Jakarta, CNN Indonesia -- Terbit pertama kali pada tahun 1929, cerita petualangan
Tintin dan kawan-kawannya tak lepas dari berbagai kontroversi. Kebanyakan mengkritisi masalah rasisme.
Sebagai komik terpopuler yang datang dari daratan Eropa, pada masa itu masih banyak perkara rasisme serta sensitivitas terhadap perang. Digambarkan dalam bentuk kartun dan dibaca oleh berbagai kalangan usia, beberapa kontroversi membuat Tintin yang sering berkeliling dunia riuh jadi pembicaraan, bahkan sejak edisi perdana.
Dalam
Tintin in the Land of the Soviets,
Herge sang komikus disebut memasukkan propaganda anti-Soviet. Menurut
Telegraph, ia mengambil sumber dari sebuah buku yang ditulis pada 1928 yang berpendapat bahwa kemiskinan, kelaparan dan teror massal disebabkan oleh komunisme. Debut Tintin ini dikritik lantaran dianggap memberi gambaran yang bias terkait rezim tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komplain kembali menggaung setelah edisi
The Blue Lotus keluar pada pertengahan 1930-an. Mengambil latar di China, petualangan Tintin kali ini disebut anti-imperialisme. Di dalamnya, kubu Jepang digambarkan hanya memiliki sedikit simpati, serta bahwa keterlibatan Jepang dan negara-negara Barat di China sebenarnya tidak disetujui pihak China sendiri.
Saat itu, Herge disebut angkat bicara untuk menjernihkan suasana, menjelaskan dirinya tak punya maksud rasis.
Pada 1941, edisi
The Shooting Star diluncurkan dan publik segera bereaksi menanggapi kisah tentang perlombaan menemukan meteorit di Antartika tersebut. Herge disebut sebagai anti-Yahudi dengan penggambaran yang diberikannya melalui perjalanan Tintin.
Versi asli
The Shooting Star yang dipublikasikan oleh surat kabar Le Soir melahirkan klaim rasisme seputar karakter dua orang Yahudi sebagai debitur dan seorang pemodal Amerika bernama Blumenstein. Dalam edisi yang diterbitkan ulang setelah Perang Dunia, cerita itu diubah dengan menghilangkan kedua karakter Yahudi dan mengganti nama Blumenstein menjadi Bohlwinkel, serta disebut berasal dari Sao Rico yang merupakan negara fiktif.
Edisi ke-15 yang bertajuk
Land of Black Gold, terbit jelang akhir 1940-an juga menyebabkan kontroversi. Kisah berlatar Palestina itu pun harus ditulis ulang setelah banyak komplain melayang terkait jalan cerita teroris Yahudi yang dipimpin oleh seorang Rabi, yaitu seorang yang ditunjuk masyarakat sebagai pemimpin komunitas lantaran pengetahuan agama.
Setelah terjadi peristiwa Holokaus yang menelan jutaan korban jiwa Yahudi, pihak penerbit meminta Herge untuk mengganti gambaran teroris dengan karakter Arab.
Yang terakhir dan bisa dibilang paling menghebohkan, ada di edisi kedua yaitu
Tintin in the Congo. Puluhan tahun setelah terbitnya tahun 1930-1931, pada 2007 seorang warga Kongo bernama Bienvenu Mbutu Mondondom mengklaim
komik tersebut rasis. Ia pun melahirkan kampanye yang meminta
Tintin in the Congo ditarik peredarannya di Belgia. Masalah ini sampai ke meja pengadilan, di mana pihak penerbit bersikeras plot cerita itu sebagai 'paternalistik', dan bukannya rasis.
Kehebohan yang sama terjadi di Inggris, ketika Commision for Racial Equality menyebut edisi tersebut memuat gambar dan kata-kata yang mengandung rasisme. Salah satu adegan paling kontroversi adalah seorang wanita Kongo membungkuk kepada Tintin sembari berkata, "Pria kulit putih sangat hebat."
Dalam edisi yang sama, Herge mendapat kritik keras atas penggambaran kekerasan terhadap binatang berupa Tintin menembak sekawanan kijang. Para pembela hak hewan menyebut Herge mendukung kekerasan dan kekejaman pada hewan, serta tidak sensitif.
Tidak hanya soal rasisme, komik Tintin juga memiliki isu seksis lantaran hanya ada satu karakter wanita di dalamnya, yaitu Bianca Castafiore yang digambarkan bodoh dan tidak peka terhadap orang lain. Herge pun membantah keras tuduhan misoginis yang dialamatkan kepadanya.
(rea)