Jakarta, CNN Indonesia -- Menjadi pemimpin dan otak dari sebuah grup lawak terkenal, dan mungkin terbesar di masanya,
Srimulat, seringkali membuat
Teguh Slamet Rahardjo mengalami dilema. Sendirian.
Tawa dan keramaian anggota Srimulat nyatanya tak berhasil mengusir kegalauan Teguh untuk memperjuangkan nasib grup lawak itu hingga akhir hayat.
Kala berbincang dengan
CNNIndonesia.com Juli lalu, Eko Saputro ingat betul salah satu momen ketika ayahnya, Teguh, sedikit membuka kegalauan yang ia rasakan pada 1986 silam. Saat itu Eko masih 18 tahun dan Teguh baru saja memindahkan Aneka Ria Srimulat Solo ke Semarang karena masalah keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada suatu siang, Koko diminta Teguh mulai memantau Srimulat tiap Sabtu siang agar bisa belajar mengelola.
Selama 'magang', Koko berusaha sebaik mungkin mengerjakan yang biasa Teguh lakukan, mulai dari mengurusi perlengkapan, cerita, hingga memastikan kebutuhan para pemain Srimulat terpenuhi.
Namun namanya juga remaja. Kadang Koko pun bosan dengan pekerjaan menggantikan ayahnya itu. Kala senggang, Koko keluyuran. Biasanya ia pergi ke Pasaraya Sri Ratu di Jalan Pemuda yang kini sudah tutup.
Di masa itu, Pasaraya Sri Ratu baru saja berdiri dan jadi pelopor toko modern di daerah serta satu-satunya toko di Semarang yang menjual produk impor. Kebetulan, kala Koko ke sana siang itu, ada sebuah pameran parabola asal luar negeri.
 Gedung Srimulat Jakarta yang digunakan untuk tampil pertama kali. Kala itu setiap Srimulat tampi kursi penonton terisi padat. (Dok. Srimulat Jakarta) |
Koko takjub melihat tayangan televisi yang menayangkan siaran dari luar negeri.
"Sampai rumah saya pamer ke bapak tadi ada pameran parabola, bisa nangkap siaran Malaysia, Singapura dan Thailand," kata Koko.
Teguh mencermati Koko bercerita soal 'keajaiban' berkat parabola itu. Tanpa diketahui siapa pun, esoknya ia pergi ke Sri Ratu dan membeli satu set parabola.
Benar kata Koko. Teknologi itu amat canggih. Apalagi tayangan-tayangan luar negeri juga terasa berbeda dari siaran TVRI yang di masa itu satu-satunya televisi Indonesia. TVRI sendiri merupakan salah satu sumber penghasilan utama Srimulat.
Teguh dengan mudah menggonta-ganti acara bila ia tak minat atau mulai bosan. Beda halnya dengan menonton TVRI. Tak ada pilihan lain untuk mengganti saluran. Kalau bosan, ya cari hiburan di luar rumah.
Di saat bersamaan dengan ketakjubannya melihat tayangan televisi luar negeri, Teguh merasa sedih dengan Srimulat. Ia pun hanya bisa mencurahkan kegundahannya itu kepada Koko, yang menemaninya saat itu.
"Aku sedih dengan Srimulat dan seni tradisional lain," kata Teguh, tanpa nyana. Koko menyimak mengapa ayahnya tiba-tiba jadi melankolis di tengah keasyikan menonton televisi.
"Aku khawatir kalau ada televisi swasta, satu saja di Indonesia, itu kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, ludruk, Srimulat akan habis," lanjut Teguh.
Koko tertegun dengan kegundahan ayahnya.
 Eko Saputro, putra Teguh Slamet Rahardjo dan Jujuk Juwariah. (CNN Indonesia/ Tri Wahyuni) |
"Kamu di rumah tinggal pencet remot, acara macam-macam. Sedangkan selama ini orang mau cari hiburan harus keluar dulu. Kalau ini gampang tinggal nonton televisi, dan itu enggak terelakkan, pasti itu," kata Teguh.
"Lalu rencananya bapak apa?" tanya Koko.
Dia sadar mestinya tak melontarkan pertanyaan itu. Koko pun takut mendengar jawaban bapaknya yang suka berpikir dan bertindak sendiri.
"Enggak ada jalan lain. Srimulat harus bubar," kata Teguh, dingin.
Jawaban Teguh bak petir di siang bolong bagi Koko. Ia yang baru 18 tahun dan berusaha untuk bisa menggantikan ayahnya sebagai bos Srimulat, merasa rontok ketika Teguh memiliki ide menamatkan grup lawak itu.
Hanya rasa kesal yang Koko ingat dari percakapan itu. Ia malas melihat wajah ayahnya yang keras kepala dan selalu bertindak sendiri.
Ia tahu Teguh Slamet adalah otak di balik Srimulat. Namun tidakkah Teguh Slamet ingin mempertahankan grup yang ia bangun sejak 1951 itu? Apa yang sebenarnya direncanakan Teguh Slamet?
