Hubungan seks atau persenggamaan diejawantahkan secara gamblang di karya sastra legendaris Serat Centhini. Sejumlah istilah muncul sebagai deskripsi tubuh wanita.
Sebut guntur madu, merica pecah, sri tumurun, puspa megar, dan sejumlah istilah lain yang dalam Serat Centhini digunakan sebagai tipe-tipe wanita. Sekilas tampak memposisikan perempuan sebagai objek.
Namun, begitulah nilai patriarki yang disematkan pada masyarakat Jawa dalam kisah tersebut. Waktu terpaut begitu jauh sehingga nilai tersebut bisa menjadi sebuah negasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) patriarki berarti perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu.
Baca juga:Mengupas Erotisisme di Tanah Jawa |
Secara Antropologis, budaya patriarki dimaknai dalam pengertian yang universal bahwa posisi perempuan berada di bawah kaum lelaki (sub-ordinat) dalam relasi sosial. Lelaki sebagai subjek, sedangkan perempuan kerap menjadi objek.
Budayawan asal Yogyakarta yang juga mengulas naskah Serat Centhini, Irfan Afifi, melihat bahwa nilai-nilai patriarki dalam naskah tak mesti dibenturkan dengan keadaan saat ini.
"Jangan melihat (nilai) patriarki di Serat Centhini dengan perspektif sekarang, enggak adil nanti," ujar Irfan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/6).
"Laki-laki dan perempuan, secara kodratnya (biologis) berbeda, bukan berarti itu jelek. Laki-laki punya kodratnya begini, perempuan begini, mereka punya tempat sendiri-sendiri, keadilan laki-laki dan perempuan punya ukuran sendiri-sendiri, orang dulu paham itu," lanjutnya.
Irfan mengakui bahwa jika harus dibandingkan, konsep patriarki yang dipotret dalam Serat Centhini dan keadaan sosial budaya hari ini akan bertabrakan.
Ia menyebut bahwa pembagian peran dan penggambaran posisi laki-laki dan perempuan dalam Serat Centhini mengadaptasi ajaran sufi. Irfan menambahkan, itu beda dengan pemaknaan patriarki hari ini.
"Konsepnya secara rohani memang laki-laki itu dalam Sufisme dianggap, perempuan itu diambil dari tulang rusuk Adam," ujar Irfan.
"Dalam konsep Sufi perempuan itu harus taat dengan suami tapi suami harus taat pada ibunya, kira-kira itu, nanti puncak tertinggi adalah perempuan, jadi punya konsep patriarki yang berbeda," tuturnya.
![]() |
Hal tersebut kurang lebih sejalan dengan pendapat seorang pakar kajian Jawa Dewi Sundari. Ia tak menyangkal bahwa nilai-nilai terkait gender berkembang, dan untuk beberapa hal tidak untuk dibenturkan.
"Tentu saja memang akan terkesan patriarkis. Kita perlu menyadari juga, bahwa nilai-nilai yang kita pegang sebagai masyarakat akan selalu berevolusi dari zaman ke zaman," tutur Dewi pada CNNIndonesia.com, Rabu (2/6).
Objektivikasi wanita dalam kisah Serat Centhini dinilai Dewi punya makna, maksud tujuan tertentu, dan berkaitan dengan upaya wanita mengedukasi para lelaki.
"Di satu sisi, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai perempuan kita dikisahkan ibarat barang. Tetapi di sisi lain, kita juga ditunjukkan, bahwa pada masanya inilah yang dapat dilakukan untuk mengedukasi kaum Adam," tuturnya.
Serat Centhini merupakan rangkaian karya sastra sebanyak 12 jilid yang pertama kali diterbitkan di rentang waktu 1814 hingga 1823. Sebagian naskah di dalamnya bercerita tentang hubungan seks dan nilai-nilai persenggamaan.
Di sana dipertontonkan bagaimana laki-laki berdialog dan memberi kesan tentang aktivitas seks yang dilakukan. Begitupun dengan penokohan wanita yang dibebaskan mengutarakan pengalaman seks yang ia rasakan.
Hingga kini, sejumlah pihak telah menerjemahkan naskah Serat Centhini menjadi buku populer berbahasa Indonesia, dari yang mulanya ditulis dalam format aksara Jawa.
(fjr/bac)