Saya berandai-andai bisa mendapat durian runtuh, bertemu dengan para pemain dan pembuat drama Korea "Hospital Playlist". Jika hari itu tiba, saya yakin akan berurai air mata dan berkata "terima kasih sudah mengubah hidup saya".
Serial yang utamanya bercerita tentang persahabatan dan kisah cinta lima dokter di rumah sakit Yulje ini merupakan katarsis di tengah drastis perubahan hidup saya karena pandemi.
"Andai tidak ada Hospital Playlist, saya tidak akan tahu bagaimana menavigasi hidup yang membingungkan ini," mungkin begitu kalimat yang akan saya sampaikan kepada mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hampir dua tahun pandemi, saya merasa mendapat penyeimbang emosi setiap hari Kamis, saat episode baru Hospital Playlist tayang di Netflix. Drama bergenre slice of life garapan sutradara dan produser Shin Won-ho dan penulis skrip Lee Woo-jung ini seperti rumah bagi saya.
Tempat saya rehat dari hingar bingar kabar tentang pagebluk. Tempat saya merasakan perasaan bahagia, sedih, haru, lega dengan kadar yang pas. Tidak kurang dan tidak lebih.
Selama pandemi, saya memang enggan dibuat emosional berlebihan setelah menyaksikan berbagai kabar seputar virus Covid-19. Di sisi lain, saya tidak bisa menghindari pembahasan pandemi ini karena tuntutan pekerjaan sebagai jurnalis.
Hal ini diperparah dengan penolakan saya atas perubahan hidup yang tak lagi dinamis. Meski secara sadar berusaha beradaptasi, tanpa sadar saya menolak dipaksa mengubah strategi hidup menjadi survival mode. Seolah tak boleh berencana maupun berambisi, saya makin frustrasi dari hari ke hari. Rasanya, saya tidak lagi terhubung dengan dunia yang saya pahami.
Saya tidak mau menambah beban perasaan lagi dengan menonton film yang terlalu pilu. Namun, saya juga tidak ingin melihat hal yang membuat saya terlalu bahagia.
Saya ingin yang sedang-sedang saja, seperti efek perasaan setelah menonton Hospital Playlist.
Sesungguhnya saya bukan penonton setia drama Korea sehingga awalnya tak lantas suka dengan drama ini. Alasannya, dua episode pembukanya minim konflik. Para tokoh yang diperkenalkan pun terlalu banyak hingga saya bingung bagaimana relasi lima sekawan - Lee Ikjun, Chae Songhwa, Kim Junwan, Yang Seokhyeong, dan Ahn Jeongwon - dengan karakter-karakter lainnya.
Lama-lama, saya malah jatuh cinta dengan 'kisah minimalis dan kompleks' mereka. Series ini terasa seperti oasis dengan jalan cerita yang tidak terlalu dramatis dibandingkan drama Korea kebanyakan. Konflik-konflik yang digambarkan tidak membuat perasaan saya serba berlebihan. Ada efek bahagia, haru, kesal, sedih, tapi semuanya muncul dengan takaran yang serba cukup.
Ceritanya pun hadir dengan berbagai efek kejut yang membuat saya tersenyum dan bahkan tertawa. Yang lebih menarik, tidak ada tokoh antagonis di series ini. Saya rasa, elemen-elemen inilah yang membuat setiap episode Hospital Playlist meninggalkan perasaan nyaman bagi penontonnya.
Cakupan kisahnya pun beragam, tidak melulu tentang tindakan medis atau romansa, tapi juga ada relasi anak dengan orang tua, serta senior dan junior di tempat kerja. Alurnya yang relatif lambat memberi ruang penceritaan tak hanya bagi para tokoh utama, tapi juga karakter pendukung lainnya.
Saya sendiri langsung merasa terkoneksi dengan kisah tokoh pendukung Chu Minha, dokter residen madya di departemen kandungan. Tak hanya karena kami sesama BTS Army, namun perjuangannya dalam meniti karier terasa nyata dan dekat dengan kehidupan saya sebagai jurnalis madya.
Seperti Chu Minha, saya sering berekspektasi untuk menjadi sempurna dengan posisi saya yang bukan lagi anak kemarin sore. Karenanya, begitu melakukan satu kesalahan, saya langsung meratapi dan mengutukinya terus menerus, seperti yang beberapa kali dilakukan Chu Minha. Keterikatan ini pulalah yang membuat saya turut haru ketika Chu Minha berhasil memimpin tindakan medis darurat untuk pertama kalinya.
Setelah musim pertama Hospital Playlist berakhir tahun lalu, saya tak lagi muram menjalani hari-hari di masa pandemi. Seolah mendapat suntikan semangat dan pengharapan, saya berjanji pada diri sendiri untuk terus menjaga kesehatan supaya bisa menonton Hospital Playlist musim kedua.
Saya langsung menjadi fans fanatik dengan membeli piyama, kaos, dan botol minum bertema Hospital Playlist agar merasa seperti bagian dari tim Yulje. Hampir tiap hari, Instagram story saya berisi ocehan tentang series ini, mulai dari adegan lucu di balik layar hingga teori cocokologi para fans.
Dengan menggunakan kemampuan riset sebagai jurnalis, saya mencari dan merangkum prediksi para fans akan jalan cerita Hospital Playlist di musim kedua. Lalu, hampir tiap hari, saya membagikan rangkuman tersebut di Instagram story saya.
Karena 'kebisingan' saya itu, banyak teman berkata bahwa mereka ikut menonton dan akhirnya jatuh hati pada Hospital Playlist. Tak hanya itu, saya juga mendapat banyak teman diskusi baru, yang kini saya sebut sebagai warga Yulje atau kawan Yulje.
Hospital Playlist jugalah yang membuat saya makin penasaran dengan kebudayaan serta bahasa Korea. Saat ini, sudah hampir setahun saya belajar bahasa Korea dengan bantuan sepupu saya dan aplikasi Duolingo.
Awalnya, dengan belajar bahasa Korea, saya berambisi bisa menonton Hospital Playlist tanpa terjemahan. Namun, ternyata saya terlalu tinggi menilai diri sendiri.
Yah, setidaknya, saat ini saya sudah bisa membaca hangul (alfabet bahasa Korea) pada lirik soundtrack Hospital Playlist. Saya juga sudah bisa ikut bernyanyi dalam bahasa Korea, meski suara saya sesumbang Chae Songhwa.
Kisah geng 99s - sebutan lima sekawan Hospital Playlist - baru saja berakhir dua pekan lalu di episode 12 musim kedua. Meski episode finale-nya terasa mengambang dengan tidak adanya elemen klimaks, saya merasa amat bersyukur memiliki 'teman' dua tahun ini.
Andai saya bertemu para pemain dan pembuatnya, sungguh... saya tidak akan henti berterima kasih karena telah membantu saya melewati masa sulit ini.
(vws)