Jakarta, CNN Indonesia --
Sudah tiga pekan sejak Jazz Gunung 2021 yang digelar pada 25 September lalu rampung. Acara musik tahunan di kaki gunung itu diklaim sebagai pertunjukan musik pertama di Indonesia yang berlangsung di tengah pandemi.
Penyelenggaraan itu tidak dicapai dengan mudah. Pendiri Jazz Gunung Sigit Pramono mengatakan telah berkomunikasi dan meminta izin kepada pemerintah Kabupaten Probolinggo, Jatim sejak berbulan lalu.
Akhirnya Probolinggo memasuki PPKM Level 2 pada 8 September. Dengan begitu, Probolinggo boleh menggelar pergelaran musik asalkan menjaga protokol kesehatan (prokes) dengan ketat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sigit menjamin acara yang dia gagas sejak 2008 silam itu menerapkan prokes dengan ketat. Penonton yang memasuki area amfiteater harus menyertakan sertifikat vaksinasi dan mendapat hasil negatif tes swab antigen.
Kapasitas penonton Jazz Gunung yang sedianya 2000 diturunkan menjadi 300. Bersama panitia, penampil, dan peliput, kurang lebih total orang yang berkumpul di Desa Wonotoro sebagai area acara mencapai 500.
Setiap 20 penonton ditemani pendamping yang membantu selama pengecekan sertifikat vaksinasi dan tes swab antigen. Mereka juga bertugas mengingatkan penonton menjaga prokes dan tak segan untuk menegur.
Awak media Herlambang Jaluardi menyaksikan sendiri prokes yang dijanjikan Sigit tersebut benar terlaksana. Selain panitia, ia juga melihat ada aparat berseragam di dalam area amfiteater yang bertugas mengurai penonton 'bandel'.
"Yang ditegur itu penonton swafoto, bahkan petinggi Jazz Gunung lagi mengobrol sama Budjana terlalu dekat ditegur juga. Menurut gue bahkan mereka ini galak," kata Lambang kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Kunci Prokes Sukses
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menjelaskan penegakan prokes dengan ketat sangat diperlukan. Pasalnya pergelaran musik adalah acara yang mengumpulkan orang dalam satu tempat.
Selain itu tanggung jawab menerapkan prokes bukan hanya berada di tangan penyelenggara, aparat, dan pemerintah setempat, tetapi juga penonton. Hanya dengan kerja sama dari semua pihak yang bisa mencegah penularan virus corona pada acara di tengah pandemi.
"Acara besar itu memang harus dibatasi. Saya kira dari 2.000 ke 500 penonton masih oke, tetapi memang harus diawasi. Kalau perlu pasang CCTV supaya bisa dipantau secara langsung. Kalau ada pelanggaran bisa ketahuan," kata Miko.
 Ilustrasi tes swab Covid-19. Setiap 20 penonton Jazz Gunung Bromo 2021 ditemani pendamping yang membantu selama pengecekan sertifikat vaksinasi dan tes swab antigen. (CNN Indonesia/Adi Maulana Ibrahim) |
Ia menjelaskan bahwa kunci dari penerapan protokol kesehatan dalam acara besar adalah komitmen dan kolaborasi semua pihak yang terlibat. Tidak bisa hanya mengandalkan salah satu pihak saja, semua harus tanggung jawab.
Peraturan lain yang menjadi bukti prokes di Jazz Gunung berlangsung ketat adalah skrining penonton. Lambang mengatakan skrining penonton terjadi sebanyak dua kali, di area transit sebelum memasuki area dan gerbang amfiteater.
Setiap orang yang sudah menunjukkan sertifikat vaksinasi lewat aplikasi PeduliLindungi dan mendapat hasil tes negatif di area transit akan mendapat gelang. Itu menjadi tanda bahwa penonton 'bersih' dan boleh masuk ke amfiteater.
Di gerbang itu, kata Lambang, penonton harus kembali menunjukkan sertifikat vaksinasi lewat aplikasi PeduliLindungi. Setelah itu mereka baru bisa memasuki arena untuk menikmati penampilan Dewa Budjana, Tohpati, Fariz RM, dan lain-lain.
