Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia di kala 1940-an memang tak ubahnya seperti berada dalam film perang. Namun bagi musisi
Ismail Marzuki, momen tersebut penuh dengan cinta.
Cinta sang maestro bukan lah cinta biasa. Cinta tanah air menjadi inspirasi besarnya dalam bermusik, selain dari pada sosok sang istri dan pendamping hidupnya, Eulis Zuraida.
Sejarawan Alwi Shahab yang pernah bertemu dan berinteraksi dengan Ismail Marzuki semasa seniman itu hidup juga menggambarkan sosok sang maestro sebagai nasionalis sejati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ismail Marzuki adalah seorang pejuang. Cintanya kepada Indonesia berkobar-kobar terus sepanjang masa," kata Alwi, saat ditemui pada Mei 2018.
Alwi bukan tengah mengada-ada. Ismail, dalam berbagai literasi membuktikan sebagai anak Betawi yang memiliki cinta dan kepedulian amat besar pada lingkungan sekitarnya, terutama kondisi Indonesia yang kala itu berada dalam situasi perjuangan mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.
Seperti ketika Ismail Marzuki menciptakan lagu pertamanya,
O Sarinah, pada usianya 17 tahun, atau pada 1931.
Ninok Leksono dalam bukunya
Seabad Ismail Marzuki Senandung Melintas Zaman (2014) menggambarkan lagu
O Sarinah sebagai simbol kehidupan masyarakat Indonesia yang tertindas di era penjajahan.
Di sisi lain, lagu ini juga menjadi sebuah penghargaan pada kehidupan warga yang sederhana. Ismail menulis lagu tersebut dalam bahasa Belanda, dengan lirik seperti berikut:
Sarinah en kind uit de desa (Sarinah anak desa)
Zij stampte haar padi tot bras (Ia menumbuk padinya menjadi beras)
En zong daar bij en heel aardig liedje (sambil menyanyikan lagu amat indah)
Voor kromo die lacht in het gras (untuk si dia yang bersantai di atas rumput).
Ismail Marzuki (keempat dari kiri di belakang) bersama grup Lief Java. (Arsip Taman Ismail Marzuki) |
Kemampuan alami Ismail dalam bermusik semakin terasah kala dirinya bergabung dengan orkes Lief Java pada usia 20-an. Kala itu, ia semakin berlatih dengan kemampuannya menulis lagu.
Dalam menciptakan lagu, Ismail masih menggunakan kejadian sehari-hari dan situasi sekelilingnya sebagai inspirasi dalam bermusik, mulai dari kerinduan akan kampung halaman seperti pada
Rayuan Pulau Kelapa dan
Indonesia Pusaka, kepahlawanan dalam lagu
Ke Medan Jaya, Gagah Perwira, dan
Sepasang Mata Bola, hingga perempuan juga masalah romantika berlatar era perjuangan seperti pada lagu
Selendang Sutra dan
Melati di Tapal Batas.
Ismail juga membuat lagu berdasarkan sejumlah kejadian di masa-masa awal Indonesia, seperti ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 23 Maret 1946.
Bersamaan dengan aksi pembakaran 200 ribu rumah penduduk Bandung agar kota itu tak dikuasai tentara Sekutu dan NICA tersebut, Ismail bertemu dengan pasangan jiwanya, Eulis Zuraida yang asli Bandung.
"Uu [panggilan Eulis oleh Ismail Marzuki] cerita kalau lagu
Halo-Halo Bandung itu dibuat ketika Uu dan Aa [panggilan Ismail Marzuki oleh Eulis] pacaran," kata Rachmi Aziah, anak semata wayang Ismail Marzuki, mengisahkan cerita ibunya soal
Halo-Halo Bandung.
Lagu-lagu nasionalisme karya Ismail seperti
Halo-Halo Bandung nyatanya bukan hanya berisi cerita asmara, melainkan memiliki dampak pada semangat para pejuang kemerdekaan.
Hal ini diungkap Alwi Shahab ketika bertemu dengan Yusuf Ronodipuro, mantan duta besar RI untuk Argentina yang mengaku mengenal Ismail Marzuki sejak 1943.
