Di tengah pembahasan dan percakapan terkait feminisme yang makin hilir mudik di media sosial, mungkin penyampaian pesan paling menyenangkan atas hal tersebut bisa didapat di film Enola Holmes yang rilis di Netflix.
Film fiksi yang dibintangi oleh Millie Bobby Brown ini kuat akan pesan feminisme, namun disampaikan dengan adegan yang riil, akrab, dan diimbangi dengan cerita ringan yang menyenangkan.
Film ini mengisahkan perjalanan Enola, adik dari detektif terkenal Sherlock Holmes (Henry Cavill), mencari ibunya, Eudoria (Helena Bonham Carter), yang menghilang ketika ia baru menginjak 16 tahun. Hanya sebuah kotak berisi kartu bergambar bunga dan gim kata yang ditinggalkan ibunya untuk Enola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebingungan, Enola menghubungi dua kakak laki-lakinya yang sudah lama tak pulang, Mycroft (Sam Claflin) dan Sherlock, untuk membantu mencarikan sang ibu. Namun, kedua kakaknya itu tampaknya tak terlalu berminat membantu Enola.
Bahkan, Mycroft sebagai kakak tertua, berencana mengirim Enola ke sekolah asrama untuk dididik sesuai dengan kebanyakan anak perempuan di Inggris kala itu.
Selama ini, Enola hanya mendapatkan didikan ala ibunya sendiri di rumah. Meski begitu, Enola tumbuh menjadi anak dengan insting yang kuat nan cerdik juga tangguh.
Mengetahui rencana Mycroft dan minat minim dari Sherlock, Enola kabur dari rumah untuk mencari ibunya sendiri. Dari sana lah, perjalanan Enola menemukan ibunya dan dirinya sendiri dimulai.
![]() |
Sejak awal, film Enola Holmes ini menawarkan hal yang berbeda dibanding film misteri atau feminis lainnya.
Millie sebagai produser sekaligus berperan sebagai Enola membawa film dengan pesan yang sebenarnya berat ini terasa begitu ringan dan ramah, apalagi kalau bukan dari karakter serta cara Millie berinteraksi dengan penonton.
Dengan keputusan untuk mendobrak "dinding keempat" dalam seni film, Enola Holmes memang kadang terasa seperti sebuah dokumenter ala Discovery Channel pada beberapa bagian.
Namun harus diakui keputusan itu adalah hal yang tepat. Secara emosional, cara Millie membawakan narasi itu membawa penonton 'nyemplung' dalam cerita.
Cara itu kemudian berdampak pada penyampaian pesan feminisme yang lebih mudah diterima oleh penonton tanpa harus susah-susah dicerna selayaknya film biografi atau sejarah lainnya.
Sejak babak awal, film garapan Harry Bradbeer yang ditulis oleh Jack Thorne ini sudah menggambarkan pendobrakan atas stigma juga diskriminasi atas perempuan di masa itu.
Berlatar Inggris pada abad ke-19, perempuan kala itu diwajibkan untuk memiliki tutur sikap yang sudah ditanamkan sejak kecil, mulai dari soal pendidikan, cara makan, hingga pakaian. Masalah sama yang masih bisa ditemukan saat ini, berabad-abad kemudian.
![]() |
Bukan cuma mendobrak stigma soal pendidikan juga 'label' bagaimana perempuan seharusnya perempuan bersikap, film ini turut menggambarkan fleksibilitas gender yang kerap dibawa oleh Enola Holmes dalam petualangannya.
Sebagai contoh, Enola dalam beberapa bagian lebih memilih mengenakan pakaian pria dan menolak ketika ia dihardik soal itu. Selain itu, Enola juga tak membantah ketika ia dianggap sebagai seorang laki-laki.
Memang argumen Enola sedang dalam penyamaran bisa digunakan terkait hal tersebut. Namun justru dengan alasan itu, Millie Bobby Brown, Paige Brown, Ali Mendes, Alex Gracia, dan Mary Parent selaku produser dengan halus menyelipkan pesan androgini dan "gender free" di dalamnya.
Pesan itu terbilang penting untuk disampaikan kepada masyarakat luas yang masih mengotak-ngotakkan manusia berdasarkan pakaian dan gendernya, masalah yang masih ditemukan di era saat ini. Siapapun sejatinya boleh dan berhak mengenakan apa pun.
Terlepas dari pesan feminisme dan konsep cinta pada diri sendiri yang patut disampaikan kepada generasi muda, film ini juga memiliki sejumlah kekurangan, terutama dari segi kronologi waktu dan kesesuaian cerita.
Sejak awal, sosok Enola Holmes sejatinya tak pernah ada. Sir Arthur Conan Doyle tercatat hanya menciptakan Mycroft sebagai keluarga dari Sherlock. Namun novelis Nancy Springer kemudian 'meminjam' cerita Doyle dan menciptakan Enola yang lalu diangkat dalam film ini.
Karena tidak secara langsung terkait dengan kisah asli Sherlock Holmes, maka ada sejumlah karakter dalam film ini yang tidak sesuai dengan karakter asli ciptaan Doyle. Misalnya, soal fisik Mycroft.
Selain itu, latar waktu dan situasi sosial-politik dalam film ini juga menimbulkan tanda tanya. Dalam naskah, film ini meminjam latar politik Inggris yang kala itu tengah dalam 'pertempuran' antara kelompok konservatif dan progresif. Hal itu terlihat dari latar cerita ketika RUU Reformasi tengah bergulir.
Menimbang penggambaran usia karakter Sherlock dalam film yang diwakili Henry Cavill dengan usia 'asli' karakter tersebut versi Conan Doyle, maka RUU dalam Enola Holmes agaknya mengacu pada RUU Reformasi 1884 atau the Representation of the People Act 1884 yang membahas soal hak pilih.
Namun bila membandingkan dengan cerita yang ditampilkan dalam film ini, agaknya cerita Enola Holmes kurang sesuai dengan sejarah dan situasi sebenarnya dari RUU Reformasi 1884 tersebut.
Entah Thorne sengaja membawa sejarah tersebut untuk menguatkan pesan tanpa mempertimbangkan kesesuaian cerita, atau memang dalam novel asli juga berlatar demikian.
Meski begitu, sebagai film adaptasi dari buku pertama serial novel Enola Holmes ini masih tetap layak untuk menjadi penyemangat para perempuan dan siapa pun untuk menjadi dirinya sendiri serta mencari masa depan yang sesuai dengan keinginannya.
(bac)