Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (
Mendikbud)
Muhadjir Effendy menyebut menerima penolakan sastrawan
Eka Kurniawan atas penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana untuk memberi Eka penghargaan dari kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru pada Kamis (10/10).
"Itu kan tidak wajib, jadi kalau ditolak tidak apa-apa," kata Muhadjir di Jakarta, Kamis (10/10).
Muhadjir menegaskan, Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang bertujuan memberi penghargaan kepada para seniman yang ahli di bidang masing-masing telah diselenggarakan selama beberapa tahun belakangan, meski tidak langsung dalam skala besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami terus memberikan perhatian pada seniman, budayawan maupun sastrawan, namun tidak bisa langsung besar-besaran," katanya.
Ia menambahkan, pihaknya menyiapkan dana abadi kebudayaan dengan target Rp10 triliun dalam waktu lima tahun. Harapannya, dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas para seniman, atau untuk kegiatan kebudayaan.
"Satya sangat menghormati penolakan tersebut. Itu memang sifatnya sukarela, diterima syukur, tidak diterima juga tidak apa-apa," ujar Muhadjir.
"Jangan dibawa serius," katanya lagi.
 Eka Kurniawan memaparkan sejumlah alasan yang membuatnya memutuskan menolak menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019. (Foto: Detikcom/Grandyos Zafna) |
Menjadi calon penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019, Eka Kurniawan mengungkap alasan penolakan di sejumlah akun media sosial. Ia menyebut pemikiran untuk menolak bermula ketika dirinya dihubungi oleh staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Agustus lalu.
Penerima penghargaan disebut akan memperoleh hadiah Rp50 juta dan plakat. Namun Eka justru mempertanyakan komitmen pemerintah dalam melindungi dan mendukung seni budaya Indonesia.
"Memberi penghargaan kepada penulis macam saya memang tak akan menjadi berita heboh, apalagi trending topic di media sosial," kata Eka.
"Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan di-anak-tiri-kan macam begitu, selama beberapa hari saya mencoba mengingat dan mencatat dosa-dosa Negara kepada kebudayaan, setidaknya yang masih saya ingat," lanjutnya.
Daftar 'dosa' itu, menurut Eka, antara lain adalah insiden razia yang dilakukan aparat di sebuah toko buku di Padang pada Januari lalu. Saat itu, aparat gabungan TNI dan Kejaksaan Negeri Padang menyita sejumlah buku yang dianggap menyebarkan paham komunis.
Hal serupa terjadi pula di Kediri pada Desember 2018. Selain itu, Eka mengatakan bahwa Negara tidak memberikan perlindungan terhadap industri perbukuan.
"Memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal itu, tiba-tiba saya sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis (bahkan siapa pun?) atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan." tulis Eka.
"Apa kabar penyair kami, Wiji Thukul? Presiden yang sekarang telah menjanjikan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu, termasuk penghilangan salah satu penyair penting negeri ini. Realisasi? Nol besar," lanjutnya.
"Di luar urusan hadiah, ada hal-hal mendasar seperti itu yang layak untuk membuat saya mempertanyakan komitmen Negara atas kerja-kerja kebudayaan," kata Eka.
Redaksi CNNIndonesia.com telah berusaha menghubungi Eka Kurniawan tapi hingga berita ini diterbitkan belum mendapatkan jawaban.
(rea)