Jakarta, CNN Indonesia --
Serat Centhini merupakan buku kesusastraan Jawa yang aslinya bernama Suluk Tembangraras. Buku ini ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat oleh tiga punjangga dari Kerajaan Surakarta yakni Ranggasutrasna, Yasadipura II, dan R. Ng. Sastradipura.
Buku yang selesai ditulis pada 1823 ini terdiri dari 4.000 halaman, disusun dalam 12 jilid. Halaman-halaman dalam Serat Centhini berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita, ilmu-ilmu kebatinan dan pengetahuan lain yang hidup di kalangan masyarakat Jawa pada abad 16-17.
Sastra tersebut juga membahas hubungan seksual yang berlaku di masa itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Elizabeth Inandiak, yang pernah menerjemahkan beberapa pethilan Serat Centhini dalam bahasa Prancis mengatakan bahasan tentang seks dalam Serat Centhini sekitar 10 sampai 20 persen dari keseluruhan isi buku tersebut.
"Memang dalam kitab Centhini ada sekitar 10 persen atau 20 persen dari seluruh karya yang bercerita tentang senggama, jadi ada macam-macam sifatnya, ada yang seperti binatang, seperti budak nafsu, ada juga yang [melakukan seks] karena Ilahi," ujar Elizabeth kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/5).
Hal ini juga diamini oleh Pakar kajian Jawa, Dewi Sundari yang melihat bahwa bahasan seks di Serat Centhini memiliki porsi yang cukup banyak disamping topik-topik lain tentang kehidupan orang Jawa. Hal ini karena seks menjadi bagian penting dalam rutinitas orang Jawa sehingga perlu ditulis dalam Serat Centhini.
"Kalau soal pandangan orang Jawa terhadap seksualitas dalam Serat Centhini, ya pada masanya orang Jawa menganggap seksualitas tersebut sebagai bagian dari keseharian dan hidup. Bahwasannya wawasan itu perlu dan pasangan suami istri juga butuh bahan pembelajaran," ujar Dewi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (2/6).
 Cuplikan Isi Buku Serat Centhini karangan Agus Wahyudi (Foto: (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)) |
Hal ini pula yang mendorong para pujangga Serat Centhini dalam menulis tentang topik atau pengetahuan seputar seks dibuat sangat vulgar dan apa adanya.
Bahasa Vulgar dalam Serat Centhini
Elizabeth Inandiak mengatakan topik tentang seks atau senggama dalam Serat Centhini meliputi berbagai hal yang ditunjukkan lewat cerita beberapa tokoh di dalamnya. Penggambaran seks tersebut juga tergolong vulgar dan tanpa menggunakan metafora atau perumpamaan.
Hal ini pernah ia sampaikan dalam sebuah makalahnya yang berjudul Dari Erotika ke Sir Centhini (2012). Dalam makalah tersebut Elizabeth mengatakan bahwa Serat Centhini sering kali dijuluki sebagai karya sastra adiluhung yang erotis dan mistik.
Erotis ini digambarkan lewat adegan-adegan seksual yang 'liar' seperti yang dilakukan Cebolang yakni salah satu tokoh dalam Serat Centhini. Ia adalah seorang remaja yang bertubuh luwes dan berparas elok.
Cebolang sering menyulut nafsu wanita maupun pria yang tersentuh olehnya, walau tak sengaja. Ia pun menyadari dosa-dosanya dan memutuskan untuk menceburkan diri dalam kelakuan-kelakuan yang lebih hina lagi.
Cebolang pun berkelana bersama empat kawannya yang mengisi empat jilid Serat Centhini. Di salah satu bagian dalam jilid tersebut, Cebolang bertemu dengan Adipati Daha saat singgah di Ponorogo.
Sang Adipati terbawa nafsu melihat keelokan paras Cebolang dan memintanya untuk berhubungan seks.
"Suatu malam, Adipati bertanya, 'Mana yang lebih nikmat, menunggangi atau ditunggangi? Bedanya bagaimana?'"
"'Lebih nikmat ditunggangi, tiada bandingnya,' ujar Cebolang sembari menjelaskan kenikmatan saat direngkuh. Dan mereka pun bertukar posisi."
Tak hanya itu, topik mengenai hubungan badan juga sangat gamblang ditulis oleh ketiga pujangga pengarang Serat Centhini seperti yang terdapat Tembang 42.
"Cebolang berkata, 'Bagaimana pendapatmu, saudaraku? Bisa-bisa kita jatuh cinta, tapi itu apa benar-benar bahaya? Ayo, kita masuki mereka pelan-pelan dalam tidurnya, gadis berbuah dada kuning itu untukmu, aku ambil yang berperigi hitam legam. Nanti kita tukaran.'"
Simak naskah seksual dalam Serat Centhini lainnya di halaman berikutnya..
Di naskah lain membahas tentang teknik bersenggama untuk mencapai kepuasan badan dan raga seperti yang terdapat di tembang 72.
"Sesungguhnya lah, anakku, rahasia rasa perpindah-pindah di tubuh ronggeng selaras kisaran hari di penanggalan bulan. Jika kamu mau sanggama di hari pertama bulan, mulailah dengan mengecup dahi pasanganmu."
