Review Film: 'Always Be My Maybe'

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 09 Agu 2019 18:25 WIB
Film 'Always Be My Maybe' bukan hanya mengisahkan kisah cinta sepasang sahabat, melainkan juga melihat kehidupan keturunan Asia di tengah budaya Barat.
Film 'Always Be My Maybe' bukan hanya mengisahkan kisah cinta sepasang sahabat, melainkan juga melihat kehidupan keturunan Asia di tengah budaya Barat. (Dok. Netflix via imdb.com)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hanya ada satu rasa yang tertinggal usai menyaksikan film Netflix Always Be My Maybe yang rilis pada Mei lalu: menyenangkan.

Film komedi romantis garapan Nahnatchka Khan dan dikonsep oleh komedian Randall Park dan Ali Wong sebenarnya tidak seutuhnya orisinal, mengingat film ini terinspirasi dari film legendaris When Harry Met Sally (1989).

Namun alih-alih membahas hubungan pria-wanita ala Hollywood seperti When Harry Met Sally, Park dan Wong membawa suasana yang lebih santai dan 'relate' -terutama bagi masyarakat Asia-, serta lebih kekinian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah Always Be My Maybe secara garis besar mengisahkan hubungan cinta antara Sasha (Ali Wong) dan Marcus (Randall Park) yang kembali muncul setelah sepasang sahabat itu terpisah 16 tahun.

Mereka terpisah setelah keduanya bercinta -usai Marcus kehilangan ibunya yang juga dekat dengan Sasha- saat berusia remaja, di mobil Toyota Corolla milik ayah Marcus yang memiliki penyimpanan keju parmesan di balik dashboard.


Salah satu nasihat bisa diambil dari adegan itu: jatuh cinta dengan sahabat sendiri bagi sebagian orang memang jadi awal keretakan persahabatan yang sudah terbina bertahun-tahun.

Keduanya lalu berpisah karena momen canggung tersebut dan menjalani kehidupan masing-masing: Sasha menjadi koki selebriti dan Marcus menjadi musisi di sebuah bar kecil sekaligus teknisi pendingin udara.

Namanya juga film komedi-romantis dan Hollywood, premis "cinta bisa menyatukan dua insan yang berbeda dan saling bertolak belakang" pasti ada di Always Be My Maybe.

Meski tetap menggunakan premis klise itu, Park dan Wong memilih mencampurkannya dengan budaya keturunan Asia di tengah arus deras budaya Barat. Dan justru, hal tersebut menciptakan berbagai nilai keunggulan film ini.
Review Film: 'Always Be My Maybe'Kisah Always Be My Maybe secara garis besar mengisahkan hubungan cinta antara Sasha (Ali Wong) dan Marcus (Randall Park) yang kembali muncul setelah sepasang sahabat itu terpisah 16 tahun. (Dok. Netflix via imdb.com)
Hal pertama yang membuat saya terpincut dengan film ini adalah karena Always Be My Maybe menggunakan musik hip-hop untuk mengiringi sebuah film komedi romantis, walau menggunakan lagu 'Always Be My Baby' milik Mariah Carey sebagai pelesetan di judul dan dalam trailer.

Biasanya, film dengan genre 'penuh cinta' ini menggunakan musik pop, bubblegum, atau balada yang mendayu-dayu. Di sisi lain, musik hip-hop memang jarang dikaitkan dengan percintaan karena lebih banyak berisi pengalaman pribadi atas kondisi sosial yang dialami oleh musisinya.

Namun penggunaan musik hip-hop ini justru sesuai dan 'relate' dengan latar cerita yang berada di San Fransisco, di mana musik hip-hop sempat jadi gaya hidup masyarakat setempat di dekade 1980-an.

Kala itu, musik hip-hop juga diasosiasikan dengan ganja, narkoba, dan kekerasan yang marak terjadi di sana. Film Sister Act (1992) adalah salah satu film yang pernah merekam hal ini.

