Isyana hadir dengan nuansa musik yang kental dengan genre klasik dikawinkan dengan rock progresif.
Musisi asal Kota Kembang itu seakan menunjukkan bahwa inilah Isyana yang sesungguhnya. Terlebih kata 'lexicon' yang merupakan bahasa Inggris berarti kamus. Dengan kata lain, album LEXICON adalah kamus seorang Isyana.
Jati diri Isyana dalam klasik diperkuat dengan perilisan single Unlock The Key dan Il Sogno yang terasa serupa meski ada sedikit berbeda. Unlock The Key mengisahkan gejolak emosi, sementara Il Sogno mengisahkan tentang mimpi yang seakan menjadi pertanda.
Lewat karya terbarunya Isyana seperti mencapai titik kulminasi dari seorang musisi. Namun, ia tetap rendah hati ketika mendapat pujian dan merasa masih banyak musisi yang lebih hebat.
Sebenarnya akumulasi dari berbagai macam mimpi yang aku alami. Karena terkadang, aku orang yang suka mimpi dan mimpi-mimpi itu bisa sangat vivid (cerah), dan ada juga yang jadi pertanda dan kejadian di dunia nyata. Aku enggak tahu itu de javu atau apa.
Kemudian ada mimpi-mimpi yang membuat aku bertanya-tanya aja, 'Ini mimpi apakah suatu pertanda baik atau buruk?.' Jadi, ini hanya murni cerita tentang pengalaman aku dengan mimpi-mimpi yang aku alami. Jadi ini lagu memang, 'ini yang gue rasain'.
Kalau yang mimpi yang kejadian untungnya bukan suatu yang buruk. Cuma hal-hal minor, hal minor banget lah. Ada beberapa gitu yang, contohnya yang simple banget ya yang enggak terlalu personal.
Aku mimpi ketemu dan teleponan sama orang ini yang udah lama banget enggak kontak. Itu besokannya telepon beneran, padahal enggak pernah kontak sama sekali. Itu salah satu contoh.
Cuma pada akhirnya ada beberapa mimpi-mimpi yang enggak bisa aku lupakan dan akhirnya aku tuangkan ke lagu Il Sogno. Salah satunya pernah mimpi mendaki Himalaya, aku merasa vivid banget ini mimpi, padahal aku pun enggak pernah kesana tapi kerasa real banget.
Untuk lagu Il Sogno ini enggak tahu ya aku tiba-tiba kepikirannya ingin memasukkan bahasa Italia dengan basic knowledge yang aku punya, Kita juga ada kelas IPA, itu International Phonetic Alphabet, jadi di mana kita belajar how to pronounce Italian in the right way.
Sebenarnya kan liriknya tentang... hmm apa namanya...The dream that seems to always be alive. Apakah itu bisa apa enggak? Ternyata bisa-bisa saja, dan sudah cross check juga.
Awalnya malah dari musiknya dulu, kalau untuk case Il Sogno ini musiknya jadi dulu baru aku kerjain lirik.
Enggak sih kalau aku, enggak tahu ya kalau orang lain. Kayaknya setiap seniman punya caranya masing-masing. Tapi kalau aku pribadi itu memang spontaneous.
Jadi, biar itu mengalir dulu seada-adanya sejujur-jujurnya. Jadi, biasanya aku kerjain dulu tanpa mikir tanpa rumus, dari situ nanti dirapih-rapihin, terus kirim ke produser. Gitu.
Kalau dibilang sulit, iya sulit, karena kita harus menemukan teknik yang pas untuk diri kita masing-masing. Kalau di dalam musik klasik enggak semua teknik diaplikasikan ke setiap orang karena instrumennya adalah tubuh kita dan tubuh orang beda-beda.
Maka dari itu biasanya kita diajarkan dulu basic, fundamental teknik seperti apa tapi kita selalu dikasih pekerjaan rumah sama dosen dan profesor untuk cari teknik yang paling nyaman sama diri kita. Orang terlahir dengan tipe dan timbre yang berbeda, aku masuknya lirycal soprano.
Lewat LEXICON dan dua single setelah itu Isyana mengusung musik klasik, apa dari dulu memang bermimpi menjadi musisi klasik?
Kalau dari dulu memang aku sudah kepengin banget ya, cita-cita aku dari SD itu pengin jadi maestro, pengin jadi musisi. Seseorang yang memang berkarya menciptakan sebuah komposisi dan perform juga, sebagai performer.
