Penyair Sapardi Djoko Damono meninggal pada Minggu (19/7). Sebagian karyanya yang familiar di tengah publik adalah puisi bertema cinta dan kasih sayang. Penggalan sajaknya bahkan boleh jadi juga sempat Anda jumpai atau jadikan bagian dalam undangan pernikahan.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu," demikian penggalan puisi berjudul 'Aku Ingin' yang ditemukan pada undangan pernikahan.
Sajak-sajak Sapardi juga kerap diidentikkan dengan hujan atau juga ornamen pada taman. Sebut saja, Hujan Bulan Juni, Kuhentikan Hujan, Gadis Kecil, Lanskap, Hatiku Selembar Daun, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi sesungguhnya selain masyhur lewat sajak-sajak bertema cinta yang puitis, Sapardi juga kerap menyentil isu sosial dan politik.
Lewat bait-bait yang terangkai indah, penyair yang tutup usia pada umur ke-80 ini bisa membuat masalah yang terkesan berat itu dekat dengan masyarakat luas.
Sapardi yang lahir pada 1940, hidup sejak awal kemerdekaan Indonesia melewati berbagai masa dan situasi politik. Karyanya pun tak jauh dari isu yang ada kala itu.
Beberapa karya populer Sapardi yang menyorot isu sosial dan politik di antaranya 'Tentang Mahasiswa yang Mati pada 1996'. Puisi ini dibuat sekitar 24 tahun silam, ketika sedang ramai demonstrasi mahasiswa.
Berikut penggalan puisi Tentang Mahasiswa yang Mati,1996 diambil dari buku puisi 'Melipat Jarak' yang disebut Sapardi sebagai "saudara kembar Hujan Bulan Juni".
Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu / Aku tak mengenalnya / hanya dari koran/ tidak begitu jelas memang / kenapanya atau bagaimana (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya///
Tak hanya itu, Sapardi muda juga disebut kerap menulis tentang kehilangan di tengah situasi sulit pada 1965.
Selain itu, ada pula 'Dongeng Marsinah' yang ia buat selama tiga tahun dari 1993-1996. Marsinah merupakan buruh sekaligus aktivis di pabrik arloji di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Mei 1993 tubuh Marsinah ditemukan terbujur kaku di tengah hutan Nganjuk, Jawa Timur.
Berikut penggalan puisi 'Dongeng Marsinah'
Marsinah itu arloji sejati/ melingkar di pergelangan/ tangan kita ini// dirabanya denyut nadi kita/ dan diingatkannya / agar belajar memahami/ hakikat presisi// Kita tatap wajahnya / setiap hari pergi dan pulang kerja / kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata///
Dalam sebuah kesempatan Sapardi mengaku sangat marah dengan kejadian yang menimpa Marsinah, buruh pabrik di Sidoarjo yang diculik dan ditemukan tewas setelah berunjuk rasa menuntut kenaikan upah.
"Saya nulis, marah, nulis, marah. Sampai hari ini saya masih marah, tapi karena sudah jadi puisi, jadi tidak marah. Menurut saya, orang marah tidak usah menulis, demo saja deh," kata Sapardi dalam sebuah pertunjukan pada 2016.
Lewat puisi tersebut, Sapardi dinilai mengekspresikan pergulatan batin dan kegelisahan dengan cara yang estetik.
"Ini sebuah keberhasilan Sapardi, membuat politik yang keras mampu diredam dengan tetap puitik. Membuat politik yang besar, menjadi sangat personal," ungkap sastrawan Agus Noor kepada CNNIndonesia.com, Minggu (19/7).
Menurut Agus Noor, Sapardi cakap membuat sesuatu yang abstrak menjadi begitu menyentuh dan memikat. Karyanya menjadi konkrit, sesuatu yang mulanya imaji menjadi puitis dan membuat sesuatu yang terkesan berat menjadi subtil.
"Dia membuat sesuatu menjadi pengalaman yang personal, menyentuh tubuh kita," ucap Agus yang berencana membuat musikal puisi Sapardi dalam waktu dekat.
Agus juga menilai Sapardi merupakan penyair penting dalam sejarah Indonesia. Karya-karyanya yang menyuarakan perasaan, hasrat, kerinduan, dan kegelisahan diterima oleh masyarakat dari semua generasi.
(ptj/nma)