Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia bukan hanya kehadiran layanan streaming asing macam Netflix, Amazon Prime Video, HBO Go, ataupun Disney+Hotstar, tetapi juga layanan streaming lokal yang tumbuh di tengah-tengah mereka.
Kehadiran para layanan streaming raksasa dunia itu tak terlepas dari potensi Indonesia dan Asia Tenggara sebagai pasar teknologi digital. Setidaknya itu terlihat dari laporan Google, Temasek, dan Brain & Co soal ekonomi berbasis internet yang dirilis beberapa waktu lalu.
Laporan itu menunjukkan bahwa nilai ekonomi berbasis internet atau Gross Merchandise Value (GMV) di Asia Tenggara sampai akhir tahun ini mencapai US$105 miliar. GMV diprediksi naik sekitar tiga kali lipat mencapai US$300 miliar pada 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
GMV tersebut didapat dari transaksi pada e-commerce, perjalanan daring, media daring dan pemesanan makanan. Layanan streaming yang menyajikan konten video masuk dalam kategori media daring, bersama dengan musik streaming dan gim.
Media daring berada di peringkat kedua setelah e-commerce dengan raihan US$17 miliar GMV dari total US$105 miliar. Kemudian pada 2025 media daring diprediksi meningkat kali lipat menjadi US$35 miliar GMV dari US$300 miliar.
Bila dilihat dari segi negara, Indonesia menjadi negara penyumbang GMV tertinggi dengan US$44 miliar sampai akhir 2020. Kemudian pada 2025 nilai ekonomi berbasis internet di Indonesia diprediksi mencapai US$124 miliar, jauh meninggalkan negara Asia Tenggara lain dengan kisaran US$22-53 miliar.
![]() |
Bukan hanya layanan streaming asing, layanan streaming lokal juga melihat potensi itu. Setidaknya sejak 2018 sampai sekarang, muncul sejumlah layanan streaming lokal, yaitu Bioskop Online, GoPlay, Klik Film, dan MAXstream.
Group CEO Visinema, Angga Dwimas Sasongko menilai layanan streaming lokal muncul di waktu yang tepat. Termasuk layanan streaming besutannya, Bioskop Online, yang diluncurkan pada Juli lalu.
Bila Bioskop Online keluar di tahun yang sama dengan Netflix pada 2016, kata Angga, maka akan sulit bersaing dari segi metode pembayaran. Ia tidak ingin menerapkan pembayaran dengan kartu kredit karena berpotensi menyulitkan pelanggan.
"Kalau sekarang ada dompet digital yang memudahkan konsumen melakukan pembayaran di platform kami. Buat saya, dari perspektif teknis kami ada di waktu yang tepat," kata Angga kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.
Ia menilai aspek teknis dalam layanan streaming sangat penting untuk menarik pelanggan. Semakin mudah teknis yang ditawarkan suatu layanan, peluang untuk mendapatkan pelanggan semakin besar. Terlebih untuk berhadapan dengan pemain besar layanan streaming.
Selain aspek teknis, konten yang berbeda dengan layanan streaming asing juga menjadi hal utama yang ditawarkan. Oleh karena itu Bioskop Online menawarkan film-film festival dan sidestream yang jarang tersedia di layanan streaming lain.
![]() |
Angga melihat dalam berapa tahun belakangan film-film Indonesia semakin banyak digemari oleh masyarakatnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam data box office yang belum secara resmi dirilis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Data itu menunjukkan pada 2015 terdapat 16 juta penonton film Indonesia. Jumlah penonton film Indonesia terus meningkat menjadi 36 juta pada 2016, 42 juta pada 2017, 48 juta pada 2018, dan 58 juta pada 2019.
Selain sebagai pembeda konten dengan pemain besar layanan streaming, Angga ingin memberi ruang pada film Indonesia agar bisa ditonton secara luas. Hal ini mengingat persebaran layar bioskop di Indonesia sangat tidak merata.
