Jakarta, CNN Indonesia -- Sejarah panjang perfilman Indonesia turut dijajaki oleh mereka yang merupakan keturunan India. Mereka ikut andil dalam perkembangan melahirkan film-film populer lewat rumah produksi yang berada di bawah kepemilikannya.
Sebut saja Rapi Film didirikan Gope T Samtani, Soraya Intercine Film didirikan Ram Soraya, Multivision Plus (MVP) didirikan Raam Punjabi, Starvision Plus didirikan Chand Parwez Servia, kemudian MD Pictures didirikan Dhamoo dan Manoj Punjabi, hingga yang paling bungsu Falcon Pictures didirikan HB Naveen.
Pengamat sekaligus komite film Dewan Kesenian Jakarta Hikmat Darmawan berpandangan bahwa keberadaan mereka sama saja dengan orang lokal Indonesia. Hanya, mereka mampu menunjukkan peluang dalam hal bisnis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini menunjukkan mereka kelompok yang kebetulan bisa menghasilkan film yang baik, dalam arti bisnisnya. Mereka memperlakukan film sebagai komoditi yang konsisten, itu keberhasilan," kata Hikmat kepada
CNNIndonesia.com saat ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta.
Latar kemunculan mereka di industri film Indonesia, disebutkan Hikmat, telah dimulai sejak awal 1920-an, sebelum Usmar Ismail menyatakan film harus ideal dan sebagainya.
"Sebetulnya orang India dan China aktif di awal 1920-an sampai 1950-an membangun film dan masuk ke dalam gagasan bahwa film itu komersial, menghibur, dan bisa ditonton sebanyak mungkin orang," katanya.
Dengan dibangunnya film sejak era itu, ada aspek yang kemudian menampilkan Indonesia dalam bentuk visual, menimbang kala itu Indonesia belum lahir sebagai sebuah negara.
“Pada 1930-an belum ada Indonesia, tapi ada gagasan soal itu dan para pembuat film dari etnis China dan India itu yang berjasa untuk menciptakan produk populer, yang bisa membangun imajinasi penonton tentang apa itu diri kita walaupun tidak secara sadar atau ideologis," ujarnya lebih lanjut.
Di sisi lain, keberadaan keturunan India di ranah perfilman menurut Hikmat bisa dilatari oleh aturan yang pernah diterapkan bahwa mereka tidak boleh berada di ranah politik atau sosial sehingga mencoba jalur bisnis.
"Mereka berpikir seperti gitu, ditambah ada keberuntungan modal kultural. India di dunia sudah kuat, jadi mereka sudah punya jejaring, seperti hal teknologi dan ekonomi," katanya.
(Bersambung ke halaman berikutnya...)
Keberadaan para pemilik rumah produksi film keturunan India dianggap turut membangun perfilman Indonesia. Bahkan, muncul dan berkembangnya perfilman Indonesia juga didukung oleh keberadaan mereka.
"Jelas membangun, kalau dari segi apa, mereka memang pragmatis dan terkadang yang pragmatis dimusuhi. Tapi yang jelas, film Indonesia ada dengan adanya orang yang bekerja dengan cara pikir demikian, persolan nilai itu persoalan dialektis bersama," ujarnya.
Dia pun menyebut bahwa kehadiran mereka juga aktif dan signifikan memberikan sumbangsih dalam memperkenalkan film Indonesia ke dunia luar.
"Pada 1981, salah satu yang sangat aktif mengenalkan film indonesia adalah produser Raam Punjabi, kalau tidak salah, yang berhasil mengegolkan Jaka Sembung di Festival Film Cannes dan 13 negara ambil film itu," ujarnya.
"Memang yang gigih di pasar itu produser pragmatis ini, yang kebetulan India," imbuhnya.
Hikmat menyimpulkan, perlu ada dialog antara orang yang berpikir pragmatis dengan seniman murni, sehingga dapat berperan lebih jauh untuk membangun perfilman Indonesia.
Belajar dari Konsistensi dan Fokus
Ada nilai positif yang dapat dipelajari dari kesuksesan meraih pasar pecinta film Indonesia. Hikmat menyebut bahwa hal tersebut dapat dilakukan melalui model bisnis yang diterapkan pemilik rumah produksi besar itu.
"Saya kira bukan hanya pembangunan kapasitas, tapi kalau mau masuk pasar, kecerdasan untuk menemukan model bisnis yang bisa berkembang jadi model industri. Model bisnis sukses yang bisa diulang," katanya.
Dia mencontohkan kesuksesan Falcon Pictures yang didapat karena mau berinvestasi dengan nilai produksi dengan promosi yang sama besar.
"Kita definisikan berhasilnya itu, tapi kalau mau seperti itu mungkin lewat kesadaran marketing, riset produk yang masuk ke masyarakat. Perlu punya model bisnis tepat," katanya
"Kalau belum punya, masuk ke produknya bisa ngomong apa, cerita apa, dan bisa menyambung tidak [dengan masyarakat], bertemu dan menyambung dulu. Dari produk yang tidak ada dibikin menyambung, ya berarti si pembuat itu mengerti keinginan masyarakat, bisa dicapai dari riset, investasi riset, development, dan engagement terus," tutur Hikmat lebih lanjut.
Dia menggarisbawahi, seperti usaha lainnya, rumah produksi ini juga menerapkan formula di mana konsistensi dan fokus menjadi hal penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
"Dua pihak harus bagi ilmu, jadi kalau mau belajar dari kesuksesan dari mereka yang sedang sukses, mungkin dari fokus dan konsistensi, sederhananya dari tujuan mereka, saya kira. Seniman harus mampu menciptakan sistem yang sederhana juga, agar bisa jalan," kata Hikmat.