Jakarta, CNN Indonesia -- Film dokumenter pada hakikatnya memang tak seperti film komersil yang lebih mudah diakses dan banyak diketahui masyarakat pada umumnya.
Untuk itu pada 2002, Shanty Harmayn seorang produser film di Indonesia membentuk In-Docs, untuk memperkenalkan dokumenter kepada masyarakat Indonesia sehingga memuncul ide dan opini baru.
Hal itu diungkapkan Amelia Hapsari selaku Program Director In-Docs yang ditemui di Jakarta pada Kamis (24/11). Menurutnya pada 2002 saat demokrasi dimulai, banyak ide baru yang kemudian tumbuh untuk membuat film dokumenter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak anak muda yang ingin mewujudkannya, makanya kami membuat pelatihan," kata Amelia.
Sebagai yayasan non-profit, In-Docs berfokus pada pengembangan film dokumenter. Menurut Amelia, film dokumenter memiliki potensi besar untuk terwujudnya diskusi yang bermakna serta dapat memotivasi masyarakat untuk semakin peduli, toleran dan berkelanjutan.
"Sayangnya, ketersediaan infrastruktur di Indonesia dan lingkungan Asia Tenggara lainnya untuk mengakses film dokumenter kurang memadai," tuturnya.
Padahal, menurutnya banyak sineas yang menciptakan banyak film menarik dan penting, sementara mayoritas penonton tak memiliki akses untuk dapat menonton film-film dokumenter kreatif mengenai hal-hal penting dalam kehidupan sekitar.
"Film dibuat tanpa ditonton percuma, dan memang film dokumenter tidak sebanyak film fiksi yang punya tempat di bioskop atau televisi. Tempat pemutarannya terbatas," ungkap Amelia.
Oleh karenanya, In-Docs kerap menyiasati dalam membantu pengembangan film dokumenter yakni lewat kerjasama dengan komunitas ataupun universitas untuk mendapat tempat. Karena menurutnya untuk masuk bioskop film dokumenter prosesnya akan lebih rumit.
"Bioskop memberatkan dengan harus membuat DCP (Digital Cinema Package), kalau mau serentak diputar harus buat banyak. Kalau ternyata kursinya tak memenuhi tak ditayangkan lagi, sayang DCP-nya. Belum lagi butuh promosi, kalau tak balik modal dari tiket tentu rugi," tutur Amelia.
Dapat dipastikan selain masalah tempat pemutaran, film dokumenter pun kerap terhambat dengan masalah pendanaan.
"Kalau film fiksi pasti mendapat dari penjualan tiket bioskop, mereka bisa menghitung dari itu. Sementara dokumenter tidak ada saluran distribusi sehingga sulit," ungkapnya.
Pernah bertukar ide dengan organisasi serupa di Inggris yakni Britdoc, Amelia menyampaikan bahwa In-Docs mengambil ilmu untuk mengatasi permasalahan pemasaran film dokumenter.
"Kalau cari penjualan tiket akan semakin sulit, jadi setiap film dokumenter yang dibutuhkan yakni membuat strategi dampaknya," kata Amelia.
Dia memberi contoh strategi dampak itu lewat film
That Sugar. Film dari Australia. Menurutnya, film itu memberi pesan soal bahaya gula bagi kesehatan.
"Film kritis itu akan sulit dapat pendanaan, jadi yang dapat disasar langsung adalah yang memiliki kepentingan sama," kata Amelia.
Lebih lanjut menjelaskan, "seperti sekolah, pendidik pasti ingin muridnya tidak banyak mengonsumsi itu, lalu menteri kesehatan, dinas kesehatan juga pemerintah daerah, akan banyak pengeluaran negara kalau masyarakat sakit."
"Dapat juga produk yang percaya hidup sehat lebih baik, seperti brand olahraga dan sayuran organik," imbuh Amelia.
Dari sanalah menurutnya akan mendapat target penonton. Itu yang kemudian perlu diterapkan oleh para pembuat film dokumenter di Indonesia, merancang strategi dampak dari film yang dibuat.
"Setelah dirilis punya dampak nyata, tidak sekedar ditonton tapi dapat menjadi peluang mencari dana baru," pungkas Amelia.
Selain itu Amelia turut menyampaikan bahwa dalam membuat film dokumenter meski memiliki dana yang terbatas sebaiknya tidak dibuat asal-asalan.
"Harus ada visi yang jelas, teknisnya tidak dibuat asal karena untuk dapat apresiasi tentu harus bagus, dan yang bagus akan terus dicari," ujarnya.
(rah)