Jakarta, CNN Indonesia --
"Pariyem, nama sayaLahir di Wonosari Gunung Kidul Pulau JawaTapi kerja di kota pedalaman NgayogyakartaUmur saya 25 tahun sekarang-tapi nuwun seu, tanggal lahir saya lupa"Begitu kata Pariyem di lembar pertama buku
Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Kalimat itu terdengar sampai ke Jerman, saat
Pengakuan Pariyem dan naskah kuno
Serat Centhini dipentaskan di Universitas Goethe, Frankfurt, kemarin (12/10).
Tapi dua sastra Jawa itu bukan sekadar dibacakan. Mereka juga dipentaskan. Enam seniman dari berbagai negara bergabung menampilkannya dalam lima bahasa sekaligus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini keduanya memang sudah diterjemahkan ke bahasa asing. Elizabeth Inandiak menerjemahkan
Serat Centhini: 41 Malam dan
Satunya Hijau ke bahasa Perancis. Jennifer Lindsay menerjemahkan
Pengakuan Pariyem ke bahasa Inggris. Sementara Christina Schott menerjemahkannya ke bahasa Jerman.
Bersama mereka lah aktor teater kawakan Indonesia, Landung Simatupang mementaskan dua karya sastra itu. Aksinya diiringi petikan gitar sang putra, Tommy Simatupang. Ia juga ditemani Endah Laras yang membawakan tembang dari cuplikan naskah masing-masing buku.
Ekspresi tergambar di wajah masing-masing saat membacakan tiap larik kalimat. Landung bahkan sesekali menempelkan topeng di depan wajahnya saat yang lain membacakan naskah. Di kali yang lain lagi, mereka mengajak penonton terlibat.
Pementasan itu berkaitan peringatan 70 tahun produksi teks Indonesia yang diselenggarakan Universitas Goethe, Servant of the World. Acara itu juga berkaitan dengan Frankfurt Book Fair 2015, di mana Indonesia menjadi Tamu Kehormatan. Publik Jerman antusias menonton pementasan itu.
Centhini dan Pariyem memang menarik perhatian asing. Elizabeth yang menerjemahkannya, menganggap Centhini menggambarkan permasalahan kontemporer dan universal. Sementara Lindsay menyukai Pariyem karena keindahan katanya.
Mengutip keterangan pers yang diterima CNN Indonesia, ia bahkan telah jatuh cinta pada perempuan Jawa yang menjadi pembantu di Yogyakarta dan berhubungan intim dengan anak majikannya itu sejak menyaksikan pembacaan
Pariyem, pada 1991.
Centhini dan Pariyem dua perempuan yang berbeda, bahkan terpisah dalam dua era. Namun mereka punya benang merah, sebagai pelayan yang berhubungan dengan sang abdi.
Lewat pengakuan mereka, meski terkadang berisi erotisme yang jujur, pembaca bisa merasakan perubahan demi perubahan yang terjadi di Jawa.
Selain
Pengakuan Pariyem dan
Serat Centhini, sastra-sastra Indonesia akan membombardir Jerman selama Frankfurt Book Fair yang dibuka pukul 17.00 waktu setempat hari ini, Selasa (13/10) hingga Minggu (18/10) mendatang.
(rsa/vga)