Lokananta Sedang Berbenah untuk Segera Bangkit

Ardita Mustafa | CNN Indonesia
Sabtu, 16 Apr 2016 09:45 WIB
Saat ini Lokananta dapat menerima pemesanan penggandaan sekitar 500 keping kaset per hari. Dari sana belasan karyawannya dihidupi.
Logo Lokananta yang sedang dicat menyerupai warna aslinya pada Kamis (14/4). (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Karakter kota Solo yang dikenal kental dengan tradisi dan adat kerajaan Jawa, tak membuatnya lolos dari sentuhan kemodernan. Sudah banyak gedung bertingkat yang ditemui di sana. Meski jumlahnya memang tidak semenakutkan pencakar langit di Jakarta.

Selain bangunan yang merupakan bagian dari Kasunanan Surakarta, ada satu bangunan yang tetap setia dengan bentuknya. Bangunan itu milik perusahaan rekaman Lokananta yang terletak di Jalan Ahmad Yani Nomor 379, Kerten, Solo, Jawa Tengah.

Hanya saja suasananya lebih sepi, karena kini Lokananta tidak sesibuk saat era '70-an dan '80-an, ketika rilisan musik berbentuk fisik masih berjaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suasana teduh langsung terasa ketika memasuki ruang tunggu Lokananta.

Bagian langit-langit rumah yang tinggi membuat udara di dalamnya terasa sejuk. Padahal, puluhan ribu barang-barang peninggalan sejarah musik Indonesia berjejal-jejal di sana.

Suasana di dalam ruangan pengarsipan perusahaan rekaman Lokananta, Solo, Jawa Tengah, saat dikunjungi pada Kamis (14/4). (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
"Selain kantor administrasi, di sini terdapat ruang arsip, ruang penggandaan kaset, ruang mastering, museum, studio dan toko musik," kata Bimo, karyawan muda yang bertugas menyambut tamu di Lokananta, ketika ditemui oleh CNNIndonesia.com, pada Selasa (12/4).

Bimo mengatakan, beberapa tahun belakangan ini Lokananta semakin rajin berbenah, mulai dari eksterior, interior hingga pengarsipan.

Hal tersebut dilakukan agar masyarakat dapat lebih nyaman ketika mengunjungi Lokananta.

"Sekarang semakin terawat, meski kalau untuk ruangan arsip fasilitasnya masih seadanya ya. Taman depan dan tengah sudah rapi, penempatan barang-barang sudah tertata," ujar Bimo.

Rencana penataan yang digadang para pimpinan Lokananta sebelumnya itu kini diteruskan oleh Miftah Zubir, pria yang baru berusia 33 tahun.

Alumnus Institut Kesenian Jakarta yang menjabat sebagai kepala cabang ini memiliki misi untuk menggairahkan kembali Lokananta.

Misinya tersebut bertujuan untuk "membawa hoki" di perusahaan yang dipimpinnya.

"Tempat ini memiliki aset sejarah dan seni budaya yang sangat besar, sangat sayang jika dibiarkan tak terurus," kata Miftah.

"Jika semuanya sudah rapi, nanti kan enak kalau ada yang mau rekaman, cetak rekaman, beli rilisan atau datang ke acara-acara yang diselenggarakan di sini," ujarnya.

Miftah terbilang anak baru di Lokananta. Ia resmi menjabat sejak 2015, setelah lolos seleksi karyawan yang diadakan oleh Perusahaan Umum Percetakan Negara, salah satu dari sekian banyak badan usaha yang dimiliki negara.

"Kami menyimpan sekitar 40 ribu keping piringan hitam, sebagian ada yang sudah punya sampul album dan sebagian belum. Kami juga menyimpan sekitar lima ribu keping master rekaman," ujar Miftah.

Memang kami masih butuh banyak bantuan, tapi saya ingin Lokananta bisa beroperasi dengan tangan dan kakinya sendiri.Miftah Zubir, Kepala Cabang Lokananta Solo.
Selain percetakan, Lokananta mengandalkan divisi perekaman untuk pemasukan keuangan.

