Jakarta, CNN Indonesia -- Digelar untuk kali kelima, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2016 mengangkat karya klasik kesusasteraan Jawa, Serat Centhini sebagai pembahasan utama, dengan tajuk; "Setelah 200 tahun Serat Centhini: Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-kitab Nusantara."
Disusun pada awal abad ke-19, Serat Centhini merupakan genre puisi panjang yang digubah dalam bentuk lagu yang digagas oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III.
Lebih dikenal sebagai karya erotis, Centhini ternyata lebih dari sekedar itu. Isinya meliputi kuliner, sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur, falsafah, agama, mistik, ramalan, sulapan, ilmu kekebalan, perlambang, hingga perihal flora, fauna dan seni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Serat Centhini bisa dibilang karya mulia, tapi juga jorok," ujar Seno Joko Suyono, Kurator Festival BWCF, dalam pemaparan festival di Jakarta, pada Kamis (22/9).
Turut hadir dalam kesempatan pemaparan BWCF 2016 yang diusung Samana Foundation tersebut Triawan Munaf sebagai Ketua Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, Yoke Darmawan, Direktur Festival, dan Prof. Dr. Mudji Sutrisno.
Sejak awal digelar, BWCF telah mengusung sejumlah topik bahasan khusus, seperti cerita silat pada gelaran pertama 2012, sejarah maritim nusantara pada 2013, Ratu Adil dan pemberontakan di nusantara pada 2014, serta bencana dan mitologi nusantara pada 2015.
"Di BWCF kali ini, kami akan pertemukan semua peneliti yang pernah mengupas Serat Centhini dalam satu pertemuan, dan ini untuk kali pertamanya mereka semua bertemu dalam satu forum," ujar Seno.
Serat CenthiniDisampaikan Seno dan juga Yoke, ada banyak alasan kenapa Serat Centhini kali ini dipilih sebagai topik bahasan utama.
Serat Centhini adalah 'ensiklopedi' kehidupan orang Jawa hingga awal abad ke-19.
Khusus mengenai ulasan erotisisme yang berkaitan dengan pandangan relijius, Centhini memperlihatkan pandangan yang bertolak belakang dari Tantrayana yang berkembang pada masa-masa sebelumnya, yaitu pada Singasari dan Majapahit.
Pandangan tentang erotisisme semacam itu tidak hanya terdapat pada kitab-kitab sastra klasik, melainkan berlanjut pada sastra kontemporer.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Serat Centhini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dengan versi lebih singkat, novel, seni tari, teater, fotografi, hingga ziarah perjalanan tempat-tempat dan rekonstruksi kuliner yang tercantum di dalamnya.
Ada beberapa sesi khusus yang akan mengupas tuntas Serat Centhini selama perhelatan festival. Di antaranya sesi Tafsir Serat Centhini, yang membahas seksualitas dan religiusitas dalam karya tersebut bersama Elizabeth Inandiak, Dr. Karsono Saputro, Kartika Setyawati dan Dr. Manu W Padmadipura Wangsawikrama.
Sesi lainnya mengangkat tema khazanah kuliner dan Jawa klasik dalam Serat Centhini, serta seks dan relijiusitas dalam karya sastra Jawa klasik dengan pembicara Prof Dr Timbul Haryono, Agus Wahyudi, dan KH Agus Sunyoto.
Sesi pelengkap berikutnya mengupas bagaimana khazanah sastra klasik dan makna seksualitas dalam kebudayaan kontemporer bersama Dr. Gadis Arivia, Dr. Emanuel Subangun, Dr. Katrin Bandel dan Dinar Rahayu.
Tidak hanya membahasnya tuntas lewat diskusi ilmiah, Serat Centhini juga ditampilkan lewat pementasan Tari Centhini oleh koreografer Heri Lentho (Surabaya), serta pementasan Serat Centhini oleh Agnes Christina (Jakarta).
Pengunjung juga akan dapat menikmati pameran foto oleh Fendi Siregar yang sebelumnya menghabiskan waktu bertahun tahun melakukan perjalanan budaya napak tilas Serat Centhini.
Selain karya sastra klasik Jawa tersebut, festival juga merayakan karya besar nusantara lainnya, seperti Sureq Galigo atau I La Galigo yang diyakini sebagai epos terpanjang di dunia yang diciptakan masyarakat Bugis pada awal abad ke-13.
Borobudur Writers & Cultural Festival berlangsung dari 5 hingga 8 Oktober 2016, di beberapa tempat di Magelang dan Yogyakarta, yaitu di The Heritage Convention Centre, Hotel Plataran Borobudur, Magelang, Hotel Atria, SMA Seminari Mertoyudan, dan di Pendopo Ndalem Ageng Pesanggrahan, serta Hotel Royal Ambarukmo Yogyakarta.
Sekurangnya 300 penulis dan budayawan, serta akademisi, pakar sejarah, sastrawan, arkeolog, rohaniwan, penulis buku, dalang, filolog dan lainnya hadir dalam festival ini.
"Ini adalah salah satu upaya menggali khasanah klasik untuk memahami dan membentuk kebudayaan nusantara dalam konteks kekinian dan masa depan," ujar Yoke.
Program LainnyaSelain mengupas Serat Centhini, BWCF juga mengusung sejumlah program lainnya, seperti musyawarah penerbit dan penulis bersama Badan Ekonomi Kreatif, serta workshop penulisan cerpen.
Pada malam pembukaannya, Garin Nugroho akan menyampaikan Pidato Kebudayaan, diikuti pementasan 1000 Topeng oleh Sujopo Sumarah Purbo (Malang).
Selama empat hari festival, pertunjukan seni dari berbagai daerah juga akan tampil di hadapan publik, dari mulai penampilan Komunitas Lima Gunung (Magelang), PM Toh (Aceh), Tari Fomani (Pulau Siompu, Buton), Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan), Reyog Bulkiyo (Blitar), Ganzer Lana (NTT), Lamalera Band (NTT), hingga DnD Music (Yogyakarta).
Para penyair juga mementaskan puisinya, seperti Oka Rusmini, Cynthia Hariadi, Ali Arsy, Norman Erikson Pasaribu, F. Aziz Manna dan Sosiawan Leak.
Selama festival berlangsung, publik juga dapat menikmati pameran lukisan oleh Langgeng Art Foundation.
Seluruh rangkaian acara akan ditutup dengan pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award 2016 pada tokoh yang berjasa melakukan pengembangan dan kajian sejarah dan peradaban nusantara, tanpa pamrih. Kali ini penghargaan tersebut diberikan pada Kartono Kamajaya yang telah mengalihbahasakan Serat Centhini dari bahasa Jawa ke bahasa latin sehingga jadi rujukan bagi peneliti setelahnya.
Disampaikan Yoke, BWCF juga ditujukan untuk para penulis, akademisi, peneliti sejarah, arkeolog, jurnalis, pencinta sejarah, mahasiswa dan masyarakat umum.
Seluruh acara tidak dipungut biaya, dan informasi mengenai jadwal dan lokasi festival dapat dilihat di situs web
Borobudur Writers and Cultural Festival.