Makanya aku akhirnya ambil sekolah music performance, karena ada dua kalau masuk sekolah musik, ada music performance ada music teaching. Nah itu aku memang ambilnya music performance karena udah tahu akan jadi... pengin jadi seorang performer dan jadi seorang musisi.
Tapi kenapa sejak lulus merilis album bergenre pop?
Mungkin pada saat mau lulus itu memang jati dirinya masih pengin bereksplorasi, jadi pada saat itu makanya judul album Explore, karena ya aku terjun ke sebuah genre yang mungkin bukan genre keseharian tapi aku pun suka. Yuk yaudah deh eksplor, gitu.
Album kedua mulailah Paradox, sudah lebih dewasa sudah lebih berevolusi juga. Manusia kan tiap hari evolusi ya, belajar dari sesuatu apa yang udah dilewati. Sampai pada akhirnya dua tahun setelah itu mendewasa juga dan akhirnya jadi LEXICON.
Sulitkah menjadi penyanyi pop dengan latar pendidikan musik klasik?
Yang awal-awal kalau aku nyanyi pop aku merasa kalau dengar lagi.. Jiga kumaha (jadi gimana) ya.. Kayak anak klasik yang maksa nyanyi pop.
Tapi, lama-lama aku bisa beradaptasi dan bisa memilih teknik mana yang digunakan dan sebenarnya enggak usah terlalu pushy dan enggak usah terlalu round suaranya, tapi seru sih belajar.
Apa yang membuat Isyana membuat album dengan nuansa klasik?
Kalau ditanya kenapa ke situ, mungkin fase hidup aku lagi di arah situ dan aku selalu bilang ke pendengar aku ke depannya nanti gimana aku juga enggak tahu ya. Lagi-lagi begitu, musik aku berevolusi bersama dengan kepribadian aku.
Kalau untuk LEXICON ya mungkin fase hidupnya di situ, setelah itu kan halaman baru ternyata muncul Unlock The Key dan Il Sogno.
 Isyana Sarasvati di momen peluncuran album Paradox (2017) (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Apa LEXICON lebih mudah digarap karena latar pendidikan Isyana musik klasik?
Album LEXICON dan seterusnya sampai sekarang betul-betul aku pegang sendiri, enggak ada campur tangan orang lain. Secara proses kreatif betul-betul sendiri di rumah, bener-bener ya gimana gue, bagannya gimana gue, itunya gimana gue.
Pemilihan produser juga gimana aku, itu lebih mudahnya dari sisi komunikasi aja sih.
Dari mana inspirasi rock progresif dalam LEXICON dan dua single terbaru?
Kalau aku sih dari kecil suka banget sama musik rock, rock progresif, metal. Didengarkan Queen, Genesis, yang kayak gitu sama bapak aku juga.
Terus buat Isyanation (penggemar Isyana) yang udah sering dengerin aku live dari album satu sampai dua, itu kebanyakan enggak kaget. Karena aku suka rearrange lagu aku sendiri dengan unsur-unsur tutti (istilah dalam musik) yang agak progresif rock gitu, tapi lagunya album satu dan dua.
Setelah merilis LEXICON ada pertambahan penggemar dari skena rock dan metal?
Bukannya berkurang ya jadi masih disaring? hahahah... Kayak hidup, selalu ada yang datang dan pergi, enggak apalah.
Apa Isyana merasa emosinya tersalurkan lewat karya-karya tersebut?
Beeeuuhh banget sih... Banget, dengan sound distorsi gitar, double pedal drum, itu kayak mewakilkan gejolak perasaan yang ada dalam Isyana yang enggak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Karena ya gitu, lagi-lagi, aku kan orangnya enggak jago ngomong, enggak jadi cerita melalui verbal.
Memang dari mana asal emosi itu? Akumulasi sejak lama?
Yah bisa dibilang betul, itu pasti akumulasi dari berbagai macam pengalaman yang pernah aku alami dan akhirnya bisa ditumpahkan ke sebuah karya itu melewati proses kontemplasi ya pasti.
Segitu kuatnya ya emosi dalam LEXICON sampai dalam beberapa panggung Isyana nangis kalau bawain lagu dari album itu...
Waktu, terutama di LEXICON showcase, tapi itu private banget dan cuma 200 orang. Kalau udah nangis enggak bisa berhenti jadinya baca puisi.
