Jakarta, CNN Indonesia -- Adanya keturunan India yang sebagian besar mengisi posisi kepemilikan rumah-rumah produksi film besar, tidak sepenuhnya mengancam industri perfilman Indonesia. Keberadaan mereka justru dinilai ikut membangkitkan gairah pecinta film Indonesia.
Mereka mampu mencetak film-film laris di Indonesia dengan menggaet jutaan penonton lewat film komersilnya. Sebut saja film
Ayat-Ayat Cinta di bawah naungan MD Pictures milik Manoj Punjabi yang mendapat lebih dari 3,6 juta penonton. Film itu sempat memecahkan rekor film Hollywood di Indonesia, yakni
Titanic.
Kemudian di bawah naungan rumah produksi Falcon Pictures yang didirikan HB Naveen, tahun lalu menggebrak dengan raihan 6,8 juta penonton di produksi ulang film Warkop DKI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karenanya, Hikmat Darmawan, pengamat sekaligus komite film Dewan Kesenian Jakarta, menyebut perlu ada sinergi bersama antara rumah produksi besar yang umumnya dimiliki keturunan India itu dengan sineas lokal yang juga ingin membangun perfilman Indonesia, bukan saling mendominasi.
"Mereka [keturunan India] lokal juga tapi dengan modal besar. Saya mau bilang, selalu punya masalah dengan dominasi. Keragaman [film] harusnya jadi agenda bersama. Saya rasa saatnya meruntuhkan perbedaan dan menjadi sinergi bersama," tuturnya kepada
CNNIndonesia.com kala ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta.
"Apa salahnya [jika] film laris adalah film yang punya idealisnya sendiri. Juga sebaliknya, apa salahnya [jika] film idealis juga berpikir tentang pasar," kata Hikmat.
Lebih jauh, dia mengaku ingin industri perfilman Indonesia dapat lebih kreatif tentang pasar film Indonesia itu apa. Tidak hanya membayangkan bahwa yang ditonton jutaan orang itu disebut pasar.
"Ada pasar kecil, ada daerah yang harus disentuh, ada suara-suara lokal yang harus diangkat dan itu juga adalah pasar," ucapnya.
Dalam kacamatanya, Hikmat melihat latar keberadaan keturunan India di industri perfilman bukanlah dilatari etnisnya melainkan murni berbisnis. Ia mengatakan, rumah produksi ini merupakan bentuk negosiasi bisnis dalam menciptakan daya kompetisi, tanpa memandang latar belakang etnis.
"Mereka bisa dibilang lokal juga. Mereka hidup di tanah air ini, misalnya pedagang bicara pertimbangan-pertimbangan pedagang itu memang konsisten. Dengan demikian saya kira ke depan, bila kita ingin merayakan film nasional, kita tidak perlu berangkat dari perbedaan," ujarnya.
Ia pun menilai baik bila ada dialog antara orang yang berpikir pragmatis dengan seniman murni, sehingga dapat berperan lebih jauh untuk membangun perfilman Indonesia.
"Pada 1981, salah satu yang sangat aktif mengenalkan film indonesia adalah produser Raam Punjabi, kalau tidak salah, yang berhasil menggolkan
Jaka Sembung di Festival Film Cannes dan 13 negara ambil film itu. Memang yang gigih di pasar itu produser pragmatis ini, yang kebetulan India," katanya.