Jakarta, CNN Indonesia --
Berbentuk seperti tetesan air gemuk dan berpendar dalam gelap dengan cahaya keluar dari lubang-lubang yang diukir dan bisa membentuk cerita, lampu labu menjadi salah satu karya seni yang menarik minat masyarakat Jepang.
Masyarakat Jepang mengenal labu sebagai hyotan (dibaca hyotang) dan tumbuh subur di sana. Sebagian digunakan sebagai pangan, sisanya sebagai karya seni seperti hyotan lamp ini.
Pada dasarnya, lampu labu ini dibuat dari hyotan yang dilubangi, dikeringkan, dan diukir dengan lubang-lubang sesuai keinginan. Lubang tersebut bisa hanya berupa motif, bahkan sebuah cerita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nantinya, hyotan lamp menjadi penutup lampu sehingga pendar cahaya yang akan muncul akan membentuk gambar serta suasana yang indah.
Salah satu seniman yang menggeluti kerajinan tersebut adalah oleh pria asal Bali, Nyoman Saka, dan istrinya yang asli orang Jepang, Matsumoto Masayo. Keduanya menghasilkan karya seni itu dari labu yang mereka tanam dan panen sendiri.
Kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, Nyoman menyebut kerajinan hyotan lamp yang mereka kerjakan ini adalah proyek Masayo sebelum keduanya bertemu dan menikah.
Sekitar 2000 silam, Masayo yang kala itu menetap di Okinawa, melihat hyotan berlubang-lubang dan terinspirasi membuat lampu darinya. Masayo yang gemar membuat sesuatu sejak kecil kemudian mencoba bereksperimen bersama temannya.
"Dulu belum banyak orang lain yang membuat hyotan lamp, dan istri saya sama temannya bisa dibilang pionir," kata Nyoman.
Pembuatan hyotan lamp ini disebut bisa memakan waktu tujuh hingga delapan bulan. Masayo menyebut tahapan pertama adalah penanaman bibit labu yang dilakukan sekitar Maret dan selama sebulan. Setelahnya, bibit labu dipindahkan ke kebun dengan atap transparan dan ditumbuhkan hingga 5-6 bulan untuk bisa dipanen.
 Masyarakat Jepang mengenal labu sebagai hyotan (dibaca hyotang) dan tumbuh subur di sana. (Arsip Gumino Lamp) |
Menurut Nyoman, menjaga kesehatan tanaman labu jadi tantangan yang cukup berat. Serangan hama berupa ulat dan penyakit tumbuhan bisa membuat tanaman labu mati.
Dalam satu masa tanam, Masayo dan Nyoman bisa menghasilkan 400-500 labu dari 15-25 batang yang ditanam, dengan kerusakan buah akibat proses alam juga tahapan produksi sebesar 10 persen.
"Kami panen pada bulan Agustus atau September. Kalau di Jepang, ini saat musim panas. Setelah panen, kami melubangi bagian bawah hyotan kemudian direndam dalam air untuk proses pembusukan daging," kata Masayo.
 "Setelah panen, kami melubangi bagian bawah hyotan kemudian direndam dalam air untuk proses pembusukan daging," kata Masayo. (Arsip Gumino Lamp) |
Proses pembusukan ini termasuk tahapan yang penting agar mudah memisahkan daging dengan kulit tanpa merusak kulit tersebut. Setelah itu, kulit hyotan dijemur selama satu hingga dua pekan agar benar-benar kering.
Ketika labu bahan lampu sudah kering, langkah selanjutnya adalah melubangi kulit buah itu dengan bor. Pengrajin mesti memakai mata bor kecil agar mudah membentuk pola dan lubang yang dihasilkan tidak terlalu besar.
"Pelubangan ini cepat, dalam sehari bisa selesai satu lampu. Kalau lampu yang besar dengan pola rumit maksimal baru selesai satu pekan. Sebelum menikah dengan saya, istri saya melakukan semua ini sendiri," kata Nyoman.
