Jakarta, CNN Indonesia --
Bahasa Indonesia memang mengalami perkembangan selama sembilan dekade terakhir, misalnya saja dengan penambahan kata. Namun hal ini tidak cukup membuat bahasa Indonesia dengan mulus digunakan di era globalisasi.
Ada tugas pembinaan yang juga menjadi beban Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa alias
Badan Bahasa yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Pembinaan yang dilakukan pun terbilang amat luas. Mulai dari sekadar sosialisasi ke masyarakat hingga mengadakan sejumlah pelatihan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Badan Bahasa Prof Dadang Sunendar mengklaim organisasi yang punya tugas mulia itu masih melakukan pembinaan, meski terbilang saat ini masih dalam lingkup yang sempit. Lembaga itu juga mengirimkan ratusan orang ke seluruh penjuru Indonesia, mulai ke lembaga pemerintah hingga sekolah.
"Pembinaan dilakukan terus, tugas teman-teman di pembinaan itu melakukan penyuluhan ke sekolah, desa, membantu Dirjen Dikdasmen dan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan karena mereka yang langsung berhubungan dengan anak-anak kita," kata Dadang kala berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Kemudian ke media massa, BUMN, BUMD, pengusaha," lanjutnya. "Kalau ke sekolah itu jelas."
Satu cara lainnya adalah lewat media sosial, medium yang sejatinya punya jangkauan paling luas. Apalagi di era internet seperti saat ini, ketika nyaris semua individu memiliki setidaknya satu akun media sosial.
Badan Bahasa memang sudah memiliki akun media sosial. Lembaga itu mulai 'bergaul' sejak dua tahun terakhir, baik di Instagram maupun Twitter. Badan Bahasa telah memiliki 81 ribu pengikut di Instagram dan 32 ribu pengikut di Twitter.
Namun kemunculan Badan Bahasa di dunia maya tak serta merta mengalihkan kegandrungan masyarakat bertanya soal bahasa ke pihak ketiga.
Pihak ketiga yang menjadi 'selebritas' bahasa di dunia maya adalah pegiat bahasa Indonesia, Ivan Lanin.
Pria yang memiliki lebih dari 640 ribu pengikut di Twitter ini kerap menjadi sandaran warganet untuk bertanya mencari solusi permasalahan berbahasa yang mereka temui, meski sebenarnya Ivan juga adalah 'mitra' dekat Badan Bahasa.
Badan Bahasa sendiri tak ambil pusing dengan keberadaan pihak lain yang menjalankan fungsi 'misionaris', mengajari masyarakat soal bahasa.
"Masyarakat diberikan kebebasan untuk itu ya silakan, karena pada prinsipnya semua orang bisa memanfaatkan tentang urusan bahasa ini," kata Dadang.
"Asal masyarakat hati-hati saja. Kalau ditanya standar pasti datangnya ke Badan Bahasa, bukan ke siapa-siapa. Kalau pemanfaatan teknologi, ya tidak masalah," lanjutnya.
"Justru kami senang. Pak Ivan Lanin sering ke sini diskusi segala macam. Harapan saya lebih banyak Ivan Lanin lainnya, kami malah senang dan menjadi harapan kita. Orang malah jadi tertarik dengan urusan bahasa, jangan sampai tidak tertarik." kata Dadang.
Tak Lagi AdaKlaim bahwa Badan Bahasa melakukan penyuluhan seperti disebut Dadang mungkin benar adanya, tapi bisa juga belum menyeluruh bila tak ingin disebut tak dirasakan kehadirannya.
Bila berjalan optimal, maka sepatutnya tidak ada lagi media massa yang masih menggunakan bahasa Indonesia yang berantakan. Atau hanya ada sejumlah media massa tertentu yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik.
Itu baru dari segi media massa. Atik Agustini, guru bahasa Indonesia di Cikal Kindergarten School sebagai sekolah yang menggunakan kurikulum internasional dengan tantangan menerapkan bahasa Indonesia lebih tinggi, mengeluh soal masalah pembinaan ini.
Atik mengatakan sempat mengalami pelatihan dari Kemendikbud, tapi itu beberapa tahun lalu. Kini, pelatihan itu tak lagi ia rasakan. Padahal ia menyebut para guru amat menantikan dan senang bila ada pelatihan secara rutin dari pemerintah.
[Gambas:Instagram]"Bukan masalah bisa atau enggak bisa, tapi alangkah baiknya kami dapat dari ahlinya supaya referensi juga tambah banyak. Kalau referensi makin banyak, itu akan memperkaya guru," kata Atik usai mengajar beberapa waktu lalu.
Simak tantangan yang dihadapi Atik dalam mengajarkan bahasa Indonesia pada siswa TK di halaman selanjutnya...
Bekerja di sekolah yang memiliki tantangan menerapkan bahasa Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri diakui Atik kerap membuat dirinya putar otak agar anak-anak murid dapat memahami bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Atik mengakui anak-anak muridnya lebih gemar menggunakan bahasa Inggris dibanding bahasa Indonesia. Ia pun kadang sampai harus menerjemahkan pertanyaan berbahasa Inggris dari muridnya ke bahasa Indonesia supaya mengajarkan si anak untuk bertanya dalam bahasa negara tersebut.
Menurutnya setiap anak mau diberi pelajaran apa pun dan sampai saat ini belum pernah ada yang menolak. Namun memang perlu waktu penyesuaian pelajaran di awal dan guru harus mengerti kondisi tersebut dengan memosisikan diri sebagai anak yang diajar.
"Tugas guru supaya mereka (siswa) tertarik berbahasa Indonesia. Kami menerapkan dengan bermain. Kalau siswa senang, belajarnya cepat. Sampai saat ini enggak ada yang benar-benar buat saya jengkel," kata Atik. Dadang menyebutkan memang bukan tugasnya atau lembaganya secara langsung menyentuh tenaga pengajar selaku ujung tombak pendidikan berbahasa Indonesia. Ia menyebut tugas itu ada di Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud.
[Gambas:Instagram]"Kami itu biasa datang ketika diminta, atau membantu guru-guru yang di provinsi tertentu yang nilai ujiannya rendah dengan melihat UKG [Uji Kompetensi Guru]," kata Dadang.
"Kami lihat kualitas guru-gurunya yang berada di peringkat bawah dan melihat apakah ada pengaruhnya untuk nilai Ujian Nasional. Bila ada, kami biasa akan undang tanpa mereka tahu kalau termasuk guru di peringkat bawah," lanjutnya.
'Hanya Bantu Bila Dibutuhkan'Dadang menampik bila masalah terkait pembinaan ini terkait dengan birokrasi antarelemen di dunia pendidikan. Menurutnya, bahasa adalah urusan kesadaran diri masyarakat.
"Sebetulnya kalau bahasa itu bukan urusan birokrasi, tapi harus terorganisir di semua pikiran orang Indonesia kalo bahasa kita itu majemuk," kata Dadang.
"Badan bahasa sudah menemukan 668 bahasa daerah dan hebatnya disatukan dalam satu payung bahasa negara. Jadi kalau melihat itu pengorganisasian bahasa dalam diri masyarakat berdasarkan kesadaran sebagai orang Indonesia saja, harus mengetahui jati dirinya sebagai bangsa Indonesia," lanjutnya.
Selain dari masalah kesadaran masyarakat, Dadang menyebut kendala lainnya untuk bisa memberikan pembinaan berbahasa Indonesia yang baik adalah membutuhkan jumlah ahli bahasa yang banyak.
Dadang merasa jumlah tenaga ahli yang ia miliki saat ini amatlah kurang, apalagi ketika ada beragam masalah muncul terkait dengan bahasa. Tapi pihaknya juga belum mendapatkan formula ideal sumber daya tenaga bahasa yang seharusnya ada.
"Jumlah ahli bahasa kami terbatas. Di badan bahasa, 184 orang ini masih kurang untuk Indonesia yang begitu banyak. Kalau idealnya, saya kurang tahu lah ya," kata Dadang.
"Tapi kalau di Indonesia kan ada 517 kota. Kalau satu kota satu kasus, itu saja sudah kurang. Kalau melihat provinsi relatif lebih kecil karena hanya 34, mungkin berkumpulnya di ibukota saja, mungkin," lanjutnya.
"Kami hanya membantu ketika dibutuhkan, hanya mengkaji dari linguistiknya saja dan tidak masuk ke materi lainnya," katanya.