Saya memanggil Nh Dini dengan sebutan "Bu Dini", sedangkan dia memanggil saya "Nak-ajeng Silvia". Panggilan itu sempat membuat saya, yang berdarah Minang, tersipu-ayu serasa mendapat gelar kehormatan keraton Jawa. Beda sekali rasanya dengan panggilan "Nak" atau "Nduk", walau artinya sama.
Sebutan Nak-ajeng itu pertama kali Bu Dini berikan lewat tulisan di kartu yang dikirimkan ke alamat kantor saya sebagai balasan atas nomor bukti tabloid berisi liputan diskusi bukunya, Argenteuil, di Rumah Seni Yaitu, Semarang, 10 tahun lampau.
Di acara itulah untuk pertama kali saya bertemu Bu Dini, bersalaman, kemudian menyodorkan 20 judul buku karyanya untuk ditanda tangan.
"Wah, ini buku baru tapi sudah disamak (disampul). Berarti sudah dibaca, ya?" ujar Bu Dini sambil memperhatikan Argenteuil saya yang bersampul plastik.
"Sudah, Bu. Seminggu yang lalu saya tamatkan," jawab saya.
Tulisan Bu Dini kaya deskripsi, cara ungkapnya cenderung datar, bahasanya tidak ndakik-ndakik, dan Bu Dini punya banyak energi untuk mempertahankan iramanya tetap demikian, tidak mendadak naik, tidak juga melorot.
![]() |
Kadang ditemukan diksi yang unik, semisal dia konsisten menggunakan istilah "pelapukan mata", alih alih "pelupuk mata", sebagai nama lain kelopak mata. Mustahil ini tidak menjadi objek saringan editor, dan pasti ada adu argumen di belakangnya hingga akhirnya "pelapukan mata" lolos.
Untuk melengkapi laporan fokus "80 Tahun Nh Dini" di CNNIndonesia.com hampir tiga tahun lalu, saya sempat mendatangi wisma lansia di Ungaran, Semarang, tempat dulu Bu Dini pernah tinggal, melihat paviliunnya yang terletak di barisan ujung berbatasan dengan pohon-pohon besar, dan bertemu mas Benny.
Mas Benny adalah satpam wisma yang belakangan jadi orang kepercayaan Bu Dini mengurus tanamannya, bahkan setelah Bu Dini pindah dari Ungaran.
Saya juga datang ke Wisma Lansia Harapan Asri di Banyumanik, Semarang, tempat Bu Dini tinggal. Sebetulnya tak ada lagi yang perlu ditanyakan pada kedatangan saat itu. Saya juga hadir di acara ulang tahunnya, siang hari sebelum ke Ungaran. Tapi supaya afdol saja, sudah jauh-jauh ke Semarang, masa tidak bertemu berdua.
Bu Dini mengenakan daster hijau, kalung panjang coklat, lipstik merah terang, kaus kaki, dan selop. Kakinya dingin kalau tidak berkaus kaki. "Dulu, saya sengaja pilih stocking yang bagus. Sekarang, kaus kaki mana saja, asal kaki saya tidak dingin."
Kami berbincang di teras, lalu melihat-lihat koleksi tanamannya yang dipindah dari wisma lansia di Ungaran. Dia bercerita sepenuh semangat tentang tanaman pandan wangi dari Keraton Jogja; pakis-pakisan; macam-macam anggrek di pot gantung; dan kembang sepatu aneka warna, termasuk kembang sepatu oleh-oleh Mochtar Loebis dari Hawaii yang bunganya selebar piring, mekarnya dua hari, dan daunnya seperti daun mangkokan. Dia hafal riwayat setiap tanaman, mana yang pemberian teman, mana yang dia peroleh dari hutan saat ke Sulawesi, dan mana yang hasil tangkaran.
![]() |
Setelah beberapa kali bertemu saya menangkap Bu Dini bukan orang yang emosional, dalam hal ini tidak mudah terharu. Wajah bisa tetap datar dan saya tak menangkap suaranya bergetar ketika bercerita tentang ayahnya yang terpaksa berhenti bekerja lantas ibunya menjadi buruh batik, tentang kehidupan keluarga mereka yang mendadak susah di zaman Jepang, atau tentang dua anaknya, Lintang dan Padang, di seberang benua yang tak mungkin tak dia rindukan, atau tentang perceraiannya.
Namun berbeda sewaktu saya tanya apakah selalu menyempatkan bertemu Angèle, kakak Maurice, setiap ke Perancis. Suara Bu Dini mendadak melemah, "Dia sudah sepuh sekali. Lagi pula saya pasti emosional, kalau ingat Maurice."
Maurice adalah kapten kapal, kekasih Dini. Keduanya berencana menikah, tapi cita-cita ini tak terlaksana setelah Maurice mengalami kecelakaan dan meninggal sebulan kemudian.
Kalau ini acara televisi, inilah saatnya kamera menyorot dekat dan pembawa acara mencecar lebih lanjut, sampai narasumber menangis pun tak mengapa. Tapi di sini saya sebagai orang yang dipanggil Nak-ajeng, setara puterinya. Rasa kemanusiaan melarang saya mengorek lebih jauh hal yang sangat pribadi. Saya jadi paham mengapa sedikit sekali Bu Dini menulis tentang Maurice setelah dia meninggal.
Pertengahan 2018 terbit buku terakhir Bu Dini, Gunung Ungaran (2018), yang terasa beda dibanding yang lain. Bukan karena beda penerbit, dan pasti beda editor, melainkan Bu Dini seperti lelah, sehingga terkesan memindahkan saja draft dengan ditambahi penjelasan seperlunya. Tidak sekaya buku-buku sebelumnya.
Bu Dini seakan sengaja membuat Gunung Ungaran sebagai bentuk terima kasih kepada orang-orang yang sudah berjasa di hari tuanya. Terutama kepada Bu Sulis, rekan di Rotary Kunthi, yang siap sedia mendorongkan kursi roda Bu Dini sampai jauh ke Frankfurt, Jerman. Dengan biaya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Kontak saya terakhir dengan Bu Dini sekitar 2-3 bulan lalu, sewaktu Bu Dini mengabarkan bahwa putrinya, Lintang, mendapat kontrak jadi guru di kawasan Dago Atas, Bandung. Apakah tandanya saya harus ke Bandung, ngobrol-tapi direkam dengan Bu Dini dan Lintang? Ternyata tidak. Bu Dini hanya menyampaikan kabar gembira. Namun ini pengingat bahwa saya masih punya utang, banyak rekaman obrolan sebelumnya yang belum juga dituliskan.
Pierre-Louis Padang Coffin telah menyaksikan betapa ibunya adalah seorang sastrawan besar Indonesia dengan menerima Lifetime Achievement Award dari Ubud Writers and Readers Festival 2017. Setahun berikutnya, Lintang yang menemani masa-masa akhir Dini, membuktikan sendiri ibunya dikasihi banyak orang di negeri ini. Lintang mengantar ibunya diperabukan di Krematorium Gotong Royong, Ambarawa.
Dini kini melanjutkan perjalanan. Dia sudah bertemu lagi dengan orangtuanya, tiga kakaknya, dan Kaptennya, Maurice.
Selamat jalan, Bu Dini.