Ya memang LEXICON personal banget ya, dan satu album ini aku enggak ekspektasi apa-apa. Bener-bener pengin cerita tentang apa yang sedang aku alami, karena kan album satu dan dua ada cerita pribadi ada imajinasi.
[Gambas:Youtube]
Kalau bisa dikonversi jadi angka, seberapa puas?
Hmm... Kalau aku sih, ini sulit banget ya pertanyaannya, karena aku sangat menghindari mengkonversi sebuah karya seni dalam penilaian berbentuk angka. Menurut aku setiap orang penilaian berbeda dan ini kayaknya udah permainan rasa sih.
Kembali ke Unlock The Key, itu ada rasa lagu-lagu dari band Nightwish ya?
Nah aku tuh belum pernah dengar. Ternyata pas aku dengar mereka juga progresif rock atau agak sedikit progresif metal yang dicampur dengan sedikit seriosa. Ternyata ada juga yang seperti itu, seru banget.
Bagaimana cara membuat lagu yang emosinya sampai terasa, seperti Unlock The Key?
Nah kalau aku sih lebih ke... jangan... kalau kita sebagai komposer atau pekerja seni jangan memikirkan apa kata orang. Tapi kita mikirin dulu kita sendiri, perasaan kita sendiri. Kalau aku memang prinsipnya adalah karya aku ya cerita tentang hidup aku.
Dan aku percaya dan selalu tahu orang akan selalu ada yang suka dan tidak dalam sebuah karya seni, kan itu selera ya. Jadi itu harus dikesampingkan dulu akan opini dari orang lain karena nanti akan mengganggu proses kreatif dan pad akhirnya kalian enggak bisa jernih dalam berkarya.
Kalau konser LEXICON kapan? Setelah pandemi?
Dari sebelum pandemi juga udah disiapin sebenarnya di tahun 2020 konser LEXICON dibawa tur keliling beberapa kota di Indonesia. Khusus LEXICON, tapi enggak apa demi keselamatan kita semua.
Yaudah akhirnya untuk menggaungkan LEXICON kita bikin konser virtual, dan itu masih awal pandemi banget ya jadi yang sema WFH enggak temu orang, konser virtual kotak-kotak.
Nasib Unlock The Key dan Il Sogno bagaiamana?
Iya, ini rangkaian menuju album. Jadi Unlock The Key single pertama dan Il Sogno single kedua.
Kapan album itu rilis?
Penginnya sih akhir tahun ini, tapi kita kan enggak pernah tahu spontanitas yang terjadi di hidup aku. Apalagi sekarang juga udah label sendiri, kumaha aing hahaha.
Pernahkah berkarya setengah hati? Bagaimana mengatasinya?
Pernahlah, pernah ada di momen itu. Ya aku merasa setiap pekerja seni atau bidang apapun lah, kadang kita mengerjakan sesuatu yang tidak 100 persen sesuai keinginan kita.
Tapi, aku menyiasati dengan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Apa pun yang kita lakukan, yang kita alami, yang kita lewati, jadikan itu juga sebagai pembelajaran buat ke depan.
Kondisi tersebut sempat membuat Isyana stres?
Kalau dibilang karena setengah hatinya sih pastinya itu cuma salah satu faktor kecil ya. Tapi pasti aku juga pernah merasakan di mana aku mendapatkan stressor yang banyak sampai membuat, ya, pikiran aku jadi keruh.
Tapi lagi-lagi, alhamdulillah, aku selalu punya support system yang selalu ada di gelap dan terangnya hidup aku sih. Karena menurut aku support system itu yang paling penting. Orang yang betul-betul bisa kita percaya, yang selalu ada di sisi kita, yang selalu bisa membantu kita.
Rara Sekar (kakak Isyana) kayaknya obat sedih ya? Kalian sering ketawa kalau ketemu.
Iya, kita tuh banyak inner jokes, karena kita sister yang dari kecil enggak pernah berantem. Kan orang tuh pasti ngebayangin kalau perempuan waktu kecil jambak-jambakan, rebutan baju, yang kayak begitu kan.
Nah itu enggak pernah ada sih, pengalaman dan memori itu enggak pernah ada di antara aku dan Rara. Jadi kita itu memang tukang ngakak, ngakak aja sih kerjaannya.
