto International Film Festival.

Selain itu film Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto dan Mencari Hilal juga beredar di Tokyo International Film Festival. Uniknya, kedua film tersebut malah tidak terlalu laku di Indonesia.

Tak hanya filmnya, hasil kerja kru Indonesia pun pernah dipuji sineas Hollywood. Hal ini diungkapkan oleh Aufa Rachmat Triangga Ariaputra kepada CNN Indonesia.com, di Jakarta, belum lama ini.

Saat terlibat dalam produksi film Eat Pray Love yang dibintangi Julia Roberts dan Javier Bardem di Bali, karya Aufa selaku sound recordist oleh dipuji tim di bawah arahan sutradara Ryan Murphy.

“Lu bisa bikin suara kayak gini? Suara sepeda dan mobil ngerem gini lu bisa bikin suaranya?" Aufa menirukan kata-kata tim produksi film yang diadaptasi dari novel karya Elizabeth Gilbert.

Sang pria yang kini bekerja di Blok A Picture tentu saja membenarkannya. Karuan tim produksi Eat Pray Love kagum pada upaya orang Indonesia merekam suara secara langsung.

"Itu kelebihan Indonesia, yang katanya dulu menang pakai bambu runcing, ya sekarang kejadian. Dengan teknologi seadanya saya bisa membuat hal yang mereka enggak bisa,” kata Aufa.

Dalam hati, Aufa memang berniat memperlihatkan kepada tim Hollywood bahwa tim Indonesia juga bisa membuat karya berkualitas. Ia pun senang mendapat pujian.

Produksi film luar negeri, menurut Aufa, bergantung pada satu pihak yang bisa membuat atau merekam suara. Mereka tidak pernah menjalankan sendiri, sehingga tak tahu seperti apa proses pembuatan suara.

Berbeda halnya dengan produksi film Indonesia yang dituntut bisa mengerjakan semua. Begitu juga dalam penggunaan alat, produksi film Indonesia cenderung lebih cepat mendapatkan solusi.

Sementara produksi film luar negeri, dikatakan Aufa, sering ketergantungan alat. "Ya, misalnya mereka syuting dan enggak ada stik untuk boomer, mereka berhenti syuting sampai stik itu ada.”

(vga/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER