Jakarta, CNN Indonesia -- Jagad seni Indonesia berduka setelah salah satu pegiat asal Yogyakarta,
Djaduk Ferianto,
meninggal dunia pada Rabu (13/11) dini hari di usia 55 tahun. Kabar duka ini pertama kali tersebar dari unggahan Instagram kakak Djaduk yang juga seniman, Butet Kertaredjasa.
Darah seni memang mengalir deras dalam nadi keluarga Djaduk. Aliran darah seni ini bermula dari sang ayah, Bagong Kussudiardja, seorang koreografer dan pelukis legendaris di Yogyakarta.
Namun ternyata, darah ningrat juga berdesir di dalam tubuh Bagong. Pencipta tari yang mengembuskan napas terakhirnya pada 2004 silam tersebut merupakan keturunan Hamengku Buwono VII.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kakek Bagong, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Djoeminah, seharusnya menjadi pewaris takhta. Namun, Belanda menganggap Djoeminah sebagai pembelot yang harus diasingkan ke Ndalem Mangkubumen.
Di pengasingan, Djoeminah disebut-sebut sempat menderita sakit malaria. Ia kemudian meninggal secara misterius dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.
Kabar Djaduk Ferianto Meninggal |
Berbicara kepada
Tempo tahun lalu, Djaduk mengatakan bahwa peristiwa itu sangat menyakitkan untuk keluarganya karena menurut tradisi, keturunan Kesultanan Mataram seharusnya dikebumikan di Imogiri.
"Peristiwa itu sungguh menyakitkan buat trah Djoeminah. Eyang Djoeminah putra mahkota dan tidak dimakamkan di Imogiri," tutur Djaduk.
Kakek Djaduk, Raden Bekel Atma Tjondro Sentono, sempat putus asa karena trah Djoeminah pernah dihapus dari Keraton Yogyakarta, meski akhirnya sejarah bisa diluruskan.
Namun, Djaduk selalu ingat nasihat ayahnya sebelum meninggal agar ia dan Butet tak mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta, terutama mengenai kakek mereka yang disingkirkan.
Sejatinya, Bagong juga tak ingin anak-cucunya memakai gelar kebangsawanan Keraton Yogyakarta. Bagong hanya berpesan agar keturunannya melestarikan padepokan seni yang ia dirikan.
Djaduk pun tumbuh di Tedjakusuman, Yogyakarta, di lingkungan yang sangat sarat seni. Menurut
Indonesian Film Center, Djaduk sempat mengecap berbagai kesenian, termasuk wayang, sampai-sampai ia pernah bercita-cita menjadi dalang.
 Djaduk Ferianto tumbuh di Tedjakusuman, Yogyakarta, di lingkungan yang sangat sarat seni. (Detikcom/Pradito Rida Pertana) |
Beranjak dewasa, Djaduk terus mendalami berbagai bidang seni dan akhirnya fokus ke musik. Nama Djaduk kian melambung setelah menggarap sejumlah ilustrasi musik sinetron, jingle iklan, hingga pementasan teater.
Ia juga kerap tampil di berbagai festival internasional bersama kelompok seninya, mulai dari Orkes Sinten Ramen hingga Kuaetnika.
Didirikan bersama Butet, Kuaetnika berkembang menjadi kelompok musik yang mengusung musik etnik Indonesia. Mereka kerap mengaransemen lagu-lagu daerah, memadukannya dengan jazz, atau memberi sentuhan lewat instrumen tak terduga seperti mainan anak atau perkakas dapur.
Belakangan, Djaduk memiliki wadah tampil baru bernama Ring of Fire. Di sini, ia meramu jazz dengan keroncong, lalu menggandeng penampil lain dan membiarkan sisanya berjalan apa adanya.
"Bagaimana jadinya, saya juga tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Djaduk soal penampilan Ring of Fire di Jazz Gunung, 2015 silam, sebagaimana dikutip
Antara.
Selain menjadi penampil, Djaduk juga dikenal sebagai penggagas sejumlah festival musik, termasuk Ngayogjazz. Sebelum meninggal, Djaduk bahkan dilaporkan baru saja pulang dari rapat Ngayogjazz 2019 yang bakal dihelat 16 November mendatang.
Berdasarkan informasi, jenazah Djaduk akan disemayamkan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo sebelum dikebumikan di makam keluarga di Kasihan, Bantul.
Hingga akhir hayatnya, Djaduk ternyata memegang teguh pesan sang kakek untuk tetap menjaga padepokan warisan di Yogyakarta.
Ia mengamini perkataannya sendiri pada tahun lalu, "Padepokan ini ibaratnya bagi Bapak merupakan kadipaten atau keraton sendiri. Semua keturunan Djoeminah harus membuktikan kemampuan di keratonnya sendiri, yaitu padepokan tari ini."
[Gambas:Video CNN] (has)