"Kami enggak mau berkompetisi sama Netflix dan Disney+, kami bukan tandingan mereka. Mereka perusahaan raksasa, multinasional, dan world wide operation. Kalau pun kita punya katalog film luar, apa bisa dapat yang bagus kayak mereka? berapa banyak uang yang harus dikeluarkan," kata Angga.
Pengamat film Hikmat Darmawan memiliki pandangan yang sama dengan Angga. Ia menilai layanan streaming asing memiliki keterbatasan dalam mengakuisisi atau menyewa konten loka karena memiliki standar yang berbeda.
"Film Indonesia itu sudah punya pasar dan penonton terbentuk dengan baik, tapi karena pandemi perilaku penonton berubah. Ini sebenarnya bisa dijadikan modal kompetitif platform streaming lokal," kata Hikmat
Bahkan, Bioskop Online memasang tarif relatif terjangkau sebagai bagian dari strategi menghadapi pemain besar dan mitigasi menonton bajakan. Satu film bisa ditonton dengan membeli tiket seharga Rp5-10 ribu dengan periode tayang selama 48 jam.
![]() |
Angga tidak menjelaskan secara pasti apakah Bioskop Online rugi karena memasang harga yang sangat murah. Tapi yang pasti, Bioskop Online sudah siap secara finansial dan memiliki 'napas panjang' untuk berenang dalam kolam layanan streaming yang sudah ramai.
"Bukan hanya Bioskop Online yang berkorban, para produser dan sutradara juga berkorban demi kita punya jalur distribusi baru, industri lebih sehat, dan masyarakat yang lebih familiar dengan film Indonesia. Ini sudah seharusnya jadi ikhtiar bersama," kata Angga.
Bioskop Online sendiri resmi diluncurkan pada Juli lalu, kemudian pada Oktober kemarin, mereka merilis konten film orisinal pertama bertajuk Story of Kale: When Someone Love. Sampai saat ini Bioskop Online kurang lebih memiliki 600 ribu pengguna.
Selain Bioskop Online, GoPlay juga banyak menyajikan konten lokal dengan sentuhan berbeda. Sejak diluncurkan pada September 2019, GoPlay mulai dengan adaptasi serial asal Korea Selatan bertajuk Tunnel yang dirilis Desember lalu.
"Dari feedback yang kami terima dari data internal kami, serial GoPlay Original Tunnel Indonesia (2019) memiliki ceruk penggemar tersendiri yang berbeda dengan serial di negara asalnya," kata CEO GoPlay, Edy Sulistyo, dalam wawancara tertulis beberapa waktu lalu.
![]() |
Sejak itu GoPlay memproduksi banyak konten lokal orisinal. Beberapa di antaranya adalah Saiyo Sakato, Jadi Ngaji, Work From Home, Filosofi Kopi The Series, dan Namanya Juga Mertua.
Di sisi lain, GoPlay juga semakin gencar menggarap konten asal Korea Selatan bekerja sama dengan raksasa hiburan Korea, CN ENM, untuk mendapatkan lisensi konten-konten tvN sejak Oktober kemarin.
Lihat juga:Review Film: The Trial of the Chicago 7 |
"Film dan serial Indonesia tetap menjadi konten dengan performa terbaik di GoPlay, tetapi kami melihat di antara konten-konten Asia di GoPlay, konten Korea memiliki performa yang baik, dengan basis penggemar yang cukup spesifik," kata Edy.
Lebih lanjut, Hikmat menilai sejauh ini industri streaming Indonesia berjalan dengan baik dan atar layanan streaming saling melengkapi. Terlebih, tren menonton konten dari layanan streaming memang sedang meningkat tanpa ada pandemi virus corona.
Tapi, ia juga melihat ada masalah yang perlu diperbaiki agar industri tetap berjalan dengan baik. "Masalahnya adalah infrastruktur digital untuk penunjang pasar tersebut. Koneksi internet merata apa tidak? koneksi di daerah belum bagus betul dan mahal, selain itu juga lebih banyak menghabisi bandwidth."
(adp/end)