Jakarta, CNN Indonesia -- Menulis puluhan buku puisi dan prosa, non-fiksi, hingga menerjemahkan karya-karya sastra dunia, telah dan masih dilakukan hingga kini oleh sastarawan Sapardi Djoko Damono.
Buku-bukunya yang berbulan-bulan menempati rak
Best Seller di toko-toko buku besar membuat sosok Sapardi menjadi buruan kaum muda tiap festival-festival sastra digelar. Ada saja yang mendatanginya sekadar untuk foto, menandatangani buku, hingga meminta tips menulis.
Tak sedikit juga pembaca buku Sapardi yang meminta karya mereka langsung dinilai oleh sang Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan hanya pada saat dia bertemu langsung dengan pembacanya, 'todongan' untuk menilai naskah karya puisi juga dialami Sapardi melaui jejaring sosial.
Lewat akun Facebook, pria kelahiran 20 Maret 1940 ini sering diminta untuk mengoreksi naskah-naskah yang dikirim oleh penggemarnya.
"Di Facebook banyak yang kirim naskah, dan saya disuruh koreksi. Saya enggak punya waktu lagi. Jadi ikut Facebook itu mungkin hanya setahun," katanya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di kediamannya di Perumahan Dosen UI, Ciputat, Tangerang Selatan.
Dia bercerita, teknologi yang ada saat ini sebenarnya membuat semua orang dapat menulis sekaligus mempublikasikan karya dengan sangat mudah. Hanya saja, tidak semua orang bisa menyajikan tulisan yang menarik.
Sapardi mengatakan, puisi-puisi yang dibuatnya merupakan respon atau pengalaman dari apa yang telah dibacanya.
Artinya, jika seseorang ingin dapat membuat puisi, maka ia harus banyak membaca puisi. Sama halnya dengan orang yang ingin dapat berbicara, maka ia harus belajar mendengar.
"Dari sana kosa kata bertambah, kalimat bertambah. Semakin pintar seseorang memilih apa yang dia baca, dia akan terpengaruh. Kalau kita baca sesuatu dan bilang tidak terpengaruh, itu bohong," ujar Sapardi.
Dia pun mengatakan akan segera tahu jika seseorang benar-benar membaca karya sosok yang diidolakannya atau tidak.
"Kalau yang bacanya serius, pasti ada bekas penulis yang dibacanya dalam tulisan yang dia buat," katanya.
Hal lain yang diyakini oleh salah satu pendiri Yayasan Lontar ini adalah dia tidak pernah dengan sengaja mencari inspirasi dalam membuat puisi. Baginya, niat menulis lebih penting dari pada perkara inspirasi.
"Inspirasi itu kalau dicari pasti lari. Kalau kita punya niat nulis ya menulis saja. Kalau saya, menulis itu dari kehidupan sehari-hari saja. Yang saya tangkap dari sekitar saya," ujar penggemar buku karya T.S Eliot ini.
Kalau yang bacanya serius, pasti ada bekas penulis yang dibacanya dalam tulisan yang dia buat.Sapardi Djoko Damono |
Dari peristiwa-peristiwa nyata yang dilihatnya itu, Sapardi menyebut, biasanya akan ada satu baris kalimat yang tiba-tiba muncul. Biasanya semacam ungkapan.
Tak hanya soal anti mencari inspirasi, larangan lain yang harus disadari oleh para penulis adalah menulis dalam keadaan emosi.
Baginya, menulis dalam keadaan emosi yang tenang membuat seseorang dapat lebih baik dalam menyusun kata-kata.
"Kalau kita emosional, apa saja, baik itu marah, jengkel, muram, ya jangan menulis. Nanti kalau sudah turun ya baru menulis. Ada jarak antara apa yang kita ingin tulis dengan waktu menulis. Jarak estetik namanya. Itu penting sekali," kata Sapardi.
Jika emosi sudah reda, Sapardi mengatakan, bagian penting terakhir yang harus disadari adalah menulis dengan logis. Baginya, puisi adalah karangan yang paling logis.
"Bait, kalimat dan kata itu harus logis. Setiap kata harus ada hubungan dengan satu sama lain, yang kemudian dinamakan struktur. Struktur itu harus nyambung satu sama lain. Semakin banyak sambungannya, semakin kokoh tulisan itu," ujarnya.
(meg)