Keberadaan Nyoman amat membantu kegiatan Masayo dalam menghasilkan hyotan lamp. Apalagi kala awal milenium, kerajinan ini belum terlalu dikenal. Dengan seluruh proses dikerjakan seorang diri, Masayo hanya bisa mengenalkan karyanya di pameran seni.
Namun usahanya tidak sia-sia. Meski pameran hanya berlangsung tiga-empat kali setahun di Jepang, Masayo berhasil mengenalkan hyotan lamp hingga ke Boston, Amerika Serikat.
Hyotan lamp juga menjadi penerang hubungan Masayo dan Nyoman. Keduanya bertemu kala Masayo liburan di Bali dan menjadi dekat karena kisah usaha hyotan lamp. Mereka kemudian jatuh cinta dan menikah pada 2004 silam. Kini, keduanya tinggal di kawasan Gumino, Kumamoto, Jepang.
Nyoman dan Masayo mengisi waktu perkawinan mereka dengan proyek ini dan menamakan karya ini Hyota Lamp. Sebagai pembeda dengan lampu labu lainnya, mereka menggunakan pola ukiran yang memiliki cerita, mulai dari ala Cinderella hingga pengalaman pribadi.
Cerita itu juga disampaikan kepada pembeli atau pengunjung secara lisan kala pameran. Kini, mereka menuliskan kisah-kisah di balik ukiran lampu labu pada kertas kecil kala membeli karya keduanya.
 Sebagai pembeda dengan lampu labu lainnya, Masayo dan Nyoman menggunakan pola ukiran yang memiliki cerita, mulai dari ala Cinderella hingga pengalaman pribadi. (Arsip Gumino Lamp) |
Satu set hyoyan lamp berukuran kecil karya Nyoman dan Masayo dijual mulai dari 15 ribu yen atau sekitar Rp2 juta. Sementara, satu set hyotan lamp berukuran besar dijual mulai dari 30 ribu yen atau sekitar Rp4 juta. Setahun, keduanya bisa menjual 100-200 set dengan 80 persen datang dari pameran.
Nyoman dan Masayo mengaku sempat merasakan kesulitan pada 2014, justru ketika lampu labu ramai di pasaran. Nama Hyotan Lamp yang mereka pilih rupanya dipatenkan oleh pengrajin lainnya. Bukan hanya itu, keduanya mengaku pola lampu mereka juga dicuri.
Hal itu membuat keduanya frustrasi dan berhenti dari bisnis ini selama dua tahun. Selama itu, mereka mengikuti banyak seminar bersama seniman lainnya. Dari pertemuan-pertemuan itu, seorang seniman menyemangati keduanya untuk kembali berkarya. Nyoman dan Masayo pun kembali ke karya seni lampu labu dengan nama baru, Gumino Lamp.
"Seiring berjalannya waktu, Hyotan Lamp tidak lagi dikenal sebagai sebuah merek karena semakin banyak seniman yang membuat. Hyotan lamp akhirnya menjadi sebutan umum untuk lampu yang terbuat dari hyotan," kata Masayo.
 Setahun, Masayo dan Nyoman bisa menjual 100-200 set hyotan lamp dengan 80 persen datang dari pameran. (Arsip Gumino Lamp) |
Kini, pandemi membuat penjualan Gumino Lamp menurun 50 persen dan keduanya tak bisa lagi mengikuti pameran yang menjadi lapak terbesar bisnis mereka. Penjualan secara daring pun tak bisa jadi andalan utama karena harganya lebih mahal dari biasanya akibat komisi kepada market place.
Masayo menyebut masalah itu ditambah dengan sikap sebagian pedagang yang mengenalkan hyotan lamp sebagai jimat alih-alih seni demi menarik pembeli. Padahal, ini 100 persen seni.
"Kami memang sedang melakukan pengembangan lain agar berbeda dan tak kalah bersaing. Seperti membuat cerita pada kertas kecil. Kami juga sedang berpikir untuk mengimpor lampu ini ke luar negeri," kata Nyoman.