Jakarta, CNN Indonesia -- Ingar bingar kawasan Little Tokyo, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta, sejenak menyurut saat sinden Hiromi Kano tampil di atas panggung Festival Tradisional Jepang Ennichisai, pada Minggu sore (15/5).
Tampil dalam balutan kain dan kebaya, lengkap dengan sanggul dan sasakan, wanita Jepang ini menyinden dan mengusung atmosfer khas Surakarta. Sekalipun tanpa iringan gamelan utuh, langgam Jawa yang dinyanyikannya mampu menyihir banyak orang.
Sesaat sebelum tampil, wanita lulusan Tokyo College of Music ini memaparkan kilas balik perjalanan kariernya sebagai pesinden kepada awak media. Dulu, di kampus, ia mengambil mata kuliah utama (spesialis) piano, plus mata kuliah pilihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Di mata kuliah pilihan itu saya ambil gamelan Jawa. Tapi saat itu tidak terkesan," papar Hiromi. Lantaran dilanda penasaran, ia pun bertolak ke Jakarta, pada 1988, antara lain untuk menonton pertunjukan wayang di Taman Mini Indonesia Indah.
Saat itu, barulah Hiromi terkesan. Selanjutnya, ia menyambangi Solo, Jawa Tengah, untuk belajar menari, menyinden dan memainkan gamelan. Setelah sempat kembali ke Jepang, ia berkuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) di Surakarta era 1996-2001.
Begitu lulus, Hiromi mulai tampil dari panggung ke panggung. Langgam pertama yang dinyanyikannya,
Jineman Mendes. Makin lama, “jam terbang” makin tinggi. Hingga kini, ia telah tampil bersama 168 dalang di pagelaran wayang kulit dan upacara pernikahan.
Sebagai sinden, Hiromi berkomitmen menyanyikan langgam berbahasa Jawa. Ia sama sekali tidak tertarik memadukan atau menggantinya dengan bahasa Jepang. Ia menegaskan, perpaduan atau penggantian bahasa bukan tujuannya dalam menyinden.
"Hal seperti itu banyak diminta oleh dalang untuk menampilkan sesuatu yang berbeda. Tapi saya selalu menolak,” katanya, tegas. “Kalau untuk cari nama sangat bisa. [Tapi] tujuan saya bukan itu. Bukan untuk jadi sinden kondang di Indonesia.”
Meski demikian, Hiromi mengaku, ada pengecualian untuk lagu daerah di Indonesia. Bengawan Solo, menurut Hiromi, ada versi bahasa Jepangnya. Lagu yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Gesang ini memang sangat digemari publik Jepang.
Layaknya orang Jepang yang menjunjung tinggi nasionalisme, begitu pula Hiromi. Di satu sisi, ia mencintai Indonesia, khususnya Solo, dan di sisi lain ia tak melupakan tanah kelahirannya yang dijuluki Negara Matahari Terbit.
"Saya sudah belasan tahun tinggal di Indonesia. Saya cinta Indonesia dan Jepang. Semua ada lebih dan kurangnya," ujarnya. Kini, Hiromi masih menjalani kegiatan menyinden seperti biasa. Seringkali ia berpindah dari kota satu ke kota lain.
Hiromi bercita-cita menggelar konser tunggal. Tapi untuk saat ini, ia mengaku masih gentar melakukannya, termasuk membikin karya sendiri. "Saya enggak ingin bikin karya. Saya lebih suka tradisi. Saya ingin agar budaya
nyinden itu tidak hilang.”
(vga/vga)