 Rara Sekar dan Isyana Sarasvati (Foto: CNN Indonesia/M. Andika Putra) |
Kalau Mako (panggilan akrab suami Isyana) sekarang lagi ambil spesialis ya?
Sekarang lagi ambil Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Indonesia, ambil psikiatri. Virtual sih, jadi alhamdulillah aman.
Tapi sempat aktif di rumah sakit saat pandemi?
Ya sampai Mei 2020 dia sempat masih internship di salah satu rumah sakit rujukan Covid-19. Walau tidak menangani langsung pasien Covid-19, tapi ada di lingkungan rumah sakit rujukan.
Ada protokol sendiri dong di rumah?
Risikonya besar banget, kita sudah sepakat sih, salah satunya pada saat sampai rumah sebelum masuk harus ganti baju dulu, eh enggak-enggak...
Malah dia dari rumah sakit udah mandi dulu, ke rumah sebelum masuk pintu rumah ganti baju dulu. Setelah itu dia langsung mandi dan ganti baju lagi. Sampai segitunya sih, alhamdulillah sampai saat ini aman.
[Gambas:Instagram]
Sulitkah membagi waktu antara menjadi musisi dan istri?
Iya ada blessing in disguise juga, tiap hari jadinya bareng kan. Terus juga masih pernikahan yang awal-awal, jadi bareng-bareng terus masih senang.
Terus ya walau dia sibuk aku juga ada pekerjaan lain, kita tuh saling mengerti dan mendukung satu sama lain dari dulu. Kita karena udah lama banget, dari aku sekolah aja udah suka kompetisi kemana-mana gitu, udah saling memahami dan support.
Kalau dianalogikan musik, Mako itu bertempo apa?
Mako itu... Pendekar Cahaya kan lagu buat Mako. Ya itu perjalanan Mako, bisa dibilang salah satunya itu. Nanti mungkin setelah jalan pernikahan beberapa tahun kita lihat aja hahaha
Di masa pandemi, Isyana lebih produktif kah?
Sejauh ini sih ya baru Unlock The Key dan Il Sogno. Sama mungkin aku lagi mau persiapin lagu-lagu buat album selanjutnya. Tapi ya enggak produktif banget sih, buktinya tahun 2020 cuma satu. Soalnya tergantung momentum, enggak bisa dipaksakan dan direncanakan.
Isyana tinggal di Jakarta kan?
Sejak pulang dari Singapura aku sudah di Jakarta.
Panas dan polisi Jakarta mempengaruhi musik enggak?
Wah bener juga, apa jangan-jangan selama ini aku enggak sadar ada faktor itu ya hehehe... aku sebenarnya orang rumahan banget, dari sebelum pandemi juga anak rumah dan aku selalu membuat rumah itu di mana letaknya senyaman mungkin.
Itu satu-satunya tempat untuk beristirahat dan tempat menjadi diri sendiri. Kalau dibilang kota jadi salah satu faktor musik, kayaknya sampai saat ini belum. Entar abis ini aku kepikiran lagu entar lagunya judulnya Jakarta lagi
Oktober lalu umumkan label Redrose, apa yang bisa diceritakan dari label ini?
Ini sejalan mimpi aku yang aku sebut di awal, yaitu ingin bangun ekosistem musik. Menurut aku ini langkah awal untuk bisa sampai ke cita-cita ku yang besar nanti itu, salah satunya dengan bangun label dulu.
Biar aku juga punya save home juga buat karya-karya aku. Kan aku sekarang sendiri Kalau rilis enggak ada rumah yang aman untuk karya aku juga bahaya buat karya aku sekarang, jari rilisnya Redrose Records dulu.
Sekarang Isyana bisa dibilang berada di jalan musik yang sesuai keinginan dan disebut sebagai komposer Indonesia. Apa rasanya?
Ya Allah... tersanjung banget ya, takut banget sih pressure dibilang begitu. Tapi pastinya terima kasih banget buat orang yang udah bilang seperti itu, yang merasa terinspirasi juga dari karya-karya aku.
Tapi lagi-lagi ya karya seni itu kan subjektif yah, jadi aku sangat bersyukur dengan orang yang bisa relate sama lagu-lagu aku dan bisa terinspirasi dari apa yang aku ciptakan dalam bentuk karya.
Terima kasih banget, tapi ya aku sendiri tetap berusaha untuk berkarya sesuai dengan diri aku aja ke depan. Itu tidak akan menjadikan tekanan.