"Di hari kedua, cium pusarnya. Di hari ketiga, pijit betisnya. Di hari keempat, lengannya. Di hari kelima, kulum susunya, dan begitu seterusnya."
Penggalan ini menjadi bukti bahwa gambaran tentang hubungan seks yang terkandung dalam naskah Serat Centhini sangat detail. Hal-hal berbau seks seperti teknik bersenggama dibawakan lewat bahasa yang vulgar.
"Kaitannya dengan seksualitas, Serat Centhini menuliskan mulai dari adabnya berhubungan badan, kendalanya bersenggama, bahkan menyinggung juga soal orgy dan homoseksualitas," ujar Dewi Sundari.
Bukan Kamasutra Jawa
Kendati demikian, Elizabeth Inandiak menolak jika Serat Centhini dianggap sebagai kitab Kamasutra orang Jawa. Ia menilai penggambaran teknik bercinta atau bersenggama dalam Serat Centhini tidak banyak karena lebih fokus pada cara membangun hubungan batin.
"Jadi pertama ini orang-orang sudah salah persepsi, Kamasutra adalah sesuatu yang vulgar. Serat Centhini ya memang ada seperti Kamasutra tapi sedikit misalnya bagian malam 40 Amongraga dan istrinya itu bisa dikatakan Kamasutra, tapi di situ tidak banyak bicara soal teknik," ujar Elizabeth.
"Mereka berbicara soal ajaran dan syair supaya mereka jadi terbiasa. Supaya setelah 40 malam batin mereka saling kenal sehingga tubuh mereka hanya aksesoris. Berbeda kalau orang langsung bersenggama itu tubuh yang diutamakan, bukan batinnya sehingga mereka membalikkan konsep itu," lanjutnya.
Elizabeth memandang bahwa hubungan badan atau seks dalam Serat Centhini lebih pada konsep menyatukan badan, hati, dan pikiran dua orang.
Ajaran Sufi dalam Serat Centhini
Dalam pandangan Irfan Arifin, budayawan dan penulis buku Saya, Jawa, Islam, menilai Serat Centhini dekat dengan ajaran Tasawuf atau yang juga dikenal dengan sufisme.
Ilmu tersebut mengajarkan manusia untuk menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Ilmu tersebut juga terdapat dalam Serat Centhini seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Amongraga dan Tembangraras. Dikisahkan Amongraga dan istrinya, Tembangraras, melewatkan empat puluh malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh.
Tembangraras meminta Amongraga mengajarkan tentang ilmu makrifat atau ilmu yang paling tinggi nilainya di sepanjang empat puluh malam sejak mereka menikah.
Ajaran-ajaran Tasawuf hadir mengisi malam demi malam setiap perjumpaan Amongraga dan Tembangraras. Lalu pada malam ke-39, mereka Amongraga dan Tembangraras menjadi semakin dekat hingga batas diantara mereka telah hilang.
"Di kamar pengantin, angin diam
mengembus kandil. Ini malam ketiga puluh
sembilan. Di ranjang bidadari, Amongraga
dan Tambangraras tidak lagi melihat
ketelanjangan masing-masing maupun jarak
pemisah mereka. Tidak ada lagi haluan
maupun buritan, raib pula garis batas air."
Irfan mengatakan hal itu mirip dengan kisah Seribu Satu Malam di mana Scheherazade mengisahkan pada suaminya, Raja Shariar, sebuah cerita per malam. Cerita ini populer di kalangan penyair di Timur Tengah.
"Memang dalam masyarakat Jawa juga di aliran Sufisme, menyatunya batin dan dhohir (lahir) seseorang saat bersenggama itu kan seperti kita sedang menyatukan rasa tubuh jiwa pikiran. Makanya kalau mau menyatukan kehendak dengan semesta atau ketemu sama Tuhan ya dengan menyatukan jiwa dan raga. Itu ilmu di tasawuf dan di Jawa juga sama itu disebut dengan penyatuan rasa," ujar Irfan.
Hal ini juga diamini oleh Dewi Sundari yang memandang bahwa hubungan seks tidak hanya melibatkan hasrat atau nafsu semata.
"Seks bukan sekadar soal hasrat, tetapi berkaitan juga dengan penciptaan manusia di dunia. Agar terlahir sebagai manusia yang bertata krama, maka persetubuhan perlu dilakukan sesuai adabnya juga," ujar Dewi Sundari kepada CNNIndonesia.com.
Sementara itu menurut Elizabeth Indandiak, seks dalam Serat Centhini seperti yang dilakukan oleh Amongraga dan Tembangraras adalah seks yang penuh keindahan.
"Mereka bisa merasakan kehadiran Ilahi dalam senggama mereka. Ini sangat spiritual, walau sesudah itu Amongraga meninggalkan istrinya untuk mencari adik-adiknya, jadi ada keindahan ada kesedihan jadi luar biasa, saya tidak tahu di karya mana ada hubungan senggama seindah itu," ujarnya.
Mengutip dari Langgar.co, Amongraga merupakan putra dari Sunan Giri III dari Kerajaan Giri Kedaton. Ia memiliki dua adik yang bernama Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.
Amongraga dan dua adiknya berpisah setelah kediaman mereka diserang oleh pasukan Kerajaan Mataram di bawah komando Sultan Agung pada 1636.