Jakarta, CNN Indonesia -- Insting seni Jin Hi Kim tergelitik saat berkunjung ke Indonesia, beberapa waktu lalu. Seniman asal Korea itu mendapat pengalaman-pengalaman mistis. Perjalanan spiritual itu lantas ia tuangkan dalam pentas seni bertajuk Ghost Komungo.
Komungo merupakan alat musik tradisional Korea sejak abad ke-empat. Tapi komungo milik Kim berbeda. Alat musik buatannya lebih dari sekadar dipetik seperti kecapi. Kim membuat komungo menjadi elektrik melalui program komputer.
Kim sudah melakukan upaya 'modernisasi' sejak ia tinggal di Amerika pada 1998. Dengan musik 'mutan' bikinannya itu Kim mementaskan
Ghost Komungo secara perdana di New York, pada Desember lalu. Berikutnya pada Minggu (17/7), giliran di Bandung, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ghost Komungo ditampilkan menutup acara Bandung International Digital Arts Festival (BIDAF) 2016, yang sudah terselenggara sejak Jumat (15/7). Berkolaborasi dengan seniman visual Amerika, Benton C. Bainbridge, Kim memukau penonton.
Panggung Bandung Convention Center dihias tirai-tirai transparan yang sesekali berkibar ditiup angin.
Ghost Komungo mengawali pertunjukan dengan narasi yang terdengar menyayat di tengah keheningan. Seorang perempuan menceritakan asal-usul nama komungo, yang artinya gagak hitam.
"Suatu hari pada abad ke-empat di sebuah desa di Korea, burung- burung gagak hitam terbang mengitari peralatan musik. Alat musik itu kemudian dinamakan komungo, yang berarti burung gagak hitam," narator memecah hening.
Senyap kembali membekap setelah suara itu teredam oleh kepakan sayap gagak yang terdengar dari seluruh penjuru panggung. Lampu pun mulai menyoroti Kim, yang memainkan instrumennya. Jari-jari lincah memetik sinar komungo. Kaki-kaki terentak berirama mengatur efek suaranya.
Lantunan musik nan merdu itu lalu diiringi bayang gagak yang menari-nari pada tirai transparan di sekelilingnya. Itulah seni visual karya Bainbridge. Magis, tapi sekaligus indah mengejutkan.
Selama 40 menit selanjutnya, narator menuturkan perjalanan spiritual Kim. Dimulai dari pesan leluhur di Tanah Toraja, bertemu wayang jatayu di museum Jakarta, sampai bermeditasi di Solo. Di antara momen-momen itu, ia bertemu gagak.
Gabungan narasi, musik, dan berkas bayangan gagak itu membius penonton. Suara petikan komungo seperti membawa penonton ke alam meditasi. Bainbridge seperti menghadirkan hantu-hantu Kim di dunia nyata. Mereka berbentuk burung gagak, wayang jatayu, dan ilustrasi-ilustrasi lain yang membuat suasana makin mencekam.
BIDAF 2016 seakan mencapai klimaks dengan suguhan spesial itu di pengujung acara.
Kolaborasi Mutlak Seni dan TeknologiSaat berbincang dengan CNNIndonesia.com di akhir
Ghost Komungo, Kim dan Bainbridge menyebut penampilan mereka sebagai 'multimedia.' Kolaborasi dua aspek, musik dan seni visual. Menariknya, keduanya dibuat digital.
Gagasan membuat komungo, yang sudah eksis sejak abad ke-empat itu ke ranah digital, diawali sejak Kim pindah ke New York. Ia bermain komungo akustik sejak usianya masih 13 tahun. Ketika 'hijrah' ke New York, Kim mulai bereksperimen dengan program komputer.
Ia lantas menyatukan kedua hal itu pada 1998. Komungonya kini bukan hanya bisa dipetik, tetapi juga mengeluarkan efek suara saat pedal di bagian kaki ditekan. "Instrumen ini sudah terkomputerisasi, jadi elektrik komungo," ujar Kim.
Menurutnya, kolaborasi musik dan digital itu bisa dilakukan siapa saja dan di mana saja. Untuk alat mudik tradisional Indonesia, ia mencontohkan gamelan. Alat musik Jawa itu perlu dimasukkan dalam program komputer terlebih dahulu untuk diambil contoh suara yang akan dimainkan.
Jika sudah punya contoh suara, kata Kim, komputer bisa memperkayanya dengan efek-efek khusus.
Seniman tinggal memainkannya secara jujur dan bebas, seperti seni dan musik itu sendiri. "Instrumen tradisional bisa dimainkan dengan cara yang berbeda dan menjadi kreativitas, itulah seni."
Ia berpendapat, mengolaborasikan seni dan digital mutlak dilakukan. "Karena waktu itu tetap, tapi hidup selalu berubah. Jadi kita tidak hidup di abad ke-12 lagi, kita tidak hidup di abad ke-empat lagi, kita hidup sekarang di abad ke-21," Kim mengatakan.
Ia melanjutkan, "Manusia hidup kurang dari 100 tahun. Manusia harus mengekspresikan secara bebas apa yang dirasakan. Seniman yang selalu menciptakan sesuatu yang baru adalah seniman yang berani, sensitif tentang masa sekarang."
Pendapat Kim diamini rekannya, Bainbridge. Menurutnya, menciptakan kolaborasi artinya mengkreasikan kesempatan. Bukan hanya bagi seni tradisional agar tetap eksis, tetapi juga alternatif cara menyampaikan ekspresi dalam dunia seni.
Ia tidak ingin tradisi yang sudah terbentuk sejak lama, hilang begitu saja ditelan zaman. Semua tradisi, katanya, punya nilai yang bisa diambil demi kehidupan yang lebih baik. Teknologi bisa dijadikan alat untuk membantu tujuan mulia itu.
"Dengan melihat tradisi lama atau budaya, kita bisa belajar banyak. Anda bisa belajar, bisa terinpirasi dari seni tradisional. Jika Anda menginterpretasikan itu lagi dengan alat kontemporer, akan membantu orang memahaminya," kata Bainbridge memaparkan.
Agar pesan itu tersampaikan jelas, memang tidak mudah. Butuh usaha keras dan terkadang waktu yang lama. Untuk membuat instalasi di mana orang bisa bergerak interaktif di depan layar dengan beragam latar belakang warna saja, Bainbridge butuh waktu empat tahun. Kelihatannya simpel.
Tapi bukan berarti Indonesia tidak bisa melakukannya. Ia melihat beberapa karya sudah menerapkan itu, terutama para seniman muda.
"Sejauh ini saya melihat banyak karya yang saya suka. Seniman digital muda di Indonesia sungguh mendorong
digital art menuju arah yang berbeda-beda, misalnya menggunakan benda fisik seperti topeng dengan tradisinya. Menurut saya sangat menginspirasi dan jelas menarik," ia berpendapat.
(rsa/vga)