Cara hidup ala San Fransisco itu juga terlihat dari sosok Marcus yang menjadi musisi hip-hop meskipun dirinya adalah seorang Korea-Amerika. Hal ini yang menjadi menarik, musik hip-hop dibawakan oleh keturunan Asia untuk menjadi latar film komedi romantis. Park dan Wong jelas mendobrak pakem, namun dengan hasil yang kece.
Review Film: 'Always Be My Maybe'Kredit juga diberikan untuk Always Be My Maybe karena sukses mengoptimalkan karisma Keanu Reeves yang bermain sebagai dirinya sendiri dalam film ini. (Dok. Netflix via imdb.com)
Hal lain yang membuat saya merasa 'relate' dengan film ini adalah Wong dan Park tidak melupakan kebudayaan leluhur mereka, orang Asia, untuk dilebur dalam Always Be My Maybe.

Meski saya dan penggarap film ini tak saling kenal apalagi memiliki hubungan keturunan, orang Asia di mana pun tetaplah orang Asia. Masyarakat Asia memiliki banyak kesamaan secara nilai dan budaya, meskipun berasal dari negara yang berbeda-beda.

Salah satu nilai budaya Asia yang dimunculkan Park dan Wong dalam film ini adalah hubungan tanggung jawab antara anak dengan orang tuanya.

Marcus dikisahkan memilih tak hidup mandiri, masih tinggal di rumah orang tuanya, meski usia sudah matang. Alasannya, karena merasa berkewajiban untuk menjaga dan merawat ayahnya yang sudah tua.

'Nasib' yang dialami Marcus banyak terjadi dengan jutaan orang Asia lainnya di dunia ini, ketika orang tua menjadi tanggung jawab anak mereka saat sudah dewasa.


Bukan hanya itu, Park dan Wong juga menyisipkan budaya keturunan Asia-Amerika dalam film ini. Hal itu terlihat dari nama band Marcus, Hello Peril, yang merujuk pada 'Yellow Peril', sebuah julukan dari orang kulit putih untuk menyebut seseorang keturunan Asia Timur yang berkulit kuning.

Selesai dengan unsur budaya, Park dan Wong menggunakan perkembangan budaya percintaan anak kekinian dalam film ini. Hal itu terlihat seperti kegalauan saat Sasha harus berkencan lagi dan memaksanya menggunakan aplikasi kencan, sebuah jalan pintas bagi anak lajang milenial untuk menemukan pasangan.

Atau, ketika ada rasa gengsi untuk menyampaikan perasaan kepada seseorang karena mereka adalah sahabat sejak lama. Jatuh cinta dengan sahabat sendiri memang menjadi momok bagi sebagian orang, entah kenapa.

Selain dari masalah cinta dan budaya, kredit juga diberikan untuk Always Be My Maybe karena sukses mengoptimalkan karisma Keanu Reeves yang bermain sebagai dirinya sendiri dalam film ini.

Bagi yang kebal akan demam Keanu Reeves di internet beberapa waktu lalu seperti saya, bersiaplah untuk memahami mengapa orang begitu memuja pemain The Matrix tersebut usai melihat dia di film ini.

Terlepas dari pujian saya, Always Be My Maybe juga bukan film yang sempurna.

[Gambas:Youtube]

Secara cerita memang menarik dan berbobot dengan merekam fenomena sosial budaya yang ada, namun film ini memang dibuat hanya untuk dinikmati tanpa harus melihat dari segi kualitas sinematiknya. Namun bila juri ajang penghargaan nantinya melirik film ini, tentu akan menjadi sebuah kejutan.

Bagi mereka yang menyukai kisah romantis namun tetap tak ingin serasa masuk cerita Cinderella yang 'tak terjangkau', film Always Be My Maybe dari Netflix patut jadi rekomendasi daftar putar Anda. (end)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER