Jakarta, CNN Indonesia -- Bertampang kalem seperti si kutu buku, ternyata Eka Kurniawan memang mengakrabi beragam bacaan, yang tak jarang menjadi sumber inspirasi. Seperti karya Pramoedya Ananta Toer alias Pram.
Di mata Eka, sosok dan karya Pram sangat menginspirasi. Sejauh ini, menurutnya, belum ada yang mampu melampaui kemampuan sang idola dalam menulis. Selain Pram, juga ada sederet nama lain.
Abdullah Harahap, Kho Ping Hoo serta Seno Gumira Adji termasuk penulis yang karyanya menjadi inspirasi, bahkan mempengaruhi Eka dalam menulis. Hingga kini, Eka sudah merilis tujuh buku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel pertama Eka,
Cantik Itu Luka, diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Tak sedikit kritikus yang menyandingkan karya Eka dengan karya novelis Gabriel Garcia Marquez dan Fyodor Dostoevsky.
Eka juga telah meluncurkan
Corat-coret di Toilet (2000),
Lelaki Harimau (2004),
Gelak Sedih (2005),
Cinta Tak Ada Mati (2005), dan
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014).
Paling gres, karya Eka yang berjudul singkat,
O, dirilis pada akhir pekan kemarin di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Berkisah tentang monyet bernama O yang mengalami konflik cinta.
Di antara seabrek koleksi bukunya, salah satu yang membuat Eka selalu membaca lagi dan lagi, yaitu
Lapar (
Hunger) karya Knut Hamsun, penulis asal Norwegia, yang diterbitkan pada 1890.
“
Lapar adalah novel yang pertama kali membuat saya ingin menulis,” kata Eka kepada CNN Indonesia.com di Jakarta Barat, pada akhir pekan kemarin. “Bercerita tentang penulis yang gagal.”
“Ketika saya baca dan suka, itulah yang membuat saya pengin jadi penulis,” ia menambahkan. Gara-gara
Lapar, Eka diundang pihak penerbit untuk menyambangi Norwegia, pada September 2016.
Dengan nada canda, pemuda kelahiran Tasikmalaya yang berkuliah di Yogyakarta ini menirukan kata-kata pihak penerbit, ”Mudah-mudahan kamu senang di sini, tidak seperti tokoh di
Lapar.”
Dipuji Penulis IndonesiaKedekatan Eka dengan penerbit di Barat, terutama yang mengedarkan bukunya, sekaligus menjadi pintu gerbang bagi karya intelektual Indonesia agar semakin dikenal dunia.
Tak heran bila sesama penulis di Indonesia mengaku bangga pada Eka. Apalagi Eka juga berhasil menjadi nomine Man Booker International Prize 2016. Satu-satunya wakil Asia Tenggara.
“Kita pengin Indonesia dikenal karena hal intelektualnya,” kata penulis Feby Indirani. “Untuk menembus level dunia tidak mudah. Saya berharap, Eka sebagai pembuka pintu gerbang, untuk Indonesia lebih dikenal.”
Feby memuji keberhasilan Eka sebagai nomine Man Booker International Prize 2016. “Ini kemenangannya Eka dan kemenangan sastra Indonesia. Seorang penulis yang bagus butuh lingkungan yang bagus.”
Tak sebatas karya, kepribadia Eka pun menjadi perhatian Feby. Dalam pandangannya, Eka menikmati proses sebagai penulis karena ingin menulis bukan untuk populer atau sekadar eksis di media sosial.
Kekaguman juga diutarakan Djenar Maesa Ayu. Penulis novel
Nayla ini merasa beruntung mengenal Eka sejak lama. Djenar memaklumi jika banyak perempuan muda yang tersipu dan terpesona pada Eka.
“Setelah saya mendapat kesempatan membaca novel Eka, ternyata saya juga melakukan hal yang sama, saya juga tersipu-sipu, terpesona,” kata Djenar kepada CNN Indonesia.com.
Soal
O, karya terbaru Eka, Djenar menyampaikan pujiannya, “Novel ini membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak sederhana, tidak banyak orang yang menulis sesuatu yang sangat serius tanpa ada kesan menghakimi.”
(vga/vga)