Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri mengungkap secara keseluruhan status ketahanan pangan Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini sampaikan berdasarkan pada data Global Food Security Index (GSFI).
Adapun Kuntoro merinci adanya kenaikan yang tercatat yaitu, pada tahun 2016 Indonesia masih berada di peringkat 71 dan tahun 2019 meningkat di peringkat 62.
"Kami memantau secara konsisten index (GFSI) tersebut. Angka ini naik karena dipengaruhi 3 aspek ketahanan pangan sebagai indikatornya," jelas Kuntoro dalam keterangan tertulis, Jumat (18/2/2021).
Lebih lanjut, Ia menyebutkan ketiga aspek yang memengaruhi Nilai Indeks Keseluruhan pada data GSFI. Yaitu Keterjangkauan, Ketersediaan, serta Kualitas dan Keamanan. Ia menambahkan, aspek Keterjangkauan dan Ketersediaan untuk Indonesia meningkat cukup drastis, sehingga menjadi aspek yang dominan mempengaruhi kenaikan nilai indeks secara keseluruhan.
"Hal tersebut tentu tidak terlepas dari upaya-upaya dilakukan pemerintah selama ini, Kementerian Pertanian selama ini terus berupaya membenahi pertanian dari hulu hingga hilir termasuk dalam hal distribusi dan ketersediaan pangan," ujarnya.
Kuntoro pun mengungkap, dari sisi ketersediaan pangan pemerintah telah melakukan upaya salah satunya melalui pembangunan program Food Estate. Ia menjelaskan pembuatan Food Estate dari pemerintah dilakukan untuk mempersiapkan pangan rakyat dalam skala ekonomi yang besar.
"Kemandirian pangan terus kita perjuangkan, agar kita mampu berdiri di atas pangan kita sendiri. Apalah artinya indeks bagus,pangan kita terlihat aman, namun punya ketergantungan pada impor," kata Kuntoro.
Sementara itu, Kuntoro menjadikan Negara Singapura sebagai contoh. Ia menjelaskan, Singapura menempati indeks terbaik di dunia, namun hampir seluruh pangannya dipenuhi dari impor. Hal ini disebabkan negara tersebut tidak memiliki lahan pertanian yang mencukupi. Sementara Indonesia, menurutnya, memiliki potensi sumber daya pertanian yang cukup besar.
Ia pun menyampaikan selama ini banyak lembaga internasional yang melahirkan berbagai pengukuran, untuk melihat seberapa jauh tingkat perkembangan dari suatu negara terhadap permasalahan tertentu. Salah satunya permasalahan di bidang pangan.
Adapun ia menginformasikan, The Economist Intelligence Unit (EIU) bekerja sama dengan Barilla Center for Food & Nutrition juga telah mengeluarkan indeks keberlanjutan pangan (Food Sustainability Index atau FSI).
"FSI itu memiliki tiga indikator, pertama aspek pertanian berkelanjutan, kedua mengenai kehilangan atau susut pasca panen termasuk limbah, dan ketiga mengenai aspek gizi" terang Kuntoro.
Kuntoro menambahkan FSI diharapkan mampu meningkatkan awareness pemerintah, institusi, dan masyarakat terhadap isu food sustainability serta memantau perkembangannya. Selain itu, lanjutnya, proyek ini juga dibuat sebagai bentuk dukungan global terhadap target SDG 2030.
Ia pun menekankan bahwa peringkat yang dibuat oleh FSI bukan dimaksudkan untuk judgemental. Terlebih, sebagai tolak ukur kinerja setiap negara dalam menghadapi tantangan sistem pangan global.
Kuntoro menegaskan aspek-aspek penilaian pada data FSI erat kaitannya dengan pangan yang terbuang (food loss) dan pangan yang menjadi sampah (food waste). Sehingga tak hanya menilai isu produksi saja.
"Salah satu indikator FSI adalah masih tingginya jumlah makanan yang terbuang, akibat perilaku mengambil makanan berlebihan dan terbuang. Kita harus berempati pada negara yang kesulitan mendapatkan sumber makanan," imbuhnya.
Kuncoro menyampaikan bahwa situasi ketahanan pangan nasional yang mengalami peningkatan dan semakin kuat dapat terlihat dari data yang dikeluarkan Global Hunger Index (GHI) 2020.
Ia mengungkapkan Indonesia menempati level moderate dengan skor 19,1, setelah sebelumnya masih berada di level serius dengan skor 20,1 pada tahun 2019. Situasi yang sama juga dapat dilihat dari Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atals (FSVA).
"Berdasarkan data FSVA, jumlah kabupaten/kota yang rentan rawan pangan mengalami penurunan dari 76 kab/kota pada tahun 2019 menjadi 70 Kabupaten/Kota rentan rawan pangan di tahun 2020," tutup Kuntoro.