Dikatakan Miftah, saat ini setiap hari Lokananta bisa menerima pemesanan penggandaan sekitar 500 keping kaset setiap hari.

Belum lagi penjualan compact disc (CD) di toko kecil mereka.

"Sebenarnya saya tidak ingin Lokananta jadi terkesan mengemis meminta bantuan. Memang kami masih butuh banyak bantuan, tapi saya ingin Lokananta bisa beroperasi dengan tangan dan kakinya sendiri," kata Miftah.

"Namanya juga perusahaan, ya harus menguntungkan dong? Saya dan teman-teman yang lain memutar otak terus menyusun rencana-rencana jangka panjang untuk menghasilkan keuntungan demi menghidupi Lokananta," ujarnya.

Selain membuka jasa perekaman, penggandaan dan penjualan musik, Miftah juga berusaha mewujudkan perpustakaan digital yang berisikan lagu-lagu musisi yang rekaman di Lokananta.

Nantinya, lagu-lagu itu bisa didengarkan di situs resmi Lokananta dan tidak menutup kemungkinan di layanan musik digital seperti Apple Music dan Spotify.

"Saat ini mengoleksi rilisan fisik memang sedang tren, tapi Lokananta kan tidak bisa hidup dengan hanya bermodalkan tren. Kami juga harus mengikuti perkembangan, salah satunya dengan teknologi," kata Miftah.

"Piringan hitam saja bisa berganti dengan kaset dan CD, masak strategi bisnis enggak ikut berganti? Saya optimis, konten milik Lokananta sangat layak untuk dijual," lanjutnya.

Miftah Zubir, Kepala Cabang Perusahaan Rekaman Lokananta, saat ditemui oleh CNNIndonesia.com di Solo, Jawa Tengah, pada Selasa (12/4). (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
Dengan usia yang terbilang masih muda, memimpin perusahaan yang sudah uzur tentu saja menjadi tantangan besar bagi Miftah.

Bebannya untuk mengembangkan Lokananta terkadang harus ditambah dengan urusan karyawan dan pencarian benda bersejarah yang hilang.

"Divisi percetakan memiliki 97 orang karyawan, sementara perekaman hanya 17 orang. Sebagian besar dari mereka ialah karyawan yang tidak terangkut ke Radio Republik Indonesia saat likuidasi zaman Presiden Gus Dur terjadi," ujar Miftah.

"Mereka sudah lama bekerja di Lokananta, mau kerja di mana lagi juga kan? Jadi tantangan saya ya itu, membuat mereka mengerti kalau bisnis rekaman sudah tidak bisa seperti dulu lagi, sekarang serba cepat," katanya.

Beberapa pertanyaan yang diajukan CNNIndonesia.com tentang visi dan misi Lokananta dijawab bapak beranak satu ini dengan blakblakan.

Namun ketika ditanya tentang kesulitannya mencari barang bersejarah yang hilang, ia mengaku tidak punya jawaban.

"Jadi kami dulu pernah punya mesin perekam piringan hitam. Tapi setelah likuidasi, mesin itu lenyap tak berbekas. Entah untuk apa juga mesin itu jatuh ke tangan orang awam," kata Miftah.

"Saya sedang selidiki itu. Katanya, mesin itu dijual sama mantan karyawan ke orang di Solo. Tapi katanya lagi, salah satu dari mereka sudah meninggal. Ini membingungkan sekaligus lucu sebenarnya," lanjutnya sambil menahan senyum.

Miftah terus berharap agar piringan hitam itu kembali, untuk dipajang di museum Lokananta.

"Rencana saya, jika ketemu mesin itu akan saya pajang di museum. Dan museumnya nanti akan menyatu dengan ruang arsip dan ruang-ruang bersejarah lainnya, jadi lebih interaktif," ujar Miftah sambil tersenyum penuh harap.

(ard)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER