Jakarta, CNN Indonesia -- Kenangan pada 25 Mei 1958 tak akan pernah dilupakan oleh Rachmi Aziah. Di siang yang panas dan gerah itu, ayahnya,
Ismail Marzuki bermandikan keringat di rumahnya di Kampung Bali X, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Rachmi yang kala itu masih berusia delapan tahun masih asik bermain di pekarangan rumah. Sementara Ismail yang merasa badannya lengket membujuk istrinya, Eulis Zuraida untuk memandikannya.
Entah kenapa Ismail manja saat itu. Ia memang biasanya kerap meminta Uu, sapaan Ismail untuk istrinya, untuk mengelus kepalanya ketika Ismail rebahan di pangkuan Eulis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun enam dekade lalu itu, kemanjaan Ismail bertambah.
"U, Aa ingin pakai hem dan celana putih," kata Ismail kepada istrinya, kala itu, usai mandi.
"
Jij gunting kuku
ik ya," pinta Ismail kepada Uu dengan logat bahasa Belanda usai mengenakan hem dan celana putih.
Eulis sudah terbiasa akan sifat manja suaminya yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu itu. Ia pun dengan telaten memenuhi keinginan Ismail.
"A, belum minum susu kan? Minum susu dulu.." kata Eulis kepada suaminya yang belakangan sering sakit dan batuk hingga sulit bekerja. Akibatnya, pemasukan keluarga sedikit terhambat.
Usai meminum susu hangat yang disediakan istri tercintanya itu, Ismail merebahkan kepalanya lagi di pangkuan Eulis. Rasanya, tak ada yang lebih membahagiakan dari itu.
"U, Rachmi mana?" tanya Ismail teringat anak angkat sekaligus semata wayang yang ia sayangi itu. "Mi.. Rachmi?" panggil Ismail.
Rachmi kembali dari ingatannya ke masa kini, Mei 2018, ketika
CNNIndonesia.com menjenguknya di rumahnya di Perum Bappenas Kedaung, Sawangan, Depok, yang telah ia tempati sejak 1994.
 Eulis Zuraida, istri Ismail Marzuki. (Arsip Taman Ismail Marzuki) |
Di usianya kini yang melewati kepala enam dan bercucu sepuluh, Rachmi masih cukup ingat dengan kenangan soal ayahnya itu. Apalagi, ia adalah pewaris tunggal dan yang masih tersisa dari keluarga Ismail Marzuki.
"Entah kenapa saya enggak mau mendekat dan tetap berdiri di pintu teras rumah," kata Rachmi mengingat-ingat alasannya tak memenuhi panggilan Ismail, enam dekade lalu.
"Sambil duduk di sofa, dia melarang saya untuk main jauh-jauh," lanjutnya.
Rachmi mengingat kala itu kondisi Ismail cukup parah. Komponis kelahiran Kwitang 11 Mei 1914 itu mengidap penyakit paru-paru basah lantaran sering begadang sembari minum kopi dan merokok untuk membuat lagu.
Mendengar titah ayahnya, Rachmi hanya mengangguk. Ia asyik melanjutkan permainan kelereng bersama temannya di teras rumah. Ismail pun kembali ke pangkuan Eulis, rasa kantuk menggerakkan tubuhnya.
"U,
ik tidur ya, ngantuk. Nanti tolong dibangunkan kalau sudah sore," kata Ismail kepada Eulis yang masih diingat oleh Rachmi.
Eulis pun mengelus rambut Ismail yang biasanya klimis itu. Tubuh kurus Ismail ia sadari semakin kurus kala sakit. Ia amati suaminya. Tak terlalu tampan memang, namun dialah sang penakluk hati Eulis si biduan terkenal.
Pun, sudah lama Eulis tak diminta Ismail menyanyikan lagu barunya. Padahal, biasanya ia selalu jadi orang pertama yang menyanyikan lagu Ismail.
Semangat Eulis sebagai penyanyi masih ada meski sejak menikah dengan Ismail pada 1940, suaminya itu lebih senang bila sang Uu berada di rumah untuk menjadi inspirasi si maestro menciptakan lagu.
Matahari pun sudah di sisi Barat. Eulis pun membangunkan Ismail.
"A, bangun.. Sudah sore," kata Eulis lembut. Ismail tak bergerak.
"A.. bangun.." ulang Eulis, sembari mulai menepuk tubuh Ismail. Suaminya masih terpejam, tak seperti biasanya.
 Ismail Marzuki (paling kiri) bersama Eulis (tengah) kala bergabung dalam suatu grup musik. (Arsip Taman Ismail Marzuki) |
Hati kecil Eulis bergejolak. Tak biasanya Ismail tidur selelap itu, tak bergerak. Badannya seolah kaku. Hati wanita Bandung itu seolah mencelus. Ia tak ingin sepakat dengan insting istri yang berbisik di benaknya.
"A!!!" teriak Eulis histeris, mulai menitikkan air mata. "A!! Bangun A!!"
Eulis masih berusaha membangunkan pujaan hatinya itu, imam hidupnya, tapi Ismail diam tak seperti Ismail yang selama ini mampu membuatnya tertawa, yang suka cemburu karena tak ingin Eulisnya yang cantik dilirik pria lain.
Teriakan Eulis didengar Rachmi. Bocah delapan tahun itu bingung mengapa ibunya teriak sambil menggoyangkan tubuh bapaknya yang tertidur. Eulis menyuruh Rachmi minta tolong tetangga.
Bukan hanya Rachmi yang bingung. Teriakan tolong Rachmi cukup keras hingga tetangga mulai berdatangan. Semula, tetangga mengira Rachmi kena omel lagi oleh Eulis yang dianggap Rachmi galak.
Tapi, semua percuma. Sang maestro telah tiada. Ia pergi dalam senyap, tanpa disadari, tanpa ada suara merdu nan terkenal keluar untuk terakir kalinya.
Sejak itu Rachmi tumbuh sebagai yatim. Ditinggal ayah di usia delapan tahun, Rachmi hanya bisa mengenal lebih dekat Ismail Marzuki melalui cerita Eulis tentang Aa.
Kadang pula, Eulis menceritakan bahwa Ismail menitipkan pesan kepadanya untuk menjaga dengan baik Rachmi bila sang maestro telah tiada.
Pun, menurut Rachmi, pesan terpenting dari Ismail justru adalah melarang dirinya menjadi musisi. Rachmi tidak mengerti alasan persis Ismail melarangnya menjadi musisi.
Rachmi hanya tahu bahwa dahulu, kakek dan neneknya melarang Ismail menjadi musisi. Namun Ismail tetap menjadi musisi, bahkan menjadi legenda musik Indonesia.
"Tapi saya empat menjadi main band sama teman, sekitar usia 10 sampai 12 tahun. Itu saya sampai kabur-kaburan setelah pulang sekolah, ibu galak banget kalau saya ketahuan, sampai dipukulin," kata Rachmi sambil tertawa.
 Piagam Wijayakusuma dari Presiden pertama RI Soekarno untuk Ismail Marzuki pada 1966. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Rachmi pun menyadari, meski Ismail adalah ayah angkatnya, namun sang maestro selalu menyayanginya bak anak kandung sendiri.
Ismail dan Eulis mengangkat Rachmi ketika ia masih berusia dua bulan dari saudara Eulis, lantaran keduanya tak kunjung dikaruniai anak setelah lama menikah.
Ismail Marzuki, terlepas dari sosoknya sebagai seorang maestro besar, di mata Rachmi adalah seorang ayah yang tegas, disiplin, dan amat bertanggung jawab atas keluarganya.
Pun, Ismail disebut Rachmi selalu punya cara menyenangkan ia dan Eulis. Tak jarang, kadang Ismail juga menyenangkan Eulis dengan cara mengurus rumah tangga, seperti memasak.
"Kalau hari libur kan enggak kerja, gantian Ismail masakin buat ibu. Masak sayur asem, ikan asin, tempe dan tahu, makanan rumahan Betawi yang sederhana," kata Rachmi, tersenyum.
Salah satu kenangan lain yang diingat Rachmi adalah ketika Ismail mengajak ia dan Eulis bertamasya ke Pasar Gambir, Jakarta Pusat.
Di saat yang bersamaan, Ismail ternyata mampu menghasilkan karya dari rekreasinya itu. Karya Ismail Marzuki dari Pasar Gambir adalah Kr. Pasar Gambir & Stambul Anak Jampang.
Walau dikenal tegas dan disiplin, yang sebenarnya sudah kebiasaan sejak kecil saat belajar di sekolah Belanda, Ismail di mata Rachmi tak pernah 'main tangan' kala mengomel.
Ismail disebut lebih memilih memanggil Rachmi untuk duduk bersama sembari menasehati dengan tegas.
"Saya ketemu Aa hanya sebentar, delapan tahun. Hal yang paling bermakna dari Ismail adalah dia ayah dan kepala keluarga yang sangat bijaksana," kata Rachmi sambil tersenyum kecil.
[Gambas:Youtube]