"Terus saya harus bagaimana pak?" tanya Koko, jengkel.
"Ya kamu harus ikut perkembangan zaman. Harus belajar masuk televisi dulu. Sekarang TVRI dulu, besok kalau ada swasta, kamu masuk. Karena sistemnya pasti sama," kata Teguh datar.
"Tapi kamu jangan kasih tau ibumu," ucap Teguh sebelum Koko berani membalas ucapannya. Koko sadar ayahnya kembali ke sifat asalnya, tak membiarkan orang lain mengetahui apa yang ia rencanakan.
 Penampilan Aneka Ria Srimulat Jakarta, terkadang mereka mengundang pelawak di luar Srimulat untuk ikut tampil. (Dok. Eko Saputro) |
Koko pun bungkam atas percakapan itu, sampai ia kemudian membukanya kepada ibunya, Jujuk Juwariyah, bertahun-tahun kemudian setelah Teguh tiada.
Sorot mata Koko menyiratkan ingatannya kembali ke masa kini, 2019, ketika berbincang dengan
CNNIndonesia.com di rumah keluarga Teguh-Jujuk di Solo.
"[Bapak] Enggak pernah [curhat ke ibu]. Bapak saya enggak pernah minta curhat ke siapa pun. Paling kalau sudah punya unek-unek terkait panggung, bapak panggil semua pemain untuk lempar pemasalahan dan meminta usul," kata Koko.
[Gambas:Video CNN]Memendam SendiriDi usia senja, 59 tahun, Teguh sebenarnya sudah melepas kendali utama Srimulat dan memilih tinggal di rumah bersama Jujuk.
Ia mempercayakan tiga cabang Srimulat kepada adik Jujuk. Grup di Surabaya dikelola Bambang Tejo sejak 1983, Jakarta dikelola Hendro sejak 1985 dan Semarang dipegang Sarjito sejak 1986.
Namun, alih-alih sukses, tiga cabang Srimulat itu rontok perlahan. Srimulat Jakarta dan Semarang terlilit hutang dan pendapatan grup Surabaya terus menurun karena sepi penonton. Hal itu disebabkan renovasi Taman Hiburan Rakyat, gedung tempat mereka biasa tampil, yang tersendat.
Teguh sesungguhnya tidak ingin terlalu ikut campur lagi, tapi ia juga tidak bisa berpangku tangan melihat Srimulat jatuh.
Akhirnya ia mulai membangkitkan Ketoprak Budoyo Jati milik Gepeng, salah satu bintang Srimulat. Ia membeli semua perlengkapan dan peralatan yang dulu ia pernah jual ke ketoprak itu. Teguh tidak bisa tidak memikirkan Srimulat ketika Ketoprak Budoyo Jati sukses.
Namun apa daya kondisi Srimulat Semarang makin parah dengan utang yang menumpuk. Akhirnya pada 6 November 1988 ia memerintahkan Sarjito untuk membubarkan Srimulat Semarang.
 Gedung Aneka Ria Srimulat yang berlokasi di kawasan Senayan. (Dok. Srimulat Jakarta) |
Setali tiga uang, nasib Srimulat Jakarta sama seperti Srimulat Semarang. Utang mereka terus membengkak meski semua pemain selalu mencoba untuk bangkit. Mereka pun bubar pada 1989. Hanya Srimulat Surabaya yang bertahan, meski kembang kempis.
Keputusan membubarkan itu memang diambil Teguh seorang diri. Di masa-masa sulit itu, Teguh Slamet juga tetap enggan membagi banyak masalah di pikirannya.
Selain soal keinginan menamatkan Srimulat, Teguh juga bertindak sendiri saat memecat Freddy Aris alias Gepeng, sang magnet penonton di atas panggung Srimulat.
Kegundahan dan dilema yang dipendam sendiri oleh Teguh ini membuatnya rentan sakit. Buku Teguh Srimulat berpacu dalam Komedi dan Melodi karya Herry Gendut Janarto mencatat Teguh memiliki penyakit darah tinggi dan diabetes.
Dua penyakit itu memburuk ketika Teguh mendengar Gepeng meninggal dunia pada 16 Juni 1988.
Pada 1993, Teguh juga terserang stroke seperti yang tercatat dalam buku Tionghoa Dalam Indonesia Peran dan Kontribusi Bagi pembangunan Bangsa.
Teguh Slamet Rahardjo pun menghembuskan nafas terakhir pada 22 September 1996 dan membawa seluruh pemikirannya ke dalam pelukan ibu pertiwi.
Dia tak sempat melihat reuni Srimulat yang kemudian berujung pada era keemasan kedua di televisi, pada medio 1990-an. Televisi swasta yang sempat dianggap Teguh akan membunuh Srimulat justru juga sempat jadi tongkat penyelamat.
Tulisan ini merupakan bagian dari Liputan Khusus CNN Indonesia. Klik selengkapnya di sini: Srimulat Tak Pernah Tamat. (end/vws)