Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggelar kegiatan Live Painting yang diikuti para peserta pameran 'Merintis Jejaring Art Brut Indonesia' pada Rabu (17/5). Uniknya, para peserta itu merupakan para penyandang disabilitas mental.
"Bicara seni itu aspeknya luas, bisa hiburan, penguatan karakter. Belajar seni juga mengajari toleransi. Dalam hal ini seni sebagai terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kami coba memberi ruang untuk mereka berkreasi dan tampil," ujar Restu Gunawan, selaku Direktur Kesenian Kemendikbud.
Restu menyebutkan, jejaring ini disediakan agar mereka yang berkebutuhan khusus tidak merasa sendiri dan memberi pandangan pada masyarakat luas bila mereka juga punya potensi dan bakat yang sama, dalam hal ini melukis.
"Sepuluh orang ini diberi kesempatan melukis langsung dengan tema Jokowi. Mengapa beliau? Karena kami ingin tahu kesan, tanggapan dan apa yang mereka pikirkan soal presiden," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati panitia mengharapkan kehadiran sepuluh peserta, namun diungkapkan Restu hanya tiga diantaranya yang dapat datang. Keadaan mereka yang unik menjadi alasan ketidakhadiran tujuh peserta lainnya.
Bakat Luar Biasa Penyandang DisabilitasAnfield Wibowo (12), merupakan satu dari tiga peserta pameran yang hadir mengikuti Live Painting. Sang ayah Donny Mardonius bercerita, sejak kecil Anfield tidak dapat mendengar dan berbicara (tuna rungu) ditambah dengan menderita Asperger (bagian dari autis).
Kendati demikian, apa yang dialami Anfield tidak menghalanginya mengembangkan bakatnya dalam bidang seni, khususnya dalam melukis.
"Dia sejak usia tujuh tahun sudah pandai melukis, awalnya sama seperti anak kebanyakan yang berawal dari corat-coret di kertas," kata Donny.
Hampir setiap malam, menurut Donny, Anfield menyalurkan bakatnya dalam melukis. Tidak perlu waktu lama, dia dapat menyelesaikan satu lukisan dalam waktu kurang lebih satu jam. Hingga kini sudah lebih dari 600 karya yang dilukisnya.
"Dia sangat percaya diri, dan memang sebenarnya dia tidak bisa dikasih tema, karena untuknya menggambar sesuatu butuh waktu berbulan-bulan sampai bisa dia terapkan ke kanvas," katanya.
"Jadi seperti Barongsai biasanya kita lihat Februari, nanti baru bisa dia gambar pas Mei atau lebih, jadi dia resapi dulu ke pikiran, hati, baru tangannya," kata Donny lebih lanjut.
Karenanya, saat diminta melukiskan sosok presiden, yang dituangkan Anfield merupakan tokoh-tokoh kartun yang digemarinya dan sesuai keinginan dia. Menurut pengakuan sang ibu, Veronika Kristiani, tokoh yang digambarkan Anfield memang yang dalam beberapa waktu belakangan jadi favoritnya.
"Itu mengapa saya pun tidak pernah mengajaknya ikut lomba gambar, karena biasanya lomba ada tema tertentu, dia tidak bisa pakai tema," kata wanita yang disapa Vera itu.
Anfield sendiri, sejauh ini telah menggelar pameran tunggal sebanyak tiga kali dan terlibat dalam sejumlah pameran bersama. Karya-karyanya pun cukup membuat berdecak kagum, bahkan lukisannya pernah dihargai lebih dari 100 juta.
"Biasanya kalau pameran ada yang suka ingin beli Rp 5-10 juta, waktu itu ada juga koleksi pribadi dijual laku sampai Rp 100 juta," kata Vera.
Berbeda dengan Anfield, Kezia (21) masih dapat menerima apa yang diminta. Hanya saja, ia lebih aktif mengajak siapapun yang ada disekitarnya untuk berinteraksi saat dia melukis.
"Halo salam kenal saya Kezia," katanya, saat
CNNIndonesia.com menghampiri.
Kezia lalu bercerita, lukisan berbentuk sketsa Presiden Joko Widodo yang ia gambar berlatarkan perkotaan dan sedang menggunakan kemeja kotak-kotak.
"Saya suka lukis, karena bisa diberi ke orang. Ini dikasih [lambang] hati sebagai bentuk cinta ke Presiden," katanya seraya menjelaskan soal gambar yang dia lukis.
Timothius Warsito, pendamping para peserta dari Hadi Prana Art Center mengungkapkan bahwa seni sebagai terapi untuk melatih fokus dan motorik para penyandang disabilitas.
"Ini sangat efektif untuk bantu fokus, secara latihan motorik, dan komunikasi untuk sampaikan ide mereka. Memang treatment untuk menggali potensi tiap anak berbeda, ada yang dengan cara halus, ada yang lebih keras biar aware, biasanya saya lihat dari kebiasaan sehari-hari," katanya.
"Seperti Kezia, dia itu obsesi ketemu banyak orang dan kenal, kalau begitu saya ajarkan untuk lebih sopan," tambahnya.