Jakarta, CNN Indonesia --
Kisah berikut adalah kelanjutan dari Babak 1, klik di sini untuk membaca.
Tina Asmaraman tersenyum kala mengenang momen kejayaan ayahnya, Kho Ping Hoo, usai memutuskan menceburkan diri sebagai seorang penulis cersil dan keluar dari perusahaan pengangkutan yang merekrutnya sebagai juru tulis.
Kho Ping Hoo telah menemukan tambatan kesenangannya. Menulis cerita bukan hanya menyalurkan isi pikirannya, yang kata Tina "selalu penuh", melainkan juga bisa menaikkan derajat ekonomi keluarganya setelah hidup susah sejak masa remaja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan itu bermula dari sambutan hangat cerpen karya Kho Ping Hoo yang tayang di majalah-majalah. Tina menyebut, sambutan itu juga terjadi ketika Kho Ping Hoo membuat majalahnya sendiri. Di majalahnya itu, Kho Ping Hoo ingin menambah satu rubrik lain, cersil.
Kala itu, cersil dikenal merupakan karya terjemahan dari roman sejarah Tionghoa berbahasa Mandarin. Ia pun meminta sejumlah penerjemah untuk mengisi rubrik cersil itu. Namun mereka menolak.
"Ada pengarang silat saduran diminta untuk majalah, tapi mereka bilang sibuk atau apa itu, ya sudah buat sendiri. Ternyata banyak yang suka sambutannya, jadi diterusin," kata Tina kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Hingga pada 1959, cersil pertama Kho Ping Hoo pun rilis. Kisahnya bertajuk Peng Liong Pokiam alias Pedang Pusaka Naga Putih. Cersil itu dibuat bermodalkan pengalaman Kho Ping Hoo dalam membaca cersil terjemahan dan dibumbui dengan imajinasinya sendiri.
Bukan hanya spesial karena itu adalah cersil pertama, melainkan karena karya tersebut begitu personal bagi Kho Ping Hoo. Ia menggunakan nama anak putra dia satu-satunya kala itu sebagai tokoh dalam cerita tersebut, Hang Liong.
"Iya, itu nama adik saya. Karena anak-anaknya kan perempuan semua, dapat anak laki-laki senang banget, terus dijadiin tokoh silat. Adik saya itu nomor berapa ya? Saya hitung dulu ya, anaknya banyak banget..." kata Tina sembari mengingat-ingat urutan saudara-saudaranya sendiri.
 Kho Ping Hoo diketahui memiliki 13 anak dari pernikahannya dengan Rosita, dengan 11 yang hidup. (Arsip Pribadi) |
Kho Ping Hoo diketahui memiliki 13 anak dari pernikahannya dengan Rosita, dengan 11 yang hidup. Tina sendiri merupakan anak keempat. "Dia [Hang Liong] anak kedelapan," ujar Tina tiba-tiba setelah sempat mengingat.
Sambutan hangat tersebut membuat Kho Ping Hoo bersemangat dalam membuat karya. Tina mengaku, ayahnya sudah sedari pagi bisa langsung sibuk di depan mesin ketik dan memenuhi ruangan dengan suara ketikannya.
Apalagi, Kho Ping Hoo amat melarang anak-anaknya yang banyak untuk berisik karena mengganggu konsentrasinya. Ia bisa menulis dari pagi hingga siang, kemudian rehat sejenak dengan mandi, makan hingga bermain badminton, lalu lanjut lagi sampai matahari berganti bulan.
"Ide-idenya itu harus diketik. Kalau enggak, rasanya kepala tuh penuh," kata Tina menirukan ucapan Kho Ping Hoo dan menyebut sang ayah "enggak pakai mikir" kala menulis cerita.
Fokus Kho Ping Hoo menekuni profesi baru hingga keluar dari pekerjaan lamanya membuahkan hasil manis. Ekonomi keluarga meningkat, mereka bisa membangun rumah di Solo, mobil, dan peralatan yang dibutuhkan untuk mengembangkan karier baru Kho Ping Hoo.
Anak-anaknya pun kecipratan cuan. Kho Ping Hoo yang gagal melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi kini mampu membayarkan uang sekolah anak-anaknya dengan jumlah yang lebih banyak dibanding orang tua murid lain.
Mereka pun kerap bepergian untuk liburan. Tina tersenyum kala teringat kenangan dirinya dengan Papa dan Mama serta saudara-saudara lainnya naik mobil berlibur ke Pangandaran.
Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
Pada Mei 1963, kerusuhan yang berlatar masalah rasialisme pecah di Bandung dan menjalar ke sejumlah kota lain di Jawa Barat, termasuk di Tasikmalaya.
Kerusuhan ini dilaporkan bermula dari perkelahian di Kampus ITB antara kelompok Tionghoa dengan non-Tionghoa dan meluas hingga ke luar kampus. Pada 10 Mei 1963, dilaporkan sekitar 500 toko dan rumah mengalami kerusakan. Belum termasuk puluhan mobil, motor, radio, televisi, lemari es yang dibakar atau dirusak.
Penyebab kerusuhan itu salah satunya dianggap karena situasi ekonomi yang mencekik dan ketimpangan ekonomi antara masyarakat Tionghoa dengan non-Tionghoa.
 ilustrasi. Pada Mei 1963, kerusuhan yang berlatar masalah rasialisme pecah di Bandung dan merembet ke sejumlah kota lain di Jawa Barat, termasuk di Tasikmalaya. (Istockphoto/FourOaks) |
Kediaman Kho Ping Hoo tak luput menjadi sasaran. Ia yang merupakan seorang peranakan dan baru mulai mencicip kesuksesan karier sebagai pengusaha percetakan sekaligus penulis, harus merelakan barang-barangnya jadi sasaran amukan massa.
"Rumahnya dilemparin batu, sampai buku-buku dibakarin, kendaraan dibakarin," kata Tina mengenang momen tersebut.
Kondisi itu memaksa Kho Ping Hoo dan keluarganya minggat dari Tasikmalaya dan pindah ke Solo. Di sana, mereka kembali menata hidup. Namun itu pun hanya bertahan dua tahun.
Pada 1965, tindakan rasialisme menjalar ke berbagai daerah di Indonesia pasca kejadian G30S/PKI. Masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi sasaran kemarahan karena Pemerintah China (RRC) kala itu dianggap sebagai sponsor utama gerakan tersebut.
Kerusuhan itu jelas membuat Kho Ping Hoo patah hati.
Cerita bersambung ke halaman selanjutnya..
Rumahnya yang dibangun dengan jerih payah sendiri rusak diamuk massa. Buku-buku karyanya dibakar lagi. Anak-anaknya ketakutan. Percetakannya yang dibangun untuk meningkatkan taraf ekonomi pun nyaris jadi korban.
"Kebetulan pegawainya kan sudah banyak [di Solo], jadi melindungi. 'Percetakan enggak boleh dibakar' katanya, 'Kalau dibakar kerja di mana?'. Sudah melindungi. Tapi Papa saya masih sakit hati kok dibuat takut terus? Kan takut. 'Kan sudah pindah ke Solo, masih aja ada kejadian itu'," kata Tina.
Tina pun masih ingat betapa gaduhnya waktu rumahnya didatangi serombongan pemuda penuh amarah. Mereka datang dengan bergemuruh, penuh teriakan kebencian, dan tak lama bunyi barang-barang dirusak melengkapi teror yang dirasakan keluarga Kho Ping Hoo.
Papa saya sedih. Ada anak tetangga yang biasanya baik kok kenapa? Katanya saya dengar dari tetangga lain, itu ikut ngelempar-ngelemparinTina Asmaraman, putri Kho Ping Hoo |
Ia beserta anggota keluarga lainnya kala itu hanya bisa berlindung di rumah tetangga dan jadi saksi kediaman mereka diobrak-abrik hanya karena nasib sebagai peranakan.
"Papa saya sedih. Ada anak tetangga yang biasanya baik kok kenapa? Katanya saya dengar dari tetangga lain, itu ikut ngelempar-ngelemparin," kata Tina.
"Mungkin ikut euforia anak muda, jadi enggak ada benci ke Papa tapi senang aja terbawa-bawa 'lempar! Lempar!'. Tapi Papa saya sakit hatinya, 'Kenapa? kan dia kenal. Kok tega?'," lanjutnya.
Kho Ping Hoo dan keluarga hanya bisa pasrah dan tabah menjadi korban tak bersalah dari rasialisme. Sembari kembali menata hidup kesekian kalinya, Kho Ping Hoo juga kembali ke mesin tiknya, mengeluarkan ide-ide yang tak mengering meski dihadapkan banyak cobaan.
 Kho Ping Hoo dan keluarga hanya bisa pasrah dan tabah menjadi korban tak bersalah dari rasialisme. (Arsip Pribadi) |
Kho Ping Hoo juga mengajak anak-anaknya dalam melahirkan karya. Ia sengaja merekrut mereka sebagai editor bila ada huruf salah ketik atau sebagai penilai cerita dibuat kala 'bersemedi' di vilanya di kawasan Tawangmangu, setiap hari kerja demi berkarya dengan tenang.
"Papa saya banyak mengarang. Ada berapa judul dan tercampur-campur, jadi kami mengingatkan juga. Dan kadang juga tokohnya kami enggak suka, misal tokoh ini dapat tokoh ini karena dia cewek yang sombong, jadi kami suka bilang 'jangan sama itu deh ceweknya enggak bener'," kata Tina bersemangat.
"Papa enggak protes, cuma 'oh gitu ya'," tambahnya.
Kali ini, Dewi Fortuna merangkul Kho Ping Hoo. Karya-karyanya masih digemari, bahkan lebih dari sebelumnya. Mesin cetaknya tak berhenti mencetak ulang novel-novel cersil yang ia buat.
Leo Suryadinata, peneliti cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo, menulis dalam Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas (Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, 1994), setiap terbitan cersil Kho Ping Hoo bisa mencapai 10-15 ribu jilid dan dalam sebulan terjual habis.
"Menurut perkiraan Kho Ping Hoo, di seluruh pelosok Indonesia ada banyak tempat menyewakan buku-buku silat, terutama karya Kho Ping Hoo. Bila setiap jilid dibaca oleh 25 orang, maka setiap edisinya kira-kira ada 1,6 juta pembaca," tulis Leo dalam esainya, mengutip informasi dari Kho Ping Hoo kepadanya.
Kesuksesan itu kembali membawa kebahagiaan dalam keluarga besar mereka. Tina ingat betul, ayahnya kembali menjadi sosok yang royal. Ketika iklan sebuah produk muncul di TVRI suatu kali dan diminati oleh seorang anaknya, Kho Ping Hoo tak sungkan langsung membelikan barang itu.
Bila setiap jilid dibaca oleh 25 orang, maka setiap edisinya [Kho Ping Hoo] kira-kira ada 1,6 juta pembaca.Leo Suryadinata, peneliti cerita silat dan pernah berkorespondensi dengan Kho Ping Hoo. |
Bahkan mereka berkesempatan liburan ke luar negeri pada awal dekade '70-an. Kho Ping Hoo memboyong keluarganya ke Singapura untuk berlibur. Meski begitu, Tina menyebut Kho Ping Hoo lebih suka berlibur di Solo karena jumlah keluarganya yang mirip rombongan.
"Papa kalau ke Singapura itu bilang ini 'tuh kita cari taksi antri begini! Enakan ke Solo kan'. Papa saya mah suka merusak suasana, kalau ke luar negeri suka mengomel 'enak di Solo kan?' padahal enakan ke Singapura ya?" seloroh Tina.
Bukan hanya royal terhadap keluarganya, Kho Ping Hoo juga dikenang Tina sebagai sosok yang tak lupa balas budi.
Tina ingat cerita sang ayah ketika Kho Ping Hoo masih muda ditolong seorang ibu di stasiun dengan memberikan uang sehingga ia bisa beli tiket untuk dirinya dan sang adik. Kala itu, Kho Ping Hoo kehabisan uang karena membeli makanan untuk adiknya yang lapar.
 Bukek Siansu, salah satu karya Kho Ping Hoo. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono) |
Ketika Kho Ping Hoo telah sukses, ia teringat dengan sosok ibu tersebut dan berusaha mencarinya di stasiun tempat dulu mereka bertemu. Tapi Kho Ping Hoo tak menemukannya dan masih teringat akan sosok ibu itu hingga punya keturunan.
"Papa saya selalu bilang: 'kita jangan lupa sama orang yang sudah menolong kita. Utang uang bisa dibayar, utang budi susah dibayarnya'," kata Tina.
Tina tak bisa menutupi kerinduannya akan sosok Kho Ping Hoo yang meninggal pada 22 Juli 1994 silam akibat komplikasi. Meski sosok Kho Ping Hoo adalah ayah yang memaksa seluruh putrinya untuk mengikuti perintah dan tata krama, ia juga sosok pria yang baik dan menjadi sumber pembelajaran bagi anak-anaknya.
"Bicara dari hati ke hati," kata Tina setelah terdiam lama untuk menjawab apa hal yang paling dirindukan dari kebersamaan bersama ayahnya.
"Kalau ada masalah, Papa kasih jalan keluarnya. Kalau ada masalah di rumah tangga [anak], yang ditegur [oleh Kho Ping Hoo] adalah anaknya, bukan menantunya. Itu yang paling saya ingat."