Jakarta, CNN Indonesia -- Bibir seorang pemuda di gerbong
Commuter Line terkulum menahan senyum. Tangannya terus memijit tombol di samping gawai, seolah berusaha menahan suara keluar dari mulut dengan mengecilkan volume
ponsel.
"
Bangke!" akhirnya lepas juga kata itu dari mulutnya, sementara jempolnya menekan tombol setop di
platform pemutar podcast di ponselnya.
Setahun belakangan, pemandangan semacam ini kerap menghiasi perjalanan kereta, atau mungkin di moda transportasi umum lainnya. Mobilitas masyarakat urban yang tinggi serta jaringan internet mumpuni memang membuat podcast menjaring banyak pengguna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaring ini sebenarnya sudah mulai ditebar sejak lebih dari satu dekade lalu, tepatnya 2005. Adalah Boy Avianto yang disebut sebagai podcaster pertama di Indonesia dengan siniar bernama Apa Saja Podcast.
Namun, kala itu podcast tidak mendapat sorotan karena memang awam bagi orang Indonesia. Jaringan internet buruk dan gawai yang belum mumpuni juga tak mendukung pengguna untuk mendengarkan audio di ponsel.
Riak podcast mulai terasa 2008, ketika muncul platform distribusi audio digital, Soundcloud, dilanjutkan gelombang kecil
pada 2016-2017, setelah kemunculan Iqbal Hariadi dengan Podcast Subjective, Adriano Qalbi dengan Podcast Awal Minggu, dan Rane Hafied dengan Suarane.
"Setahu
gue, podcast waktu itu ada di Apple Podcast doang. Saat itu, pengguna podcast dikit banget," kata Adri saat ditemui
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Seingat Adri, saat itu pendengar Podcast Awal Minggu sekitar 50-100. Menurutnya, angka tersebut sudah termasuk banyak pada 2015, mengingat masih sangat jarang orang yang membuat konten podcast. Medium yang ia pakai juga masih YouTube dan Soundcloud.
Ia sendiri sebenarnya tidak pernah pusing memikirkan jumlah pendengar. Adri hanya ingin menggunakan podcast sebagai sarana latihan stand up comedy. Sejumlah materi komedi yang sudah dicatat, ia bacakan.
Memang, kata Adri, tak tahu betul materi tersebut benar-benar lucu atau tidak karena ia mustahil bisa melihat respons pendengar secara langsung. Namun, Adri menganggap materi itu berhasil bila ia sendiri tertawa ketika membacakan.
 Adriano Qalbi. (CNN Indonesia/Hamka Winovan) |
Kehadiran Adri sebagai podcaster masuk radar Iyas Adam Lawrence. Pada Januari 2018, Iyas akhirnya membidani kelahiran podcast bertajuk Makna Talks yang berada di bawah naungan agensi kreatif Makna Group. Konten Makna Talks ia unggah ke Soundcloud.
Berbeda dengan Adri yang banyak konten monolog, Iyas datang dengan format wawancara. Dalam setiap episode reguler, ia menghadirkan narasumber untuk ditanya-tanyai, mulai dari musisi seperti Petra Sihombing sampai politikus sekelas Sandiaga Uno.
"Di luar negeri podcast udah banyak, serial banyak banget, dan tapi enggak banyak yang wawancara. Nah, gue membawa podcast dengan konsep wawancara itu
gambling," kata Iyas saat ditemui
CNNIndonesia.com.
Awalnya, ia merasa sulit untuk menarik orang-orang agar mendengar obrolan berdurasi cukup lama. Iyas tidak pernah menyangka rata-rata pendengar Makna Talks setiap episode bisa berada di angka 10 ribu, dan berangsur bertambah.
Angka tersebut bisa dibilang banyak untuk pendengar podcast pada awal 2018. Namun secara keseluruhan, perkembangan podcast di Indonesia saat itu masih stagnan karena tidak banyak podcaster baru.
 Iyas Lawrence. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Pertumbuhan siniar mulai pesat ketika layanan streaming musik, Spotify, menyediakan fitur podcast pada akhir 2018. Beberapa bulan kemudian, Spotify mengakuisisi sejumlah layanan produksi dan distribusi podcast, seperti Anchor.
Setelah itulah banyak lahir podcast-podcast baru, mulai dari Rapot, Unfaedah Podcast, hingga BKR Brothers yang digawangi Ryo Wicaksono, Bobby Mandela, dan Maulana Kasetra.
