Jakarta, CNN Indonesia -- Rumah produksi Indonesia belum seterbuka di luar negeri. Jangankan memamerkan jumlah penonton. Menyebut biaya produksi dan total keuntungan dari penjualan tiket saja masih enggan. Hanya rumah-rumah produksi besar yang filmnya laris yang mau.
Itu diakui Anggy Umbara, sutradara yang film-filmnya menembus satu juta penonton. Anggy mengaku tidak bisa mengungkapkan secara pasti biaya produksi film barunya,
Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! yang dalam enam hari ditonton tiga juta orang.
Katanya, kuasa soal biaya produksi film ada di tangan produser. Sang produser yang dimaksud, Frederica baru mengungkap biaya produksi dan promosi setelah hari ke-lima filmnya. Total sekitar Rp25 miliar, Rp10 miliar produksi dan sisanya promosi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Anggy, ketidakterbukaan rumah produksi Indonesia bukan hal yang baik. Seharusnya masing-masing bisa secara terbuka mengungkap biaya produksi dan keuntungan, agar industri perfilman semakin sehat. Kompetisi pun bergairah.
"Di Hollywood sudah buka-bukaan bujet. Di sana ada standar dan aliansi, di sini masih terpecah-pecah. Belum satu suara bergabung. Mungkin pemerintah yang harusnya bisa menyatukan dan menyelesaikan semua detail permasalahan yang ada," kata Anggy saat dihubungi oleh
CNNIndonesia.com, Rabu (14/9).
Ditanya soal itu, Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI) Kemala Atmojo mengatakan bahwa ketidakterbukaan mungkin disebabkan sumber modal pembuatan film.
"Kalau rumah produksi luar, ada banyak pihak yang telibat sebagai pemodal. Sehingga mereka harus mengumumkan berapa biaya produksi. Sedangkan di Indonesia rumah produksi itu biasanya memakai biaya sendiri tanpa investor," ujar Kemala saat dihubungi
CNNIndonesia.com dalam kesempatan yang berbeda.
Dengan begitu, "Mereka tidak punya kewajiban mempublikasikan biaya produksi."
Tidak ada yang bisa disalahkan soal itu, menurut Kemala. Sebagai perusahaan swasta, rumah produksi memang tidak harus memberikan rincian biaya kepada publik. Dipayungi UU No 40 Tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas (PT), mereka tidak diharuskan mengumumkan biaya produksi yang dikeluarkan.
Kewajiban hanya ditujukan kepada pemegang saham dan lembaga pajak.
"Rumah produksi Indonesia swasta kan, tidak
go public. Jadi masyarakat tidak berhak tahu mengenai biaya mereka. Jangan sampai salah kaprah, transparansi itu ada aturannya," kata Kemala. Keputusan itu tergantung kebijakan perusahaan.
Di sisi lain, kebanyakan rumah produksi di Indonesia juga memilih main aman dalama masalah biaya produksi. Mereka tak ingin biaya yang diketahui banyak orang itu menjadi senjata bagi mereka sendiri. Mereka tak mau disalahkan jika merugi.
"Perusahaan harus punya rencana dan citra. Kalau terlalu kecil [biayanya] takut dibilang itu film kecil. Kalau terlalu besar tiba-tiba filmnya enggak berhasil takutnya malu juga. Jadi mereka lebih ke strategi
building image-nya saja," kata Anggy.
(rsa)