Alwi menuliskan pengakuan Yusuf dalam sebuah tulisan bertajuk
Ismail Marzuki, Santri yang Melegenda Lewat Lagu Perjuangan yang diterbitkan oleh
Republika pada 25 September 2016.
"
Berbeda dengan lagu-lagu sekarang yang merengek-rengek terus enggak ada isinya. Waktu itu, hasil karya Ismail Marzuki sangat kami butuhkan untuk dapat mengisi semangat perjuangan," kata Yusuf.
Kliping berita meninggalnya Ismail Marzuki yang dikoleksi oleh keluarga. (Arsip Taman Ismail Marzuki) |
Bukan hanya laguNamun sejatinya rasa nasionalisme Ismail Marzuki bukan hanya bermanifestasi dalam lagu-lagunya yang sebagian besar mendayu, melainkan juga dalam aksi dan pemikirannya.
Dalam bentuk aksi, nasionalisme Ismail Marzuki terlihat kala dirinya 'berontak' pada perusahaan tempatnya bekerja, NIROM atau Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij.
NIROM merupakan radio bentukan Belanda. NIROM merekrut Lief Java, termasuk Ismail Marzuki, yang kala itu tenar untuk bernyanyi ketika siaran radio. Lief Java memang terkenal mampu membawakan lagu dengan apik dan digemari masyarakat Eropa di Batavia.
Semasa aktif di NIROM, Ismail mendapatkan popularitasnya. Ia dikenal sebagai sosok penyiar dan penyanyi bersuara merdu namun memiliki selera humor yang baik.
Tapi suatu kali, Ismail memutuskan hengkang dari NIROM dan beralih ke radio VORO (
Vereeniging voor Oostersche Radio Omroep) yang didirikan oleh kaum bumiputera dan condong ke arah ketimuran.
Ia hengkang karena sejumlah alasan, antara lain karena NIROM kurang menampung keinginan musisi lokal dan insiden ketika aksi Ismail dengan grup barunya bersama musisi lokal lain, Sweet Java Islander diserobot oleh NIROM untuk pembukaan siarannya.
Ahmad Naroth dalam bukunya
Bang Ma'ing Anak Betawi (1982) juga pernah mengisahkan pemberontakan Ismail Marzuki kepada Belanda.
Naroth mengisahkan pada akhir 1946, Belanda mengambil-alih Radio Republik Indonesia dan mengubahnya menjadi Radio Omroep in Overgangstijd (ROIO). Ismail yang kerap siaran di RRI pun dibujuk untuk ikut bergabung di ROIO.
 Partitur lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki koleksi Taman Ismail Marzuki. Tertanda tangan, diciptakan 15 November 1944 oleh Ismail Marzuki. (Arsip Taman Ismail Marzuki) |
Namun Ismail dengan tegas menolak tawaran tersebut meski ditawari dengan gaji yang tinggi, mobil, dan tunjangan berlimpah. Ia memilih hengkang dari radio yang sudah dikuasai Belanda itu.
Dari segi pemikiran, Alwi Shahab tahu betul bagaimana Ismail memikirkan kondisi masyarakat Indonesia kala itu. Di balik sosoknya yang genius dalam hal musik, Ismail juga punya pemikiran mendalam soal Indonesia.
"Kami pernah mengobrol soal keadaan ekonomi yang masih jelek," kata Alwi kepada
CNNIndonesia.com, kala mengenang perbincangannya dengan Ismail Marzuki pada dekade '50-an.
"Terus, tentang semangat bangsa Indonesia yang perlu diangkat supaya bangsa ini jadi bangsa yang dikagumi oleh dunia, bangsa yang tidak dijajah lagi," kata Alwi.
"Bukan main hebatnya dia. Ismail Marzuki sangat cinta pada tanah airnya. Lagu-lagunya itu menciptakan jiwa kepahlawanan bangsa Indonesia yang besar. Tidak tertandingi, [Ismail ingin] bangsa Indonesia ini harus maju, maju," lanjut Alwi.
Ada banyak fakta tentang Ismail Marzuki yang belum banyak diketahui publik, simak beberapa di antaranya dalam Rahasia Ismail Marzuki, Sang Maestro Komponis Indonesia. (end)