Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga tahun lalu sebuah buku berjudul 'Hujan Bulan Juni' Sepilihan Sajak karya Sapardi Djoko Damono menjadi barang yang paling diburu di rak-rak toko buku besar.
Buku yang merupakan kumpulan puisi dari tahun 1959 hingga 1994 itu menjadi karya yang paling ditunggu untuk dicetak ulang setelah hening dari peredaran sejak 2009.
Bacaan berilustrasi percikan hujan di sebuah kaca dengan sehelai daun cokelat di bagian sudutnya itu memang sempat diterbitkan sebelumnya. Hujan Bulan Juni pertama kali keluar pada tahun 1994 oleh penerbit Grasindo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun itu, nama Sapardi sudah mahsyur di kalangan seniman dan juga pemerhati sastra. Sederet penghargaan internasional juga sudah mengesahkannya sebagai penulis besar.
Sebut saja Cultural Award (1978) dari Australia, Anugerah Puisi Putra (1983) dari Malaysia, Mataram Award (1985), SEA-Write Award (1986) dari Thailand atau Anugerah Seni (1990) dari Pemerintah RI yang dianugerahkan kepadanya.
Meski begitu, ternyata catatan-catatan membanggakan itu tidak membuat Sapardi terhindar dari masa-masa sulit yang dialami oleh seorang penulis kala ingin menerbitkan buku.
Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu mengaku sempat mencecap pahit berurusan dengan beberapa penerbit.
"Hujan Bulan Juni yang pertama itu dicetak oleh Grasindo tahun 1994. Kalau tidak salah, sudah dicetak ulang empat kali. Tapi terus sudah dibiarkan saja begitu," kata Sapardi ketika ditemui CNNIndonesia.com di kediamannya di Perumahan Dosen Universitas Indonesia, Ciputat, Tangerang Selatan.
Guru Besar Fakultas Sastra UI ini bercerita, awalnya dia menerima royalti dari pihak penerbit atas karyanya. Namun, tak berselang lama, Sapardi pun tak lagi menerima apapun, bahkan sekadar kabar soal penjualan.
"Bukan karena uangnya. Tapi
mbok ya dilaporin jadinya seperti apa buku-buku saya itu," ujarnya.
Catatan tak menyenangkan soal Hujan Bulan Juni itu ternyata bukan satu-satunya pengalaman buruk yang dialami oleh Sapardi. Cerita penerbitan buku Mata Pisau, Akuarium dan Perahu Kertas juga sempat menjadi pengalaman yang kemudian membuatnya berhati-hati dengan perusahaan penerbitan buku.
Jauh sebelum diterbitkan oleh Balai Pustaka, tiga judul buku itu diterbitkan sendiri oleh Sapardi. Dia menyebutnya, buku puisi tipis. Satu bukunya, kalau tidak salah, hanya ada 32 halaman. Dia pun mencetaknya hanya 200 buku. Kala itu tahun 1984.
"Ada orang Balai Pustaka waktu itu minta untuk menerbitkan buku Mata Pisau dan Akuarium. Sesudah itu Perahu Kertas. Saya beri untuk diterbitkan. Tapi saya tidak dapat apa-apa. Bukannya saya mata duitan, tapi saya tidak tahu apa buku itu laku atau tidak," cerita Sapardi.
Tercatat, selama 17 tahun sejak tiga buku puisi itu diterbitkan, Sapardi tak pernah menerima laporan apapun. Kekesalannya pun terluapkan, ketika sekitar tahun 2009, pihak Balai Pustaka mendatanginya dan mengatakan ingin kembali menerbitkan bukunya.
"Saya tanya, yang dulu saja saya enggak pernah tahu. Karena di toko buku enggak ada. Saya enggak tahu itu buku ada di mana. Enggak pernah punya laporan apa-apa. Jadi saya minta ditarik lagi sisanya," kata Sapardi.
Keluaran Editum itu berarti saya yang mengerjakan dari hilir ke hulu. Mulai dari mata air sampai ke lautnya.Sapardi Djoko Damono |
Dua pengalaman itu diakui Sapardi sebagai pemicu dendam kepada penerbit. Pada tahun 2009 dia menarik semua bukunya.
Mendapat pengalaman tak enak dengan dua penerbit tersebut kemudian membuat Sapardi bertekad untuk menerbitkan bukunya sendiri. Dia mencoba hal baru.
Dia mulai belajar mendesain buku. Menurutnya, jika bisa mengerjakan desain sendiri, berarti dia tak perlu membayar orang untuk mengurusnya.
"Saya diberitahu bahwa Gramedia itu menyediakan POD (
Print On Demand), yang bisa bikin satu eksemplar. Akhirnya saya belajar desain. Saya kerjakan sendiri. Saya tidak punya pegawai dan mengirim ke percetakan sendirian," ujarnya.
Nama Editum kemudian dipilih Sapardi sebagai tanda buku yang diterbitkannya sendiri. Mulai dari desain halaman depan, ilustrasi di bagian dalam, dan juga tentunya isi-isi puisi yang tertulis di tiap lembarnya, dilakukan oleh tangan Sapardi sendiri.
"Keluaran Editum itu berarti saya yang mengerjakan dari hilir ke hulu. Mulai dari mata air sampai ke lautnya, saya ngerjain sendiri," ungkap Sapardi.
Buku-buku terbitannya itu pun tak ditawarkan ke toko-toko buku besar. Sapardi hanya membawanya tiap kali dia menjadi pembicara di sebuah acara. "Jadi saya punya dendam dengan penerbit," aku Sapardi.
Setelah merasa dapat menjual sendiri karyanya, salah satu pendiri Yayasan Lontar ini kemudian dihampiri oleh pihak dari penerbit Gramedia. Mereka mengajukan hak penerbitan atas buku Hujan Bulan Juni.
"Saya bilang nanti dulu, saya masih trauma. Kemudian saya bilang, kalau Anda mau menerbitkan
hard cover, saya tetap berhak terbitkan buku
soft cover pakai nama Editum," katanya.
Permintaan itu kemudian disambut baik oleh si penerbit. Pada pertengahan 2013 itu dendam Sapardi pada penerbit pun seakan meluntur.
Dia kaget, ketika mendapat kabar beberapa bulan setelah dicetak, buku itu masuk rak
Best Seller dalam waktu beberapa hari.
"Saya kaget sendiri ketika buku itu jadi
Best Seller. Mulai saat itu resmi bersama GPU (Gramedia Pustaka Utama). Inilah yang kemudian saya tahu, bahwa buku saya dicari orang. Pantas, kalau saya bawa 200 (eksemplar) langsung habis," katanya tersenyum.
Kini, tiga tahun berjalan, buku Hujan Bulan Juni sudah masuk ke cetakan ketujuh. Sebuah catatan menyenangkan berurusan dengan penerbit yang diakui Sapardi.
(meg)