Mengangkat tema keseharian yang sangat dekat dengan pendengar, popularitas BKR Brothers pun terus menanjak hingga kini tak pernah terlempar dari sepuluh besar tangga podcast di Spotify.
Merilis episode pertama pada Juni 2019, BKR Brothers sudah mengunggah 40 judul hingga 24 Februari 2020. Kini, satu episode yang baru diunggah saja sudah menjaring 40-50 ribu pendengar dalam kurun waktu satu pekan.
Selain BKR Brothers, ada pula Do You See What I See? besutan Rizky Adi Nugroho yang terus bertengger di sepuluh besar chart podcast Spotify.
Do You See What I See? berisi kumpulan cerita horor. Selain dari pengalaman pribadi, Rizky juga menerima dan mengurasi cerita-cerita horor untuk diunggah ke Spotify. Kurang lebih setiap hari ada 20 orang yang mengirim rekaman.
"Rata-rata pendengar setiap episode mencapai 100 ribu. Pernah ada episode yang sampai 400 ribu pendengar. Kalau total pendengar sudah sampai 20 juta," kata Rizky.
 Ilustrasi. (Istockphoto/Nicola Katie) |
Pengamat media Ignatius Haryanto menilai setidaknya ada empat faktor yang membuat podcast berkembang di Indonesia, yaitu baru, spesifik, personal, bisa didengar kapan saja dan di mana saja.
"Rupanya audiens Indonesia selalu ingin coba hal baru. Konten podcast bisa dipilih sesuai keinginan. Isinya lebih analitis, memberi tips, bukan general news seperti media online kebanyakan. Sentuhan personal dari sosoknya juga memberi tambahan," kata Ignatius.
Lebih dari itu, Ignatius menganggap kemunculan podcast ini bukan sekadar untuk mengomunikasikan ide, tapi juga industri.
"Saya tidak yakin ada apps/media sosial yang diciptakan murni untuk memfasilitasi komunikasi, pasti motif bisnis bergelimang di situ," katanya.
Ia kemudian berkata, "Bisnis itu ada dua, satu iklan, yang kedua podcast digunakan untuk menambang data perilaku pengguna. Jadi itu, jadi sarana periklanan dan data mining, selalu dua itu. Tidak ada yang tidak punya dimensi itu. Buat apa investasi besar-besaran?"
Berdasarkan data Spotify, 20 persen pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan. Jumlah jam yang dihabiskan untuk mendengarkan podcast meningkat 10 kali lipat dalam satu tahun terakhir.
Spotify pun berkembang menjadi raja penyedia podcast di Indonesia. Berdasarkan survei Daily Social pada 2018 dengan 2032 responden pengguna ponsel pintar di Indonesia, sebanyak 52,02 persen mendengarkan podcast lewat Spotify.
 Ilustrasi. (CNN Indonesia/Susetyo Dwi Prihadi) |
Merujuk pada survei yang dilakukan Box2Box Media Network tanggal 26 Desember 2019 sampai 17 Januari 2020, keadaan tidak jauh berubah. Dari 2.874 responden, 56,7 persen di antaranya mendengarkan podcast melalui Spotify, disusul YouTube dengan 15,18 persen.
Pendiri Box2Box Media Network, Pangeran Siahaan, menilai banyak podcaster mengunggah konten podcast ke YouTube karena audiens yang lebih luas.
Rizky, misalnya, mengunggah podcast ke YouTube beberapa bulan setelah Do You See What I See? mengudara. Alasannya sederhana, karena banyak pendengarnya yang meminta.
Selain Rizky, Iyas juga akhirnya memutuskan untuk mengunggah kontennya ke YouTube mulai Januari lalu setelah dua tahun urung.
Ia sempat dikritik karena konten Makna Talks dianggap terasa buruk jika diunggah ke YouTube. Anggapan ini muncul karena selama ini, kebanyakan video di YouTube disebut 'sampah' sehingga konten yang lebih baik tidak terlihat.
"Itu 80 persen yang ada di YouTube. Biarin kami jadi yang 20 pesen. Kasih tahu cara benarnya. Gue enggak merasa paling benar, tapi setidaknya gue enggak
clickbait dan nyinyir," kata Iyas.
(adp/has)