"Kita membangun tugu nasional untuk kebesaran bangsa. Saya harap seluruh bangsa Indonesia membantu pembangunan Tugu Nasional itu," tulis Presiden Sukarno dalam suratnya kepada rakyat Indonesia.
Tepat pada 17 Februari 1955 silam, ia pun mengadakan sayembara perancangan Monumen Nasional (Monas) bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sayembara itu kurang lebih berjalan selama satu tahun yang ditutup pada Mei 1956. Tercatat ada 51 peserta yang mengikuti sayembara perancangan Monas, tapi hanya ada satu pemenang. Ia adalah arsitek Friedrich Silaban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komite menilai rancangan Monas yang dibuat Friedrich menggambarkan karakter negara Indonesia dan bisa bertahan ratusan tahun.
Sebagaimana dilansir Jakarta.go.id, Monas dibangun sebagai titik pencar perkembangan wilayah kota Jakarta. Selain itu, Monas dijadikan acuan agar perkembangan wilayah kota sesuai dengan Rentjana Induk (Master Plan) DCI Djakarta 1965-1985.
Namun, Sukarno kurang puas dengan rancangan karya Friedrich. Penulis biografi Frederich Silaban, Setiadi Sopandi alias Cung, mengatakan bahwa Sukarno ingin Monas menjadi bangunan modern yang memiliki unsur kebudayaan Indonesia.
Salah satu unsur tersebut termasuk simbol lingga dan yoni yang kerap terdapat pada bangunan candi Hindu atau Buddha. Lingga (phallus) merupakan simbol kejantanan seorang pria dan Yoni (vulva) adalah simbol perempuan atau kesuburan.
"Monas gagasannya seakan dari lokal. Sebenarnya tidak lokal banget karena dari mitologi Hindu asal India yang sudah lama merambah Jawa. Saya tidak tahu persis kenapa itu juga yang dipakai karena sebenarnya agak Jawa-sentris," kata Cung beberapa waktu lalu.
Fiedrich alkhirnya diminta membuat rancangan Monas berunsur lingga dan yoni. Rancangan baru yang ia buat memakan biaya amat besar dan sulit bila harus memakai uang negara, mengingat kondisi ekonomi kala itu kembang kempis.
Namun, Friedrich menolak membuat Monas dengan bentuk bangunan yang lebih kecil. Ia bahkan sempat menyarankan agar pembangunan Monas sebagai lambang perlawanan dan perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan ditunda sampai kondisi ekonomi membaik.
Empat tahun berselang, tepatnya 10 Mei 1960, sayembara perancangan Monas kembali digelar. Kali ini, sayembara diikuti 22 peserta. Dari 136 rancangan, tidak satu pun yang memenuhi kriteria komite, dan tentunya Soekarno.
Setelah dua sayembara yang kurang menghasilkan, Sukarno akhirnya menunjuk R.M. Soedarsono dan Friedrich untuk membuat rancangan baru. Rancangan tersebut disetujui dan pemancangan tiang pertama dilakukan pada 17 Agustus 1961.
Akhirnya, jadilah Monas seperti yang ada sampai sekarang. Bangunan itu berbentuk obelisk setinggi 137 meter dengan dua cawan dan satu tugu berbentuk kobaran api yang terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton berlapis emas 35 kilogram.
![]() |
Ya, bila dilihat dari sudut pandang biasa, Monas memang melambangkan perjuangan dan semangat yang tak pernah putus, terlihat dari kobaran api di puncak monumen. Namun, ada filosofi mendalam di balik itu semua.
Obelisk yang menjulang setinggi 117,7 meter merepresentasikan lingga yang merupakan kejantanan pria, maskulin, dan aktif. Sementara itu, cawan berbentuk kotak berukuran 45 X 45 meter merepresentasikan Yoni yang merupakan perempuan, feminin, dan pasif.
Arsitek, akademisi, sekaligus penulis buku Bung Karno Sang Arsitek, Yuke Ardhiati, mengatakan bahwa Sukarno mencetuskan ide lingga dan yoni untuk Monas setelah melihat artefak di Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi Sukuh merupakan candi Hindu di Indonesia yang paling banyak memiliki unsur lingga dan yoni. Bukan hanya secara simbolis, lingga dan yoni pada Candi Sukuh ditampilkan secara ikonis.
Berdasarkan situs Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lingga adalah pilar cahaya, simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Dalam ajaran Hindu, Dewa Siwa digambarkan sebagai lingga.
"Sebagai simbol organ maskulin, lingga mengandung energi penciptaan. Akan tetapi, energi tersebut akan berfungsi apabila disatukan dengan energi shakti, yang disimbolkan dalam wujud yoni, untuk memberikan kekuatan bagi energi penciptaan tersebut," demikian penjelasan situs tersebut.
Yoni sendiri merupakan simbol organ feminin yang berlawanan dengan lingga, tapi saling melengkapi. Persatuan lingga danyoni merupakan simbol penghasil energi penciptaan yang menjadi fondasi dari seluruh penciptaan.
![]() |
Penampakan lingga dan yoni kerap dijumpai pada candi-candi Jawa Tengah kuno, seperti Candi Gunungwukir, Candi Sambisari, dan Candi Ijo. Begitu pula pada Candi Ceto, situs Gaprang, Reco Warak, dan Candi Sukuh yang menjadi inspirasi Sukarno.
Dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara, menjelaskan bahwa simbol lingga dan yoni sendiri sering digunakan di berbagai negara sejak dulu. Pasalnya, zaman dulu manusia sangat memiliki hubungan dengan alam, dan kesuburan sangat penting.
"Sejak megalitikum, konsep itu sudah muncul. Hindu kemudian mewujudkan visual yang lebih tampak. Seperti yang ada di Candi Sukuh dan Candi Ceto itu sangat jelas terlihat lingga-yoni yang filosofis, tidak hanya sekadar relasi seksual," kata Pande kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Sayangnya, menurut Pande, masyarakat modern hanya melihat lingga dan yoni sebagai relasi seksual untuk kesenangan sehingga konotasinya menjadi porno. Masyarakat tradisional menganggap lingga dan yoni sebagai lambang kelahiran generasi baru.
Berbicara mengenai simbol lingga dan yoni pada Monas, kata Pande, tidak serta merta berarti Monas merupakan simbol seksual. Monas tetap menjadi simbol semangat kuat, bekerja keras, kesuburan, dan pembangunan bangsa yang menurutnya sangat penting.
"Bung Karno yang filosofis paham sekali bagaimana filosofi dan spirit dari simbol lingga dan yoni. Bukan berarti beliau mengartikan itu pada ajaran agama tertentu, tetapi diartikan secara esensi, kemudian divisualisasikan dalam bentuk Monas," tutur Pande.
(has/bac)