Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak sia-sia Paul Beatty mencurahkan seluruh perasaan dan upayanya saat menulis
The Sellout. Buku itu membawanya menjadi orang Amerika pertama yang memenangi Man Booker Prize, Selasa (25/10).
Mengutip
Reuters,
The Sellout merupakan buku satire tentang rasialisme di Amerika Serikat. Buku itu bercerita lewat tokoh utama yang disebut Bonbon. Ia berusaha meletakkan kembali kotanya, California, ke dalam peta. Sebelumnya, diceritakan kota itu telah dihapus dari peta secara resmi melalui perbudakan dan pemisahan diskrinatif di sekolah menengah.
Novel setebal 289 halaman itu diawali dengan Bonbon berada di pengadilan. Ia kemudian flash back ke sebuah momen yang membuatnya berada di titik yang sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beatty menulis novelnya dengan kata-kata lugas tapi juga dibumbui simbol-simbol yang filosofis. Beberapa bahasa maupun adegan yang ia sampaikan mungkin akan menyinggung. Misalnya, ayah yang ditembak polisi. Atau aktor kulit hitam yang menjadi budak Bonbon.
“Ini buku yang sulit. Berat bagi saya menuliskannya, berat pula untuk membacanya,” kata Beatty. Ia bercucur air mata setelah kemenangannya diumumkan dan penghargaan diberikan di gedung bersejarah London, Guildhall. Kemenangan itu sangat berarti bagi Beatty.
“Bagi saya, ini benar-benar meyakinkan bahwa apa yang penting bagi saya juga penting bagi orang lain,” ujar penulis berkulit gelap itu kepada media saat konferensi pers.
Upaya Beatty menulis
The Sellout dipahami betul oleh dewan juri Man Booker Prize. Menurut salah satu juri, Amanda Foreman, kemenangan Beatty dan
The Sellout diperoleh dengan suara bulat. Itu didapat setelah empat jam rapat penuh diskusi. Juri dibuat terpana oleh itu.
“Novel ini langsung menancap ke jantung masyarakat kontemporer Amerika, dengan kecerdasan biadab yang belum pernah saya lihat setelah Swift atau Twain,” ujarnya memuji. Ia melanjutkan, “Novel ini berhasil menguak seluruh nuansa sosial, semua hal yang sakral, tetapi juga membuat kita tertawa sekaligus meringis. Ini baru novel, untuk zaman kita.”
The Sellout merupakan novel ke-empat Beatty. Seringkali ia fokus pada masalah rasialisme. Penulis 54 tahun itu pernah menyunting antologi humor bertema Afrika-Amerika. Dengan The Sellout memenangi Man Booker Prize, ia berhak mendapat hadiah uang 50.000 poundsterling.
Bagi penerbit yang menaungi
The Sellout, Oneworld ini merupakan kemenangan di Man Booker Prize yang ke-dua. Sebelumnya ia pernah mengantarkan novel berjudul
A Brief History of Seven Killings yang ditulis oleh Marlon James, pengarang Jamaika, sebagai pemenang.
Selama ini, Man Booker Prize pernah jatuh ke tangan penulis ternama seperti Salman Rushdie, Hilary Mantel, dan Margaret Atwood. Salah satu penulis Indonesia, Eka Kurniawan pernah masuk dalam daftar panjang untuk Man Booker International.
Juri Man Booker Prize telah bekerja keras sejak Januari. Mereka membaca 155 novel, mengerucutkannya menjadi 13 nama, sampai akhirnya memuncak jadi hanya enam orang.
(rsa)