Jakarta, CNN Indonesia -- Berulang-ulang Nia Dinata menonton
Tiga Dara, film populer karya Usmar Ismail yang dirilis 1956. Tapi bukan hanya melihat bagaimana hubungan keluarga serta asmara zaman itu, Nia juga menyadari sebuah isu besar yang berbeda.
Soal keperempuanan. Perempuan-perempuan pada masa itu, cerita Nia saat berkunjung ke kantor redaksi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, ditampilkan sebagai sosok yang cukup lembut dan cantik untuk 'dipajang.' Film Barat pun demikian.
Tapi Nia berpikir, "Mereka ini kerjanya apa ya?"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di
Tiga Dara misalnya, si sulung selalu diperlihatkan di rumah, kebanyakan memasak. Si tengah dan bungsu kisahnya masih sekolah, tapi tak diperlihatkan pula kegiatan mereka belajar. Justru lebih banyak bermain dan pacaran.
Itulah yang mendorong Nia membuat film yang inspirasinya sama, tapi penggarapannya berbeda. Sejak Kamis (1/9) lalu film terbarunya,
Ini Kisah Tiga Dara sudah diputar di bioskop. Garis besar ceritanya sama, tiga bersaudara yang tinggal dengan nenek dan sama-sama mencari pasangan.
Bedanya,
Ini Kisah Tiga Dara jauh lebih modern. Si sulung masih suka memasak, tapi ia punya bisnis hotel sendiri. Si tengah juga masih genit dan agresif, tapi punya pekerjaan tetap yang membuatnya mandiri, tidak tergantung lelaki.
Ini Kisah Tiga Dara bukan film pertama Nia yang kental dengan isu keperempuanan di baliknya.
Arisan! (2003),
Berbagi Suami (2006),
Perempuan Punya Cerita (2008), dan
Arisan! 2 (2011) juga mengangkat isu yang sama di balik ceritanya.
"Isu perempuan itu tidak biasa ya, saya selalu mengingat perempuan seperti apa, bahkan diri saya sendiri. Kehidupan sehari-hari saya pun dekat dengan teman-teman yang perempuan," kata Nia.
Bisa dibilang ia sudah paham betul soal isu keperempuanan. Saat kuliah di New York University, Nia mengambil studi feminisme. Sehari-hari dalam pergaulannya sebagai perempuan, baginya bagaikan sebuah penelitian.
Apalagi ia juga juga membaca buku bertema feminisme. Misalnya, tulisan Naomi Wolf dan Milan Kundera. "Kalau untuk inspirasi feminis saya baca penulis luar. Tapi buku Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu juga suka saya baca," kata Nia.
"Saya jadi memiliki banyak pertanyaan tentang perempuan. Mengapa dalam film Indonesia perempuan sering digambarkan sebagai orang yang di rumah saja? Kenyatannya kan tidak seperti itu," lanjutnya. Ia pun memilih membuat film-film yang menampilkan perempuan lebih dari soal domestik.
Nia menekankan, saat ini isu keperempuanan penting untuk disuarakan. Terutama dalam dunia seni yang bisa dinikmati banyak orang.
"Perempuan harus tetap bercerita tentang perempuan. Kalau diliat dari sudut populer isu perempuan biasa, tapi dari sudut
non-mainstream itu tidak biasa. Isu perempuan yang ditampilkan bisa mengubah hidup orang," kata Nia.
(rsa/rsa)