"Tiga hari setelah pulang dari sana gue tes antigen lagi, hasilnya negatif. Sampai sekarang (6/10) gue belum mendapat kabar dari panitia bahwa ada yang positif atau jadi klaster," kata Lambang.
lanjut ke sebelah..
Penyelenggaraan Jazz Gunung 2021 tampak bisa menjadi contoh bagi pergelaran musik lain di tengah pandemi. Tentu dengan menyesuaikan lokasi serta kondisi karena setiap pergelaran musik bisa berbeda.
Namun, sebenarnya tantangan menggelar acara musik di tengah pandemi tidak selesai sampai mendapat izin pemerintah, menjaga prokes, dan tidak ada kasus positif sampai akhir konser.
Tantangan lain yang tidak kalah sulit adalah bisnis. Penyelenggara wajib putar otak agar bisa mendapat keuntungan dari pergelaran musik. Keuntungan akan sulit didapat karena jumlah penonton yang menjadi sumber pemasukan berkurang drastis.
Sigit sendiri tidak segan mengaku kalau Jazz Gunung Bromo 2021 sama sekali tidak untung. Ia memutuskan tetap menyelenggarakan acara ini karena merasa perlu dan mendapat dukungan sponsor yang setia.
Berani Rugi
Ketua Asosiasi Promotor Indonesia (APMI) Dino Hamid juga sadar sekali akan potensi kerugian dari menggelar acara musik di tengah pandemi. Tidak pandemi saja bisa rugi, apalagi saat pandemi.
"Acara musik itu memang sangat berisiko rugi, walau banyak juga yang untung. Kalau promotor menggelar konser terus penonton sedikit, kelar sudah. Kita harus cari cara supaya bisa untung di tengah pandemi," kata Dino.
Dino yang memimpin Berlian Entertainment sudah melakukan eksperimen dengan menggelar konser drive-in pada Agustus 2020 lalu. Ia menampilkan Kahitna, Afgan Syahreza, dan Armand Maulana.
Meski digelar secara langsung, konser itu bisa disaksikan secara online dengan harga tiket yang lebih murah. Dengan begitu promotor juga mendapatkan uang dari penonton online, bukan hanya penonton di lokasi yang menyaksikan secara langsung.
"Alhamdulillah (untung). Itu karena kerjasama dengan banyak pihak untuk berbagi risiko, tetapi untung juga bagi-bagi. Sekarang di era pandemi gini (promotor) sudah enggak egois. Saya share ke teman-teman apa yang berlian lakukan," kata Dino.
Atas eksperimen itu Dino merasa bahwa konsep konser hibrida bisa menjadi solusi pertunjukan musik selama pandemi. Promotor bisa untung, musisi kembali mendapat pekerjaan. Solusi saling menguntungkan.
Walau sebenarnya belum diketahui pasti sampai kapan konsep hibrida itu bisa bertahan. Pasalnya, yang dijual dari konser musik bukan sekadar penampilan musisi, tetapi juga pengalaman.
 Menonton konser drive-in memang merupakan pengalaman unik, tetapi rasanya ini hanya momentum sementara yang akan segera berlalu. (AFP/ADEK BERRY) |
Menonton konser drive-in memang merupakan pengalaman unik, tetapi rasanya ini hanya momentum sementara yang akan segera berlalu. Pada akhirnya pecinta musik tetap ingin menonton konser secara langsung.
Dino menyadari itu. Ia bersama APMI berusaha menjawab hal tersebut dengan menggelar acara musik percontohan yang masih dalam tahap rencana. Acara musik itu dijadwalkan terselenggara di Jakarta.
"Mudah-mudahan pemerintah memberikan kita kepercayaan, kalau percontohan ini sukses ke depan akan lebih enak. Jazz Gunung Bromo juga sukses tapi kurang mendapat eksposur," kata Dino.
Dino beranggapan ada tiga hal yang dibutuhkan untuk membuat semua itu berhasil: inovasi, adaptasi, kolaborasi. Inovasi dalam arti promotor harus melakukan terobosan dan adaptasi dalam arti beradaptasi di tengah pandemi.
"Kolaborasi ini semua, promotor, penampil, pemerintah, juga penonton. Kita semua harus komitmen untuk menjaga protokol kesehatan agar industri pertunjukan, bukan hanya musik ya, bisa kembali lagi," katanya, serupa dengan penjelasan Miko.