Jakarta, CNN Indonesia -- Film terbaru Garin Nugroho, yang digarap dengan konsep bisu dan hitam putih, dibuka dengan adegan pengenalan tokoh Setan Jawa (Luluk Ari) yang digambarkan lewat sosok anak kecil yang dihukum oleh kolonial Belanda. Kematiannya yang mengenaskan menjadikannya setan yang berdiam di sebuah candi.
Adegan lalu berpindah ke Setio (Heru Purwanto), pemuda miskin yang hidup di gubuk reot, dan Asih (Asmara Abigail) putri bangsawan yang tinggal di rumah gedongan. Di sebuah pasar, keduanya secara tak sengaja bertemu dan saling pandang. Tusuk konde Asih tak sengaja jatuh dan dipungut Setio.
Keduanya kemudian jatuh cinta. Namun nasib belum menjodohkan mereka. Kesal karena lamarannya ditolak, Setio pergi ke pasar mistis dan melakukan pesugihan kandang bubrah, jalan pintas untuk menjadi kaya lewat bantuan gaib, dan bersepakat dengan Setan Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usaha Setio meminang Asih berhasil, akan tetapi sisa hidupnya harus dipenuhi segala konsekuensi atas pesugihan yang dilakukan.
Iringan musik
Film
Setan Jawa tidak berdiri sendiri. Garin berkolaborasi dengan komposer Rahayu Supanggah. Selama film berlangsung, yang dikonsep bisu dan hitam putih, para pemain musik tradisi dari Rahayu Supanggah Gamelan Orchestra lalu berperan memberi suara dan warna.
Ada sekitar 20 pengrawit yang duduk di hadapan layar menghadap penonton sembari memainkan sejumlah instrumen seperti rebab, demung, trebang,
kendang Jawa, bonang, cymbal, angklung Banyuwangi, gender, suling Bali, synthesizer, serta vokal.
Permainan musik mengikuti
mood adegan dalam film. Harmonisasi yang pas dari para pemain musik membuat film yang tak bersuara dan tanpa warna itu, lalu menjadi hidup dan berasa nyata.
Suasana mistis menjalar lewat denting trebang tunggal, sementara riuh pasar diramaikan oleh bunyi kendang. Semua sahut menyahut bergantian mengikuti alur cerita. Ketika Asih dirundung malang dan ingin berteriak sekerasnya, vokal yang dibawakan salah satu penyanyi menyatu lewat ekspresi Asih di layar. Keduanya sama-sama menyayat hati.
Meski tak bersuara, film Setan Jawa memiliki sinematografi yang kuat bercerita; lewat pengambilan gambar dengan komposisi yang pas, hingga gerak tubuh dan ekspresi wajah para pemain.
Asmara Abigail sebagai Asih mampu menyampaikan kegelisahan dan penderitaannya lewat mimik wajah yang sendu dan mengundang simpati. Begitu juga dengan Heru Purwanto yang menggambarkan sikap pasrah Setio.
Dua duniaSetan Jawa adalah cara Garin menghadirkan dua dunia; yang nyata dan tidak nyata, atau yang realitas dengan yang bukan realitas secara bersamaan.
Menggunakan latar Indonesia di awal 1920-an, Garin seolah merunut sejarah ketika masyarakat Jawa meyakini akan berbagai macam bentuk ritual mistis, seperti pesugihan.
Ada beberapa macam jalan pintas menjadi kaya lewat bantuan gaib ini, antara lain pesugihan tuyul untuk mencuri uang di sekitar rumah, pesugihan bulus putih dengan meditasi di kolam tempat bulus putih, serta pesugihan kandang bubrah yang menjadi tema film.
Meski mudah dicerna, Garin masih menempatkan simbol-simbol dalam film yang tayang di setidaknya enam negara itu. Simbol-simbol tersebut merepresentasikan dua dunia tanpa batas, seperti simbol bulus yang merepresentasikan dunia bawah kosmologi Jawa, atau kepiting simbol dunia miring, atau alih-alih memiringkan dunia. Keduanya juga hidup dalam dua dunia, darat dan air.
Simbol lainnya terdapat di topeng tokoh setan pesugihan; topeng menjadi dunia setan, dan sosok pemakainya adalah dunia manusia.
Sebuah eksperimen
 Salah satu cuplikan Setan Jawa. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Selain para aktor dalam film yang bermain dengan baik, para maestro musik tradisi dari orkestra gamelan Rahayu Supanggah juga memberi permainan yang apik dan membuat takjub. Tarian tradisi yang dibawakan duo maestro tari Dorothea Quin (sebagai Ibu Asih) dan Rusini (nenek Asih) dalam salah satu adegan film membuat bulu kuduk merinding.
Setan Jawa memang fokus pada mistik Jawa sebagai fenomena kontemporer, akan tetapi tidak hanya itu, ia juga sekaligus bereksperimentasi lewat bahasa visual, dan menggabungkannya dengan teater, tari, dan musik tradisi-kontemporer.
Menonton
Setan Jawa lalu bukan sekedar menyaksikan film bisu dan hitam putih, tapi juga menikmati musik hidup yang memberi pengalaman berbeda yang mungkin belum pernah dirasakan sebelumnya.
(rsa/rsa)