Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak perlu kaget sendirian karena tak banyak makhluk mengalami kaget. Orangutan tidak kaget. Buaya tidak kaget. Cicak pohon tidak kaget. Ular tidak kaget.
Burung-burung segera terbang jauh. Monyet si Amang juga tidak kaget. Harimau tidak kaget. Gajah tidak kaget. Entah siapa lagi tak pernah kaget. Sebab bagi para makhluk penghuni hutan sudah biasa melihat keindahan asap Kebakaran Hutan dan Lahan alias Karhutla.
Meski konon, pada Juni-Oktober 2015, akibat Karhutla telah melahap 2.61 juta hektar hutan dan lahan di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah, habis tak terperi, konon.
“Mengapa konon, memang harus memakai konon karena fakta masih akan dibuktikan dengan penyidikan seksama, meski tidak dalam tempo singkat,” kata Burung Nuri sambil lewat terbatuk-batuk hampir mirip dengan sesak napas akibat asap Karhutla.
Gajah tidak kaget melihat Burung Nuri batuk-batuk. “Semoga lekas sembuh sobat,” kata Gajah dalam hati. “Mengapa? Oh! Kejadian asap Karhutla baru ultah ke-18 tahun. Belum terlalu tua,” kata Badak.
“Loh! Itu belum sebanding dengan kejadiaan asap Karhutla di belahan benua lain, katanya lebih parah, konon. Namun katanya lagi, segera teratasi, itu juga konon loh. Pihak mereka konon, cepat melakukan penyelamatan para satwa, konon lagi pelakunya juga tak terlacak. Kak! Kak! Sebab konon,” kata burung Gagak Hitam.
Lanjut burung Gagak Hitam: “Akhirnya peristiwa asap Karhutla di benua lain itu, diputuskan menjadi becana nasional negeri benua itu, konon. Meski kejadiannya tak mirip dengan peristiwa lumpur dan reklamasi laut Pasifiklah hai…," kata burung Gagak Hitam sambil melesat terbang tinggi menuju entah kemana.
Pagi nan indah di Lereng Gunung Gede Pangrango, di antara dua tebing dalam kabut indah, Elang Borneo dan keluarganya mengungsi di taman Edelweiss. Elang Borneo dan keluarganya terlihat lelah, baru beberapa waktu mendarat dari jarak terbang jauh sekali.
Sekelompok Kupu-kupu menghampiri, memberi kabar. Tak jauh dari tempat Elang Borneo sekeluarga beristirahat ada beberapa tanaman biji-bijian dapat mereka santap. Kelompok Kupu-kupu prihatin melihat Elang Borneo sekeluarga, batuk-batuk disertai sesak napas.
Berkali-kali Kupu-kupu mencoba bertanya pada Elang Borneo, mengapa mereka mengungsi jauh sekali hingga ke perbukitan Gunung Gede Pangrango di Pulau Jawa.
Elang Borneo, bungkam tak menjawab, namun tetap tersenyum di antara tatap kosong mata harunya, dalam dan jauh menerawang di helaan sesak nafasnya tampak berat. Sulit bagi Elang Borneo, untuk berbagi kisah tentang dampak asap Karhutla. Elang Borneo, tak ingin berbagi keresahan pada kelompok kupu-kupu amat baik hati dan ramah itu.
Burung Gagak Hitam, hanya lewat dengan suara sindiran. “Kak! Kak!” Elang menggeram kesal mendengar suara sindiran tak ramah itu. Dengan serta merta dia mengejar burung Gagak Hitam. Terjadi perdebatan di udara, bagai kekuatan hitam dan putih di kisah dunia Kang-ouw: Asmaraman S. Kho Ping Hoo. Kedua burung itu saling melesat dan mengibaskan sayapnya. Tampak ketegangan dari keduanya semakin memuncak, akankah terjadi pertarungan sengit?
Menurut Burung Gagak Hitam, “Belum bisa dibuktikan setara valid, hasil riset terbaru Universitas Harvard dan Universitas Columbia Amerika Serikat, bahwa 100.300 kasus kematian telah terjadi di Asia Tenggara, akibat asap Karhutla dari Negeri Katulistiwa.”
Menurut Elang Borneo: “Setidaknya hasil penelitian itu dapat menjadi bahan pertimbangan pihak berkompeten pada sistem penyembuhan luka-luka ekosistem akibat asap Karhutla itu. Jangan menepis apapun informasi asap Karhutla, diterima dulu, dilihat, dipelajari kebenarannya.”
Lanjut Elang Borneo: “Komnas HAM Negeri Katulistiwa, juga sudah bekerja keras memberi berbagai info pada pihak berkompeten pada sistem penyembuhan luka-luka ekosistem akibat asap Karhutla.”
Lanjut Elang Borneo lagi: “Berbagai pihak tengah berusaha fokus memberi kebaikan, kebenaran, ketabahan dan kejujuran agar dampak asap Karhutla bisa teratasi, setidaknya dapat dicegah untuk musim-musim berikutnya.” Elang Borneo berkata di antara sesak nafasnya,
Gagak Hitam mencibir kembali mengeluarkan sindirin abstrak. “Kak! Kak!” Sambil melesat terbang tinggi entah kemana, Elang Borneo amat geram, menahan diri demi keluarganya, yang sedang menunggu di perbukitan Gunung Gede Pangrango, dilindungi oleh kawanan Elang Jawa.
Elang Borneo amat terkejut, dari ketinggian dia melihat kawanan satwa tampak bersimpati, berkumpul bernyanyi riang, menghibur keluarganya, tampak juga begitu banyak bantuan sandang dan pangan. Oh! Alangkah indahnya Negeri Katulistiwa, rasa persaudaraan masih terjalin, dalam hati Elang Borneo, bersyukur.
“Hidup tak sekadar revolusi, sebab evolusi bukan takdir, namun putaran logis dari karma positif, dasar dari pengembangan generasi kebudayaan jagad raya ini, di dalamnya ada ajaran kebijaksanaan dari para pujangga negeri katulistiwa. Senantiasa terbuka, bahwa hidup tak sekadar, ngelakoni-menjalankan, namun sebuah upaya keberanian mengendalikan arus tsunami.” Para satwa tafakur, menyimak dengan seksama suara Elang Borneo dari angkasa.
Lanjut Elang Borneo, sambil terbang berputar. “Tidak ringan mengemban tugas sebagai Satria Sejati, diperlukan ketenangan dalam kepastian pengambilan keputusan, meski korban asap Karhutla telah terjadi. Tak perlu lagi saling menyalahkan, sebab luka-luka ekosistem akibat asap Karhutla harus segera disembuhkan.”
Sambil menukik menuju pendaratan keluarganya, Elang Borneo meneruskan fatwanya. “Ikhlas. Makrifat. Mufakat. Fokus, dalam keseimbangan kesadaran kosmos gotong-royong. Menjadi kekuatan wajib gerakan kebudayaan Indonesia, setara, terbuka. Berani ke depan menyatakan diri, tetap menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran demi menjaga stabilitas dan kemaslahatan negeri katulistiwa."
(ded/ded)