Bila Aprinus dan Kanya adalah saksi ketika buku Kho Ping Hoo masih berjejer-jejer di toko buku umum, Patricia (bukan nama sebenarnya) punya pengalaman berbeda. Sebagai bagian dari generasi milenial, ia justru mengetahui kisah dunia persilatan itu dari ayahnya.
"Dulu saya kira itu pengarang dari China. Tapi cuma sebatas mendengar, belum pernah memegang buku atau melihat bentuk bukunya kayak apa, sampai akhirnya dapat pinjaman setelah lulus kuliah," kata Patricia.
Meski bukan dari generasi ayahnya, Patricia ternyata juga itu terpincut dalam drama demi drama imajinasi Kho Ping Hoo. Ia yang mendapatkan karya Kho Ping Hoo pertama kali dalam bentuk digital dari tangan ke tangan akhirnya ketagihan membaca cersil itu melalui komputer hingga lupa waktu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang menariknya lagi dari Kho Ping Hoo itu jalan ceritanya, banyak plot twist, dan dia enggak bikin tokohnya hitam-putih," katanya.
Patricia tak sendiri menemukan karya Kho Ping Hoo dalam bentuk digital. Bagi generasi milenial ke bawah, cerita Kho Ping Hoo lebih banyak ditemukan di mesin pencarian, blog, unggahan generasi senior di media sosial, atau pun di marketplace.
![]() |
Padahal, bisa jadi generasi seangkatan atau lebih muda dari Patricia telah terpapar karya Kho Ping Hoo namun tak menyadarinya. Cersil Kho Ping Hoo begitu menginspirasi banyak orang, hingga sejumlah pertunjukan hingga sinetron mengadaptasinya.
Beberapa cerita juga sudah pernah dibuat dalam versi film, yaitu Dendam si Anak Haram, Darah Daging, dan Buaian Asmara (dalam film judul diganti menjadi Cintaku Tergadai). Termasuk dua judul lain yakni Badai Laut Selatan (1991) dan Perawan Lembah Wilis (1993) yang diangkat sebagai cerita sinetron di saluran Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Sejumlah penulis naskah serial televisi lainnya juga pernah mengaku kepada keluarga Kho Ping Hoo bahwa dirinya mengadaptasi gaya silat dan cerita karya ayah mereka ke sebuah serial yang tayang hit di televisi beberapa tahun lalu.
Terkait adaptasi kisah karya Kho Ping Hoo ke media lain seperti gambar bergerak, ketiga penggemar ini mengaku tak masalah bila suatu saat nanti benar-benar ada proyek utuh berdasarkan cerita Kho Ping Hoo.
"Tapi harus ada jaminan ketika dibuat film jadi bagus. Tapi kalau enggak bisa, lebih baik jangan. Saya takut kecewa. Lebih baik saya enggak menonton karena nanti bayangan dan kenangan indah saya ketika baca Kho Ping Hoo jadi rusak. Rugi saya," kata Aprinus.
(end/bac)