Jakarta, CNN Indonesia -- Di sebuah pekarangan, seorang bocah kecil tengah berguru silat. Ia begitu cekatan mengikuti jurus-jurus yang dipraktekkan gurunya. Namun perlahan, semangatnya menurun. Dia putus asa karena merasa masih belum paham makna dari ilmu-ilmu bela diri yang diajarkan.
"Semakin besar kemarahan semakin mudah dilumpuhkan. Sejatinya, pesilat belum bisa melawan musuh sebelum dapat melawan amarah dalam dirinya sendiri," begitu pesan sang guru sebelum mengajaknya pergi ke surau. Semua percakapan kental diucapkan dengan bahasa Melayu.
Bocah itu adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putra, penyair yang tumbuh dalam keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat, kerajaan pada masa Hindia Belanda di Sumatera Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Potret masa kecil Amir Hamzah itu menjadi pembuka pentas 'Nyanyi Sunyi Revolusi.' Itu memang tentang kisah hidup Amir Hamzah, yang dibesarkan dengan nilai-nilai kebaikan sehingga tumbuh sebagai seseorang yang penuh keikhlasan juga pengorbanan.
Dari latihan silat, cerita dilanjutkan dengan potongan demi potongan perjalanan hidup Amir. Baik lewat perangainya yang dimainkan oleh Lukman Sardi atau narasi yang dituturkan istrinya, Tengku Puteri Kamaliah (Desi Susanti), putrinya Tengku Tahura (Prisia Nasution), dan sang pujaan hati Ilik Sundari (Sri Qadariatin).
Semasa Amir menempuh pendidikan di Solo, ia menjalin kasih dengan seorang putri Jawa, Ilik Sundari. Di tengah kemesraan itu Amir kehilangan ibunya, lalu ayahnya setahun kemudian. Biaya studinya kemudian ditanggung oleh Sultan Mahmud, Sultan Langkat.
 Pentas 'Nyanyi Sunyi Revolusi.' (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Paman yang sekaligus Raja Kesultanan Langkat itu sejak awal tak menyukai aktivitas Amir di dunia pergerakan. Apa yang dikerjakan Amir dianggapnya bisa membahayakan kesultanan.
Untuk menghentikan aktivitas Amir di dunia pergerakan, ia pun memanggilnya pulang ke Langkat untuk dinikahkan dengan putrinya, Tengku Puteri Kamaliah.
Amir bisa saja menolak. Tapi ia sadar telah berutang budi pada Sultan Mahmud. Amir dan Ilik akhirnya dipaksa menerima kenyataan bahwa cinta kasih mereka harus berakhir.
"Mustahil (Amir) menikah dengan orang biasa, apalagi beda suku. Padahal, kami tak memilih dilahirkan sebagai Melayu, Jawa, rakyat jelata, atau ningrat," benak Ilik.
Pernikahan Amir dan Kamaliah adalah pernikahan yang dipaksakan demi kepentingan politik. Keduanya harus menjalani pernikahan itu meski saling tahu bahwa mereka tak saling mencintai. Di tengah itu, kerinduan dan kehilangan Amir pada Ilik tetap kuat membekas.
Diam-diam Kamaliah ternyata tahu kisah cinta kasih Amir dan Ilik Sundari.
Ia turut merasakan kesedihan cinta yang tak sampai itu. Pada putrinya, Tahura ia menyampaikan niat mengajak Ilik ke Mekkah naik haji bertiga bersama Amir. Bahkan, jika Amir ingin tetap menikahi llik, ia merelakannya.
Namun sebelum semua tercapai, suasana Revolusi Kemerdekaan membawa ketidakpastian politik yang menyebabkan kerusuhan di seluruh Langkat. Atas hasutan segolongan laskar rakyat dengan agenda politik mereka, meletus lah kerusuhan sosial.
Istana Langkat diserbu dan dijarah. Amir tak tentu nasibnya. Ia diculik, ditahan dan disiksa di sebuah perkebunan, lalu dipenggal. Seperti perpisahan dengan Ilik dan pernikahannya dengan Kamaliah, kematiannya pun diwarnai akan kepentingan politik.
Pentas 'Nyanyi Sunyi Revolusi' membuka sekaligus memperkenalkan Amir Hamzah, yang disebut HB Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Sayang, masih terasa ada potongan-potongan cerita yang hilang karena tak sepenuhnya direka ulang.
Meski pentas ini menyuguhkan hubungan Amir dengan percintaan terhadap manusia dan negara, tapi kisah percintaannya dengan Ilik dan Kamaliah terasa lebih mendominasi. Kurang gambaran kehidupan Amir sebagai penyair, bagaimana perjuangannya sebagai pemuda di era sebelum kemerdekaan, hingga terlibat gerakan nasionalis saat balik ke Langkat.
Bagian-bagian itu hanya disampaikan secara tersirat saja.
[Gambas:Video CNN]Energi para pemain untuk membawa peran pun terhambat suara mikrofon yang tak terdengar jelas. Entah karena masalah teknis atau lain hal. Namun dari deretan kursi penonton bagian depan saja, para pemain terdengar seperti sedang berbisik pada beberapa dialog.
Itu membuat penonton larut pada pementasan.
Konsistensi Lukman sebagai Amir menggunakan bahasa tutur atau logat Melayu juga terasa menurun. Walau memainkan peran utama, rasanya penampilan Lukman kali ini tak seistimewa saat ia menjadi Jean Marais di pertunjukan sebelumnya, 'Bunga Penutup Abad.'
Yang menarik justru penampilan Prisia sebagai Tahura, terlebih saat adegan berdiskusi dengan tokoh Kamaliah. Ikatan antara ibu dan anak sangat terasa di antara keduanya.
 Penampilan di panggung 'Nyanyi Sunyi Revolusi.' (CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Selain itu, yang juga patut diacungi jempol dari pementasan ini adalah penata busana, musik pengiring, serta penata set panggung. Suasana yang dihadirkan cukup menggugah mata dan telinga. Beberapa efek seperti suara jangkrik, dedaunan yang jatuh, hingga hujan dibuat cukup apik.
Secara garis besar, walau terasa kurang greget, upaya untuk menghidupkan kembali Amir Hamzah perlu diapresiasi.
Disutradarai Iswadi Pratama, 'Nyanyi Sunyi Revolusi' dipentaskan pada Sabtu (2/2) dan Minggu (3/2) kemarin di Gedung Kesenian Jakarta.
(agn/rsa)