Harapan Angelina Jolie Usai Rilis Film Genosida di Kamboja

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Selasa, 07 Mar 2017 06:27 WIB
Usai merilis film tentang kejadian genosida di Kamboja tak lantas membuat Angelina Jolie tenang. Ada harapan tersembunyi Jolie dari film itu.
Usai merilis film tentang kejadian genosida di Kamboja tak lantas membuat Angelina Jolie tenang. Ada harapan tersembunyi Jolie dari film itu. (REUTERS/Kevork Djansezian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dengan rilisnya film Angelina Jolie, First They Killed My Father, ternyata tidak lantas membuat aktris cantik itu lega. Ia berharap filmnya tersebut tidak membawa kebencian dalam masyarakat Kamboja.

Mantan Brad Pitt tersebut mengatakan hal itu dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi Inggris. Kekhawatiran Jolie lantaran film ini berlatar kejadian genosida yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah di akhir dekade 1970-an silam.

"Saya berharap film ini tidak membawa kebencian. Saya berharap hak ini tidak menyebabkan saling lempar kesalahan," kata Jolie.

"Saya harap masyarakat Kamboja bangga atas apa yang mereka lihat, karena mereka melihat apa yang mereka pertahankan,"

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Februari lalu, Jolie tampil perdana usai prahara rumah tangga dengan Brad Pitt dalam acara premier film tersebut di Kamboja.

Dalam acara tersebut, dia tampak bersama dengan keseluruhan anaknya.

First They Killed My Father berlandaskan autobiografi aktivis hak asasi manusia (HAM) Kamboja sekaligus sahabat Jolie, Loung Ung.

Film itu menggambarkan kekacauan yang terjadi di Kamboja saat dikuasai oleh rezim Khmer Merah, seperti lebih dari dua dari tujuh juta jiwa terbunuh, termasuk ayah, ibu, dan dua saudara perempuan Ung.

"Saya berpikir, kisah apa yang saya rasakan yang penting untuk diceritakan?" kata Jolie.

"Saya merasa perang yang terjadi 40 tahun lalu dan apa yang terjadi dengan orang-orang Kamboja tidak dipahami dengan baik. Dan bukan hanya untuk dunia, tapi untuk orang Kamboja. Saya menginginkan mereka dapat merenungkan hal ini dengan cara yang bisa mereka pahami,"

Pada 1953, Kamboja menerima kemerdekaan dari pemerintahan Prancis. Namun justru dari titik itulah dimulai kekerasan, perang saudara, dan pengaruh dari luar – terutama Perang Vietnam – menyengsarakan kawasan tersebut.

Kekacauan makin parah pada 17 April 1975, ketika komunis dan militer Khmer Merah pimpinan Pol Pot memasuki ibukota Kamboja, Phnom Penh, dan menggulingkan pemerintahan.

Setelah mengambil alih, Khmer Merah memaksa 2,5 juta penduduk Phnom Penh pergi dari rumah mereka, bersembunyi di lereng bukit dan ladang.

Harapan mereka adalah bisa mengubah negara, yang mereka sebut Demokratik Kamboja, jadi masyarakat agraris komunis yang terpisah dari dunia modern.

"Saya harap masyarakat Kamboja bangga ketika mereka melihat ini, karena mereka melihat apa yang mereka pertahankan," kata Jolie. "Dan saya harap ini dapat menjelaskan tentang menjadi seorang Kamboja, dan keindahannya dan tentang cinta dalam keluarga." (end)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER